Pendidikan yang Merdeka dari Ancaman

Pemuda

TRAGIS yang tentu meninggalkan rasa sedih yang mendalam. Dalam satu minggu ini, kita dihadapkan oleh pemberitaan yang sangat menyedihkan dari dunia Pendidikan kita. Kekerasan yang berakibat hilangnya nyawa para pencari ilmu, menggugah kesadaran kita Bersama, betapa lemahnya system transfer nilai dalam Pendidikan kita.

Mulai dari kasus di MTS Negeri 1 Kotamobagu, perundungan yang menimpa siswa yang akan shalat zuhur berhujung meninggal dunia. Lalu siswa SD di Tasikmalaya, juga meninggal dunia karena perundungan kawan-kawannya. Terahir, baru-baru ini, Pesantren Gontor terkenal itu juga tersilap dengan tindakan dua santri yang menganiaya adik kelasnya, dan berhujung pada hilangnya nyawa sang adik kelas.

Dalam deretan kasus yang lain, peristiwa-peristiwa kekerasan juga menggelayut pada dunia Pendidikan. Guru memukul siswanya, siswa melawan gurunya, tawuran antar siswa, pelecehan yang dilakukan guru pada siswanya, dan deretan kekerasan demi kekerasan seperti mengkanvas dalam proses Pendidikan di negeri ini.

Realitas di atas, menjadi penting untuk kita renungkan kembali dimana Pendidikan berbasis agama juga tidak bisa menjamin akan keamanan anak-anak dari kekerasan. Lebih-lebih terkait dengan kekerasan seksual. “Ketika ia akan bersuara dianggap aib, tak bersuara derita terus mendera”.

Dalam teori psikologi pendidikan, seseorang itu akan dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan di sini, bisa sekolah, di rumah, dan juga masyarakat. Dalam konteks hari ini, masyarakat tidak bisa dimaknai hanya sejumlah manusia yang terikat dalam kebudayaan tertentu dalam satu ikatan identitas tertentu yang bertempat pada lokasi tertentu saja.

Makna masyarakat dalam konteks Pendidikan hari ini adalah keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehidupan bersama, yang menghasilkan hubungan atau ketergantungan antara satu dengan lainnya. Istilah ketergantungan ini bisa dimaknai dengan saling mempengaruhi. Pengertian ini, merupakan hasil dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan.

Artinya, lingkungan masyarakat adalah mereka yang memberikan pengaruh terhadap Pendidikan anak di sekolah. Dalam konteks ini, lingkungan masyarakat bisa politikus, agamawan, aktivis, dan lainnya. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi-informasi saat ini, yang setiap peserta didik bisa membaca dan melihat perilaku “masyarakat” luas tanpa batas. Siapa saja dan dimana saja, siswa bisa menjadikan seseorang sebagai “figure panutanya”. Naasnya, proses itu tanpa ada penggalian yang mendalam tentang figure itu.

Berbagai drama kekerasan yang dipertontonkan oleh para polikus, atau bentuk-bentuk kekerasana lainnya, yang tersedia dengan bebas di dunia maya, semakin memberikan “pembelajaran” bagi siswa bahwa “kekerasan merupakan cara yang efektif menyelesaikan masalah”.

Sikap-sikap gampang marah di jalanan, hanya karena kesalahfahaman dalam berkendaraan, dan bentuk-bentuk penyelesaian masalah dengan kekerasan lainnya, sangat mudah diakses dan komsumsi oleh para siswa. Akibatnya, mental itu pada ahirnya tanpa sadar masuk ke alam berfikir para siswa.

Belum lagi persoalan hubungan guru-siswa dalam pembelajaran, yang masih menonjolkan doktrinasi, mendahulukan benar-salah, tidak memberikan ruang dialog, tidak ada alternatif pilihan-pilihan dalam mencari kebenaran, dan seterusnya. Model ini, menambah daftar panjang problem pendidikan di sekolah.

Ahirnya, coba kita renungkan kembali ungkapan Dorothy Law Nolte, Ph.D, seorang pendidik dan ahli konseling keluarga yang lahir di California Amerika Serikat dan meninggal di Jepang. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi; Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah; Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri; Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri; Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian; Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah; Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri; Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri; Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai; Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri; Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan; Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan; Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan; Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan; Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan; Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : “Warisan” Sosial

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews