Cerpen Jumadi Zanu Rois: Pulau Anjing

BAGAIMANA Atah Bahar mau percaya dengan apa yang dikatakan Abu anaknya. Sesuatu hal yang tak mungkin masuk di akalnya. Sudah berkepala tiga ia tinggal di Pulau ini, tapi tak pernah sekali pun ia melihat seekor anjing. Apakah itu anjing liar maupun yang dipelihara. Penduduk di pulaunya semua beragama Islam. Dan ajaran Islam melarang untuk sedapat mungkin tidak memelihara anjing. Itulah alasan kuat sehingga tak ada satu orang pun penduduk di pulau ini memelihara anjing. Memang pernah satu kali Atah Bahar berniat ingin memelihara anjing, tapi keinginan ini dilarang keras istrinya.

“Abang jangan buat masalah. Tak ada orang pulau ni yang memelihara anjing, bang. Nanti dibenci orang kita”. Begitu Nyah Selah melarang Atah Bahar untuk memelihara anjing.

“Niat abang memelihara anjing, bukan untuk senang-senang. Tapi untuk menjaga kebun kita. Hampir setiap hari kebun kita di gasak kera dan babi. Kalau kita pelihara anjing, bisalah anjing tu menghalau kera-kera dan babi-babi di kebun,” bela Atah Bahar.

“Pokoknya, Selah tak izinkan abang pelihara anjing. Titik. Biarlah kita berjaga siang malam di kebun tu. Selah rela kalau kita harus pindah di pondok dekat kebun. Dari pada kita harus pelihara anjing!” Nyah Selah pergi meninggalkan Atah Bahar sendiri dengan segelas kopi.

Atah Bahar hanya bisa terdiam. Sebenarnya, Atah Bahar juga setuju dengan apa yang dikatakan istrinya. Memelihara anjing sama dengan mengundang masalah di pulau ini. Lagi pun, di mana mau dicari anjing. Bukankah di pulau mereka tak pernah ada anjing.

Tapi tidak malam ini. Sepulang mengaji. Abu menceritakan kalau dia berjumpa beberapa ekor anjing di jalan. Jelas Atah Bahar tak percaya. Meski anaknya sendiri yang menceritakan itu semua.

“Ya, Bah. Abu lihat sendiri. Kami jumpa beberapa ekor anjing tadi. Kalau Bah tak percaya, Bah boleh tanya dengan Mala anak Pak Usu Seman. Kami sempat takut Bah. Mana tahu, anjing-anjing itu garang macam di film-film tu. Tapi setelah kami renung dan kami dekat, jangankan menggigit atau mengejar, menggonggong pun anjing itu tidak. Anjing tu, baik-baik, Bah,” cerita Abu panjang lebar kepada ayahnya.

“Ya, Bah percaya. Tapi, dari mana pulak datang anjing-anjing tu datang? Tak pernah ada anjing di pulau kita ni. Kalau pun datang dari pulau seberang, siapa pulak yang mengantarnya? Dan tak mungkin anjing-anjing itu berenang.” Kening Atah Bahar mengkerut memikirkan hal yang diceritakan Abu.

“Kalau memang betul apa yang dikatekan Abu, bang. Abang harus secepatnye laporkan ini kepada RT kita. Kalau dibiarkan, bisa bahaya kita nanti bang,” suara Nyah Selah dari balik kelambu.

“Apa pulak bahayanya, Lah. Dikau ni, yang bukan-bukan. Menakut-nakutkan budak Abu saja. Lagi pula, anjing-anjing itu belum tentu mengganggu,” bantah Atah Bahar sambil menggulung tembakau.

“Untuk sekarang mungkin belum garang, bang. Tapi kalau dah banyak-banyak nanti, mana kita tahu”.

“Hah, dikau ni. Terlalu takut”.

Malam itu, Nyah Selah tak bisa tidur. Berita tentang kedatangan anjing yang diceritakan Abu, menganggu pikirannya. Semakin banyak anjing di kampungnya, semakin banyak pula mudarat yang akan datang. Itu yang terlintas dipikiran Nyah Selah. Bukankah anjing selalu dikaitkan dengan makhluk ghaib seperti Iblis dan hantu-hantu?

***

Berita kedatangan anjing di pulau ini, tak hanya Nyah Selah dan keluarganya saja yang merasa cemas dan risau. Keluarga Pak Usu Seman pun punya rasa yang sama. Bagaimana tidak, Pak Usu Seman orang yang paling anti dengan anjing. Bila dia mendengar kata anjing, maka seluruh badannya akan menggigil. Geram mendalam terlihat di wajahnya.

Bagi Pak Usu Seman, anjing bukan saja memberikan duka tapi juga penghinaan bagi keluarganya. Peristiwa puluhan tahun yang lalu melayang-layang dipikirannya. Pak Usu Seman punya peristiwa duka yang sampai sekarang tak bisa dilupakan. Dan semua itu sebab anjing.

Ayah Pak Usu Seman meninggal dunia karena digigit anjing. Anjing jantan yang dipelihara ayahnya selama tiga tahun itu telah mencabik-cabik perut ayah Pak Usu Seman. Itu terjadi di depan matanya. Saat Ayahnya sedang mencangkul di kebun. Tiba-tiba saja anjing peliharaannya itu menyerang dan menggigit sekujur tubuh ayahnya. Memang di luar dugaan, anjing yang semula sangat patuh dan penurut itu, seketika jadi garang, bahkan telah pula menghabiskan nyawa ayahnya.

Bukan hanya mencabik-cabik perut dan segala isinya. Anjing itu juga telah membawa lari kepala ayahnya. Saat itu Pak Usu Seman masih anak-anak. Hanya jerit dan air mata ketakutanlah yang bisa dilakukannya. Betapa duka yang dialami Pak Usu Seman dan keluarga. Jelas tidak akan menjadi luka yang paling dalam jika ayahnya hanya meninggal tanpa harus kehilangan kepala. Bukankah mati tanpa kepala merupakan kematian yang tidak terhormat di kampungnya?

Setelah peristiwa itu, keluarga Pak Usu Seman bersumpah tidak akan memelihara anjing. Rasa trauma dan malu dengan orang di kampungnya, membuat mereka harus pindah dari kampung halaman dan mencari pulau yang mereka tak pernah bertemu anjing.

Dengan kehidupan yang berpindah-pindah itu, memaksa Pak Usu Seman dan keluarga harus bekerja lebih keras untuk bisa hidup dan beradaptasi dengan masyarakat-masyarakat baru. Banyak hal yang harus di korbankan. Hingga Pak Usu Seman dan adik-adiknya tak pernah mendapat pendidikan sekolah secara formal.

“Kalau anjing celaka itu tidak menggigit almarhum Atuk Mike, tentu Bah dulu bisa bersekolah. Dan tidak hidup merempat seperti ini,” kenang Pak Usu Seman di hadapan anak-anaknya.

***

Hari ini akan diadakan rapat tentang permasalahan anjing yang diceritakan Mala dan Abu. Tepat pukul satu siang, rumah Malik sebagai RT di pulau ini, sudah penuh dengan penduduk. Sengaja siang itu mereka tak ke kebun. Bagi mereka, permasalahan anjing-anjing ini, jauh lebih penting dari pada pergi ke kebun.

“Permasalahan anjing ini, adalah permasalahan keselamatan masyarakat pulau ini. Dan ini, harus kita selesaikan dengan cepat!”.

“Sabarlah, Pak Usu. Kite di sini memang ingin membahas masalah itu. Kalau Pak Usu emosi seperti ini, nanti masalah malah bisa menjadi beso. Kite juga tak mau ada anjing di pulau kita ni,” Mansyur mencoba menenangkan Pak Usu Seman. Sedang RT Malik masih saja berdiam diri.

“Kita beri kesempatan Pak RT untuk bercakap,” sambung Mansyur.

“Begini. Sebagai RT, saya sudah memikirkan hal ini. Keselamatan dan kenyaman hidup yang warga harapkan, tetap menjadi prioritas utama. Tiada alasan untuk saya membiarkan sesuatu hal yang akan mengusik keselamatan dan kenyamanan hidup kita. Yang menjadi pertanyaan saya sekarang ini, apa mungkin anjing-anjing itu mengganggu dan mengancam keselamatan warga di pulau ini?”

“Mengganggu atau tidaknya, kehadiran anjing-anjing itu telah menghilangkan marwah dan nama baik pulau kita!” Kini urat-urat di leher Pak Usu Seman terlihat sebesar ibu jari.

RT Malik terdiam. Kalau tidak mengenang Pak Usu Seman orang yang paling tua di pulau ini, jelas buku tumbuknya hinggap di wajah Pak Usu Seman.

“Begini maksud saya Pak Usu. Segala tindakan haruslah jelas permasalahannya. Untuk menghalau anjing-anjing itu suatu hal yang mudah. Tapi akan menjadi hal sia-sia seandainya segala duga kita salah. Saya hanya ingin bersikap bijaksana. Tak ada sedikit pun niat saya untuk menolak keinginan Pak Usu dan juga warga yang lain. Akan menjadi suatu hal yang merugi bila kita harus menghabiskan waktu demi sebuah pekerjaan yang belum jelas letak duduknya. Waktu yang harus kite gunakan untuk mengolah kebun dan tanah kita akan habis untuk mengurus anjing-anjing itu”.

Kini giliran Pak Usu Seman dan yang lain terdiam. Kata-kata dengan gaya wibawa yang dibuat-buat itu telah membius seluruh warga yang hadir. Atau memang begini cara para pemimpin untuk mendapat simpati dari orang yang akan dipimpinnya. Entahlah. Tak dapat Pak Usu Seman menjawab. Pak Usu Seman bukankah orang yang pernah mendapat pendidikan di bangku sekolah. Pandai membaca Al-Quran berkat ajaran Wak Samat saat ia masih berumur di bawah tujuh belas tahun.

Tak ada satu orang pun yang berani untuk mengeluarkan suara. Apa lagi menyanggah apa yang disampaikan RT Malik. Seketika mereka membeku macam batu. Walaupun mereka tahu pendapat RT Malik merupakan keputusan sepihak dan sangat merugikan mereka. Tapi apa hendak dikata. Bila kuasa telah mengembangkan sayapnya. Atau mereka akan dianggap pembangkang.

Kesempatan sunyi itu betul-betul dimanfaat RT Malik untuk menutup pertemuan sore itu. Seluruh yang hadir meninggalkan ruangan. Namun di wajah Pak Usu Seman dan Atah Bahar begitu nampak menyimpan rasa tidak puas. Sebuah keputusan yang sangat tidak diharapkan Pak Usu Seman dan Atah Bahar.

“Aku akan memilih untuk meninggalkan Pulau ini sepertinya Har,” keluh Pak Usu Seman saat kedua berjalan menuju rumah mereka.

“Tak sebaiknya dikau pikirkan dulu. Terlalu berat keputusan yang dikau buat tu,” Atah Bahar mencoba membujuk.

“Rasanya tak perlulah aku jelaskan alasannya. Engkau juga tahu alasan apa yang membuat aku beserta Emak aku dulu pindah di kampung ni. Dan alasan itu juga yang membuat aku membuat keputusan ini”.

“Tapi bagaimana dengan Istri dan anak-anak engkau. Apa mereka mau menurut keputusan yang engkau buat ni?. Keluarga istri engkau penduduk asli pulau ini. Aku rasa, bukan hal yang mudah untuk istri engkau menerima ajakan engkau”.
“Aku yakin istri aku akan paham”.

Pak Usu Seman belok kiri ke arah rumahnya. Langkahnya nampak begitu malas. Ada begitu banyak kecewa melekat dari setiap langkahnya. Tak layak di usia senja dia harus melakukan hal yang tak mungkin lagi dikerjakan. Kini demi sebuah keselamatan dan kekecewaan harus mengantarnya untuk melakukan hal itu. Baginya, itulah keputusan yang tepat. Menjauh dari bahaya yang mengangkang di depan mata.

Pak Usu Seman kini telah sah meninggalkan pulau itu. Kabar tentang anjing-anjing di pulau itu semakin membuat hatinya miris. Kenapa tidak, bukan hanya anjing yang semakin banyak, orang-orang di pulau itu bahkan telah merubah kehidupan mereka dengan gaya dan pola hidup seperti binatang tersebut.

***

“Sekarang anjing-anjing itu tak lagi menggigit manusia, tapi telah berani pula merusak ladang dan berkuasa penuh atas hutan dan segala isinya dengan menggadaikannya kepada anjing-anjing yang lain.” ***

Ruang Sempit, Jan-Feb 2014

*) Cerpen ini sudah terbit pertama kali di Harian Pagi Riau Pos Edisi Minggu 13 Juli 2014

——————–
Jumadi Zanu Rois, berasal dari Pulau Merabu Kabupaten Kepulauan Meranti, adalah alumni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Jurusan Seni Teater. Memainkan dan menyutradarai beberapa pertunjukan teater. Hobi membaca karya sastra hingga mengantar semangatnya untuk menulis. Beberapa sajaknya telah tergabung dalam Kumpulan Puisi Ayat-ayat Selat Sakat (Sagang 2013). *

Baca : Cerpen Achmad Dhani: Pengamen yang Kehilangan Instrumennya

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews