Berlebihan dalam Beragama

BERAGAMA pada satu sisi memberikan dorongan kepada seseorang untuk selalu mengabdi kepada Tuhannya dengan sepenuh jiwanya. Keinginan yang begitu kuat untuk selalu dekat dengan Tuhannya ini, terkadang menggiring seseorang untuk berprilaku yang berlebihan (ekstrim). Perilaku ini, telah dikecam oleh Alquran. “Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (QS Annisa, 4:171). Begitu juga Nabi Muhammad: “jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang beriman sebelum kalian.”

Dan ternyata tidak hanya beragama saja yang dilarang karena berlebih-lebihan. Semua hal, apapun hal yang dilakukan secara berlebihan, justru mengundang kegalauan Tuhan. Misalnya makan dan minum. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf:31)

Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, dan jangalah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yang berlebihan. (QS. Al-An’am:141). Ayat ini, juga menunjukkan bahwa dalam urusan zakat, yang termasuk bagian dari agamapun, kita dilarang untuk berlebih-lebihan.

Yusuf Al-Qaradhawi dalam al-Shahwah al-Islamiyah baina al-Juhud wa al-Tatharruf menyebutkan setidaknya ada lima tanda seseorang telah bersikap berlebihan dalam beragama ini. Pertama, fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat yang lain. Memandang bahwa hanya dirinya lah yang paling benar (egocentric) merupakan ekspresi nyata dari mereka yang berlebih-lebihan dalam beragama. Dalam kondisi ini, tidak peduli siapa pun yang berpandangan, bahkan ulama atau cendekiawan yang sudah ahli sekalipun, ketika memiliki pendapat yang berbeda dengan dirinya, maka akan dianggap sebagai sesat, kufur, bid’ah, dan julukan-julukan yang tidak layak lainnya.

Kedua, sering mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Swt. Situasi ini, hari ini, makin marak terjadi pada umat Islam di Indonesia. Hal-hal yang bersifat khilafiyah (perdebatan), dianggap wajib bagi kelompok tertentu dan karena wajib maka ada keharusan untuk memaksa yang lain untuk mengikuti, jika tidak akan berakibat pada dosa. Memanjangkan jenggot, memotong celana di atas mata kaki, bunga Bank, jilbab bagi perempuan, keharusan memilih pemimpin sesuai kriteria yang dimilikinya, adalah persoalan-persoalan yang ikhtilaf di kalangan ulama, tetapi kemudian di wajibkan oleh sebagian yang lainnya.

Ketiga, bersikap keras dan kasar dalam berdakwah. Lemah lembut merupakan ciri khusus dakwah Nabi. Kerinduan para Sahabat untuk selalu bertemu dengan Nabi, merupakan indikasi sosok Nabi yang menyejukkan. Ada kedamaian ketika menatap wajah Nabi. Jika ada dari kita yang masih belum memberikan rasa damai dan kesejukan bagi yang lain, berarti belum mampu mencontoh dakwah Nabi. “Kalian tidak akan dapat meraih hati manusia dengan kekayaan kalian, tetapi kalian dapat meraih hati mereka dengan wajah yang berseri-seri dan akhlak yang baik.”  Kata Nabi.

Keempat, sering berburuk sangka dan gampang menuduh. Sikap ini, juga seringkali muncul dalam keseharian kita dalam beragama. Ketika terjadi perbedaan pandangan dalam hal-hal yang bersifat khilafiah, tidak jarang akan muncul tuduhan-tuduhan kepada orang yang berbeda dengan pandangannya; kamu pembela syiah, kamu liberal, kamu komunis, dan lainnya. Bahkan menurut Al-Qaradhawi, mereka tidak akan segan-segan menuduh orang yang sangat dipercaya kredibilitasnya tentang agama, seperti ulama, juru dakwah, dan pemikir Islam dengan tuduhan-tuduhan seperti disebutkan di atas. Kurang kredibel apa lagi Prof. Quraisy Shihab, baik dari sisi pendidikan, kemampuan bahasa, maupun akhlak, namun beliau masih di tuduh Syiah bagi yang berbeda dengan beliau.

Kelima, mudah mengkafirkan orang lain. Ini lah puncak dari sikap yang berlebihan dalam beragama, yaitu mudah mengkafirkan orang lain dan menghalalkan darah orang lain. Al-Qaradhawi menyebutnya sebagai bagian dari orang-orang Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang sangat ketat dalam melaksanakan berbagai macam ritus keagamaan, mulai salat, puasa, membaca Al-Quran, dan beberapa peribadatan yang lain. Namun mereka dengan mudah menghalalkan darah orang lain yang tidak sependapat dan berbeda dengan mereka. Padahal Rasul Saw telah mewanti-wanti kepada umatnya agar tidak mudah mengucapkan kata ‘kafir’ kepada saudaranya, “Siapa yang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim) dengan ucapan “Hai kafir!” maka berlakulah perkataan itu bagi salah satu dari keduanya. Jika tuduhan itu tidak terbukti, maka tuduhan itu kembali kepada orang yang mengatakannya.”  Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Sekali Lagi Tentang Khilafah Islamiyah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *