Sajak-Sajak Karya Muchid Albintani (Bagian ke-1)

Hawiyah Melambai Pada Malam Keduapuluhsatu

Hawiyah terus melambai tak berhenti pada malam keduapuluhsatu
entah apa taqwilnya
begitupun selikuran kali azazil melambai lunglai gemuruh
riuh badai perahu hawiyah yang tak oleng kukuh
wirid doa mustajab tak henti berkumandang

Sementara dalam belantara hijauan rimba luluh tersadai murka alam
gegara doa-doa mustajab istisqa tertolak bala
tamak-haloba sang penghalang hujan

Di manakah sang mentari?
manakala hawiyah bersama azazil tetap saja
mengkalkulasi semua buruk sangka pada malam
keduapuluhsatu dengan hitungan
sembilan
tujuh
lima
tanpa tiga
pun tak mewujud satu
bukan ahad
sembari tersenyum

Mereka,
para pemuja azazil terus melambai
memanggil dengan serba serbi sesajian
mengundang murka semesta
melawan kodrati
menolak rizki butiran permata putih yang membasahi
segala noktah kemaslahatan barokah semesta ilahi

Mandalika, mandalika, mandalika
pada malam keduapuluhsatu azab itu akan tiba
yang membuat seluruh semesta raya galau

Hawiyah tetap saja tak berganjak sambil terus memanggil
tubuh yang menggigil panas terbakar cahaya

Mandalika, mandalika, mandalika
azab itu akan tiba
tersebab iman keyakinan kami yang dipersekusi dengan
menyekutu-duakan rabbul azim

Allahu Akbar,
Audzubillahiminasyaitonirojim

Hawiyah terus melambai tak berhenti pada malam keduapuluhsatu
manakala azazil tersenyum simpul
pertanda menang.

Pekanbaru, April 2022

Doa Doa Itu

Doa doa itu,
bukan doa doa ini

Doa doa itu,
bukan doa doa nya
pun mereka, kita dan engkau

Doa doa itu,
adalah doa kami
dari negeri kolam susu
tongkat kayu bambu
menjadi umbi

Doa doa itu,
dari kilo mama lima puluh
menuju durian bangkok
menembus formula one
menerjang trunojoyo
merengsek medan terjajah

Lalu?

Doa doa itu,
sedang menunggu kode
kosong dua satu
plus satu, plus delapan enam
enam, enam, enam
mendaki piramida pada puncaknya
berubah dari tiga kosong tiga
menjadi plus satu, tetap delapan enam
Doa doa itu,
dari ketinggian langit lapis tujuh
terbang menuju sidrah
menghujam dari lembah
berkah rahmatullah membasuh
negeri kolam susu gemah ripah loh jinawi
astaghfirullah
bertaubahlah

Doa doa itu,
menahan sejenak azab
kaum munafiqun hubbud dunya

Doa doa itu,
kini menunggu kata maaf dari
enam orang ibu yang
melahirkannya.

Pekanbaru, Agustus 2022

Bintang Nun

Bintang nun
terbang merayap
pungguk patah
sayap oleng

Bintang nun
dulu perkasa
sikat sikut mana mana
semua takjub ujub
muda wibawa gagah
tebar pesona

Bintang nun
terperangkap bala
terlalu jumawa
sepucuk baja selalu terikat
pada pinggang busungnya

Bintang nun
pudar aura
baju besi dilucuti
tak terkecuali bunga
pun dua bintang kejora
Bintang nun
renunglah diri
walau dalam jeruji
waktunya tiada pasti
kapan pun ajal menjemput
batu nisan sebagai bukti
kau lah bintang
tak mungkin nun
apalagi mim atau wau.

Pekanbaru, Agustus 2022.

Tali Timba: Sesekali naik tak turun-turun

Yang turun air mengalir
pancuran tetap menyembur
tali timba,
naik turun, naik panjat
terpanjat pemburu rente

Dari negeri suling bambu
bawah minyak atas minyak
sesekali jerebu air murka
kuningan kentong diulek-ulek
rere dodo meme
me do re

Tali timba naik turun
konon kata tak naik
sandal jepit tetap diinjak
pijak memijak turun temurun
tak ada kelok mancung memancung
kiopino tetap menjujur

Seperti kemarin katanya
minyak tak akan naik
orde lama rasa orde baru
baunya reformasi
tetap saja bukan naik
melainkan penyesuaian

Begitulah telenovela
tetali timba yang konsisten
untuk tak konsisten
sekali naik tak turun-turun

Alkisah sebuah adagium
sekali di udara tetap di darat
dua kali naik tak hendak turun.

Jakarta, 4 September 2022.

Tiji Tibeh : kepada penyuka revolusi longkang

Dari kilo mama lima
kosong tiga kosong delapan
enam mengalir keringat merah
membasuh negeri rumpun bambu

Ilir ilir ilir
terus mengalir semilir
menunggu gulir revolusi diam
tatkala lokang tersumbat subhat hasad
pun jumawa

Ilir ilir ilir
kepala ikan menyebar aroma mambu
busuk mengalir ke hulu mengotori hilir
bengawan selat laut pantai bersih legam

Ilir ilir ilir
lenggok aduhai mengklarifikasi
ihwal tak ingin gembira senang sendiri
mari bersama cebur tenggelam
dari perahu oleng tersebab nakhoda
khianat negeri liuk meliuk melupa diri
pada cermin tak berbayang

“Aku tak ingin jatuh sendiri,”
tetiba suara gemuruh melolong langit.

Aku tak
tak jatuh
tak sendiri
bersama tak
engkau tak,
mereka, kami, kita
tak siapa?

Maka mari bersama tenggelam hanyut
tersebab murka ilahi.

Jakarta, September 2022

Sumber: J5NEWSROO.COM

————————–
Muchid Albintani lahir di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sajak-sajaknya terbit dalam antologi, “Menderas Sampai Siak” (2017). “Ziarah Karyawan” (2017). “Segara Sakti Rantau Bertuah Antologi Puisi Jazirah 2” (2019). “Paradaban Baru Corona 99 Puisi Wartawan Penyair Indonesia” (2000). Baca sajak Lantera Puisi V 2018 di Singapura. Buku sajaknya “Rindu Dini” (2015), dan “Revolusi Longkang” (2017). Buku terbarunya, “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali Ke Tauhid Esai-Esai Akhir Zaman” (Yogyakarta:Deepublish,2021). “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara” (Yogyakarta:Deepublish,2022). Saat ini berkhidmat sebagai pensyarah Pascasarjana Ilmu Politik: Manajemen Pemerintahan Daerah dan Hubungan Internasional, Ilmu Administrasi, Ilmu Komunikasi dan Program Doktor Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau. Pernah menjadi Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) dan Philosophy of Doctor (PhD) dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia. Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH), Indonesia juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) Montreal, Canada. Pernah berkhidmat sebagai wartawan di Riau Pos Grup, Redpel Majalah Budaya Sagang, Koresponden Harian Bisnis Indonesia, dan Koresponden Majalah Mingguan Tempo di Malaysia. *

Baca: Puisi-puisi Pulo Lasman Simanjuntak

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews