Pesona Muara Lembu

MUARA Lembu merupakan satu dari sekian perkampungan yang masih terdapat di Pulau Sumatera. Tepatnya negeri yang berada di Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Menurut wikipedia, luasnya 35.325 ha, dengan jumlah penduduk sekitar 4752 jiwa.

Berbicara tentang Sumatera, terasa tak akan ada henti-hentinya. Sumatera yang dulu juga dikenal dengan Swarna Dwipa atau Pulau Emas merupakan negeri yang memiliki khazanah yang melimpah ruah. Disebut Pulau Emas karena kekayaan alamnya yang memang dipenuhi emas dan hasil tambang lainnya, selain itu juga mempunyai sumberdaya manusia emas.

Sungai Singingi merupakan bagian dari alam yang mengandung emas tersebut. Sehingga benarlah bahwa Sumatera memang Pulau Emas, setidaknya di masa lalu, karena barangkali emas yang tertimbun di perut Sumatera sebagian sudah licin dikeruk dan diekslpoitasi manusia dalam berbilang masa. Ya, barangkali.

Berbincang tentang Sumatera dan emas, di Muara Lembu, kini masih terdapat sebuah sekoci atau perahu pengeruk emas peninggalan zaman penjajah. Konon perahu ini ditemukan warga pada 2018 yang lalu, tak jauh dari bawah jembatan gantung (saya menyebutnya Jembatan Bunda). Kini perahu itu tersadai di bawah pokok sawit pada pantai pasir usang atau pasar baru, di tepi pantai berpasir kemerahan Sungai Singingi Muara Lembu. Ia berada tak jauh dari hilir jembatan Bunda atau jembatan gantung berwarna kuning yang melintang antar tebing satu dan tebing di seberangnya.

Pun, tepian pasar usang atau pasar baru membentang pasir merah bercampur bebatuan yang begitu elok dan sedap dipandang. Di daratannya terdapat padang cukup luas yang terdiri kini menjadi lapangan sepakbola dan konon di sebelahnya menjadi sirkuit motorcross. Namun semenjak covid-19 kabarnya sirkuit ini tidak difungsikan lagi. Laman ini konon dahulunya pernah juga menjadi gurun gajah atau tempat gajah bermain.

Muara Lembu yang dulu juga bernama Kotopinang merupakan negeri elok yang seolah luput dalam pandangan banyak orang. Padahal, jika tuan dan puan berpergian dari Kota Pekanbaru hendak menuju Kota Teluk Kuantan, dari sebelah kanan, dari satu bukit, mungkin Bukit Cokik (Bukik Cokiak) namanya, akan terlihat panorama pasir putih kemerahan membentang di pinggir sungai Singingi, di pinggir kampung Muara Lembu. Panorama alam yang memikat. Jauh di belakangnya, seolah kampung ini dipagari gunung-gemunung yang diselimuti kabut putih.

Muara Lembu memang negeri yang memiliki banyak keunikan. Ya, di sini pernah terdapat rel kereta api yang rutenya menurut riaupos.co (19/10/2019), dari Muaro Sijunjung- Koto Kombu-Sungai Ala-Sungai Pinang- Serosa-Logas Singingi-Muara Lembu-Kebun Lado-Petai-Koto Baru Singingi Hilir-Sungai Paku-Tanjung Pauh-Kebun Durian-Lipat Kain dan terus sampai menuju kota Pekanbaru. Rute ini kira-kira sepanjang 220 kilometer. Sisa besi-besi rel kereta api ini masih terdapat di sekitar pangkal jembatan gantung Muara Lembu.

Di seberang pasar baru, terdapat pula komplek pemakaman, yaitu daerah Muara Danau (Muagho Danau)  yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhir penduduk setempat. Di sini pekuburan tersusun berdasarkan suku-suku tempatan, seperti suku Piliang, Melayu dan lainnya. Di tempat itu juga bermakam seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad Bunda.

Tentang Syekh Ahmad Bunda, menurut sahibul hikayat, ayahnya bermana Datuk Kutai dan ibunya Puti Nan Panjang. Semasa Ahmad kecil tidur dalam buaian, ia tiba-tiba hilang dari ayunan, dan tidak tahu entah kemana perginya, serta entah siapa yang membawanya. Menurut sebagian sumber ia dibawa ke Gujarat India. Sedangkan yang membawanya adalah seorang jin wanita yang baik.

Sebagai ibu dan ayah tentu saja mereka merasa sangat sedih atas kehilangan anak mereka ini. Namun tak ada kata yang dapat diucap selain pasrah. Seiring berlalunya waktu, semuanya kenangan pun mulai pudar dan segera hilang namun tetap membayang.

Rerupanya, setelah dewasa ia kembali menemui ayah-bundanya. Konon karena itulah ia disebut dengan nama Ahmad Bunda. Ketika kembali ke kampung itu ia memakai jubah dan bersorban putih. Syahdan kalau ia duduk bersila maka janggutnya yang terjuntai akan menyapu paha.

Saat bersua kembali, konon ayah bundanya tak mengenalnya. Setelah terjadi perbincangan dan percakapan panjang, Syekh Ahmad pun menanyakan ciri-ciri anak mereka yang hilang tersebut. Setelah diberitahukan bahwa ada tanda luka di kepalanya atau tepatnya di atas kening anak tersebut, maka Syekh Ahmad pun membuka serbannya, dan memperlihatkan tanda tersebut kepada kedua orangtuanya. Betapa terkejut kedua orangtuanya. Lalu mereka pun berpelukan dan bertangis-tangisan. Kedua orangtuanya tak menyangka akan bertemu kembali dengan anak mereka yang hilang itu.

Syahdan saat itu masyarakat belum mengenal ajaran Nabi Muhammad Saw. Masa ini ini disebut semasa nenek makan keluang, yaitu saat belum ada pembatasan pangan yang dipandang halal atau haram. Begitu juga dengan ayah dan ibu Syekh Ahmad. Syekh Ahmad pun konon mengislamkan kedua orang tuanya dan masyarakat sekitar. Menurut cerita yang berkembang dari para tetua, Syekh Ahmad Bunda merupakan salah-seorang pelopor pertama yang mengislamkan masyarakat di sekitar batang Singingi. Kabarnya ia belajar di Mekkah Al-Mukarramah. Ia mempunyai murid bukan saja di sekitar wilayah Singingi akan tetapi juga sampai ke Jambi dan Semenanjung (Malaysia). Ia meninggalkan beberapa benda unik seperti Alquran bertulisan tinta merah dan sebilah keris pendek yang ukurannya sekitar satu jengkal.

Tentang keistimewaan Alquran tersebut, kabarnya bila digantung pada tulang bubung rumah, jika ada burung yang terbang di atasnya akan jatuh dan tewas.

Pusara Syekh Ahmad Bunda awalnya berada di seberang kampung, namun entah berapa lama kemudian dipindahkan masyarakat ke tempat sekarang (Muara Danau).

Titik tourism di Muara Lembu: pertama, jembatan Bunda. Bila dilihat dan dinikmati dengan seksama dari hulu atau hilir jembatan, tempat ini terasa sangat memesona. Ia amat patut dan padan dijadikan lokasi photograpy yang instagramable.

Kedua, bekas rel kereta api dapat menjadi bagian dari titik tourisme yang bakal dikunjungi wisatawan karena menjadi artefak sejarah yang cukup menarik di provinsi Riau.

Ketiga, sekoci pengangkut emas juga bagian dari artefak sejarah sehingga perlu dipelihara dan ditempatkan pada suatu bangunan yang refresentatif. Karena itu merupakan bukti otentik kalau negeri ini merupakan negeri berharga dan bernilai karena mengandung logam mulia sejak dulu kala.

Keempat, pantai pasar baru atau pasar usang dapat menjadi lokasi bermain para pengunjung. Selain itu juga dapat menjadi lokasi camping. Pantai di sungai ini juga akan semakin menarik jika terus difungsikan dalam berbagai even, seperti festival perahu hias, belimau kasai (prosesi menyambut kedatangan bulan Ramadhan), dan helat lain sebagainya.

Kelima, Bukit Cokiak dapat dijadikan tempat istirahat melepas lelah para pengemudi yang melintasi jalan lintas barat Sumatera tersebut. Prasyarat utamanya adalah melengkapi berbagai fasilitas seperti kawasan kuliner, mushalla, bilik air, dan taman kecil, serta gazebo. Ini digunakan pengunjung sambil menikmati indahnya Pulau Pencong dan kawasan pantai-pantai berpasir kemerahan lainnya di tepi sungai, yang bila didongakkan pandangan ke atas maka berjejer bukit barisan yang diselimuti halimun.

Keenam, Muara Lembu semakin menarik wisatawan jika beberapa lokasi air terjun yang terdapat di kawasan ini mudah diakses pengunjung.

Ketujuh, keberadaan makam Syekh Ahmad Bunda menjadi destinasi wisata religious. Di samping maujud pusara ulama ini, di sini juga terdapat berbagai tanaman lokal yang sudah tua, seperti durian, manggis, mempelam dan lain sebagainya sebagai peninggalan perkampungan tua. Jika tetanaman itu sudah berkurang, dapat kiranya dilakukan reboisasi kembali. Selain itu, eloknya pokok sawit yang tumbuh ditepi sungai ditukar kembali dengan pohon kelapa, pinang dan lainnya.

Agaknya begitulah. ***

Baca : Pulau Barat Sumatera

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *