Keras Kedalam Lembut Keluar

Pemuda

KECENDERUNGAN orang beragama dalam mendefinisikan kesholehan, biasanya berada pada tingkat kepatuhan seseorang pada Tuhannya. Seberapa kuat iman yang dimiliki? seberapa rajin ia pergi ke masjid? Sudah berapa ayat Al-qur’an yang sudah di hapalnya? Bahkan akhir-akhir ini, keshalehan seseorang diukur pada symbol-simbol yang melekat pada diri orang beragama; penggunaan jilbab besar, celana di atas mata kaki, memanjangkan jengggot, penggunaan baju gamis panjang. Saya sempat mendengar ungkapan Ibu-ibu yang menyebutkan bahwa “sungguh islami orang ini” dengan menunjuk pada ciri-ciri simbolik di atas.

Seseorang bisa saja mendefinisikan kepatuhan dirinya terhadap Tuhannya, dengan berbagai ragam bahasa. Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, sebagaimana Indonesia saat ini, dengan ragam budaya, agama, bahasa, suku, dan lainnya, maka beragama dengan kelembutan menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh siapa pun yang beragama.

Mendahulukan sikap kemanusiaan ketika berhadapan kepada sesama manusia, merupakan wujud penting dari cara atau bersikap dalam beragama. Lebih-lebih ketika ia berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ikhtilaf (perdebatan), maka melembutkan sikap beragama menjadi penting untuk didahulukan, dari pada kekerasan atau bersikap kasar kepada yang lain.

Selain itu, seseorang tidak boleh juga memaksakan kepada yang lain, sesuatu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran, ketika persoalan itu adalah persoalan yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Dalam bahasa Prof. Amin Abdullah, ini adalah wilayah historis agama. Sebuah tafsir atau pemahaman seseorang dalam memahami agama itu sendiri. Ketika ada ulama yang memiliki pandangan yang berbeda, maka menjadi sebuah keharusan bagi kita, untuk memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan pandangannya itu.

Indikator kunci dari wilayah historis ini adalah ketika sebuah ajaran atau perintah agama yang melahirkan perdebatan atau perbedaan penafsiran di dalamnya. Misalnya soal batasan penggunaan jilbab, soal itsbal, memanjangkan jenggot, soal music, dan persoalan-persoalan lainnya. Sekecil apa pun, perbedaan yang muncul, maka kita tetap menghormati dan menghargai perbedaan itu, yaitu dengan tidak memberi “hukuman” kafir, bukan golongan Muhammad, ajaran sesat, dan lainnya.

Problemnya adalah ketika kita memilki cara pandang yang berbeda, lalu kita merasa bahwa apa yang kita yakini itu merupakan “ajaran sah dari Allah”, yang kemudian dia mengganggap pandangannya itu menjadi sebuah kewajiban, maka pandangan orang berbeda bisa dianggap sebagai sesuatu yang “melawan” Tuhan. Misalnya begini; seseorang yang meyakini bahwa sitem khalifah Islamiyah itu sebagai sebuah keniscayaam atau kewajiban, maka mereka yang menganggab Sunnah atau Makruh atau bahkan haram, menjadi berdosa sebab ia merupakan kewajiban.

Berbeda jika ajaran agama itu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat Normatif, yang ushulli, yang pokok, yang di dalamnya terjadi kesepakatan para ulama, maka kita boleh “berkeras” dalam bersikap. Misalnya soal keharusan menegakkan sholat, menjalankan puasa Ramadhan, kewajiban berzakat dan lainnya. Itu semua adalah persoalan pokok dalam Islam.

Namun demikian soal-soal pokok tersebut, ketika dalam tataran pelaksanaan juga mengalami perdebatan. Misalnya dalam hal niat sholat, gerakan takbiratul ikhram, dan seterusnya. Hal-hal yang bersifat normatif saja, memunculkan khilafiyah, apalagi yang bersifat historis dari ajaran agama.

Dengan demikian, mendahulukan kepentingan kemanusaian menjadi penting dalam beragama. Anda boleh saja membaca surat Albaqarah dalam sholat, namun ketika sendiri, ketika anda menyendiri bersama Allah. Namun ketika bersama orang lain, pertimbangkan sisi kemanusiaan; pilih surat-surat yang pendek, karena bisa jadi ada jamaah yang tidak kuat berdiri, atau ada jamaah yang dituntut oleh keperluan lain yang mendesak, dan seterusnya.

Hal ini juga berlaku kepada orang-orang yang berbeda dengan kita, baik agama, suku, bahasa, dan lainnya. Seseorang tidak boleh menyebut kafir kepada yang berbeda agama atau beda keyakinan, meskipun dalam hati ia boleh saja menyatakan bahwa agama dan keyakinannya yang paling benar. Begitu pula, orang yang beragama tidak boleh memberikan pelabelan-pelabelan kepada mereka yang berbeda dengan dirinya, karena sesungguhnya setiap manusia diciptakan oleh Allah swt.

Maka memuliakan manusia, bukan berarti akan merendahkan posisi Tuhan dalam beragama. Bahwa bersikap baik dan hormat terhadap sesama, tidak mungkin bersaing dengan sikap taat dan hormat terhadap Allah. Allah tidak mungkin dapat dijadikan “lawan” bagi manusia. Karena manusia adalah ciptaan Allah. Sebagai makhluq, ciptaan, maka Yang Maha Pencipta lebih mulia dengan sendirinya. Kalau ciptaan diremehkan, apalagi dihina, maka Penciptanya juga diremehkan dan dihina. Dan kalau kita berbuat baik terhadap sesama manusia, apalagi yang berkebutuhan, maka pada saat yang sama kita sedang bersikap baik terhadap Tuhan. Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Berlebihan dalam Beragama

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *