Negeri Para Perampok

Pemuda

TIBA-TIBA saya menemukan tulisan menarik di Kompas.com, judulnya sebagaimana yang saya tulis di atas. Tulisan ini, menjelaskan bahwa dalam bentangan sejarah Indonesia, sejak masa awal negeri ini bermula, telah terbiasa dengan saling berebut, saling menumpah darah, bahkan ada kutukan yang misterius dari Empu Gandring tentang akan adanya saling tumpah darah di tanah Jawa, khususnya di kerajaan Kediri masa itu.

Belanda yang menjajah selama berabad-abad, di tambah hadirnya Jepang yang dengan ganasnya merampok segala isi bumi Indonesia. Tidak terperi sakit para leluhur kita saat itu, atas penjajahan yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Setelah Bom Atom di Hirosima meledak, Jepang pelan-pelan meninggalkan Indonesia. Akan tetapi Belanda dengan licik bermaksud ingin meneruskan Hasrat merampoknya di Indonesia. Alhamdulillah, Perlawanan dari Rakyat Surabaya yang kemudian dikenal dengan 10 November sebagai hari Pahlawan, menghentikan niat Belanda untuk merampok Indonsia.

Setelah merdeka, lagi-lagi negeri ini dirampok oleh para perampok. 32 tahun negeri ini dibungkam. Jangan pernah menyuarakan keadilan pada era ini, jika tidak ingin nasib anda berahir di penjara. Di dalam penjara anda tidak akan pernah merasakan perlakuan layaknya manusia. Siksaan demi siksaan akan menimpa anda selama berada di dalamnya. Demikian cerita tokoh-tokoh yang pernah di penjara di masa Orde Baru ini. Sebut saja A.M Fatwa atau Bung Fajlurrahman, yang sekarang menjadi Duta Besar di Kazakhtan.

Ratusan ton emas di Papua yang diangkut secara sepihak oleh perusahaan luar negeri, yang tentu atas kong kali kong dengan penguasanya waktu itu. Ribuan barel minyak yang dihasilkan dari perut bumi Riau, hutan yang makin menipis di bumi Riau, habis oleh para perampok negeri ini. Oleh karena itu, lahirlah Reformasi. Namun sayangnya, reformasi memunculkan model “Perampok” baru di negeri ini.

Gema Reformasi pun meredup, samar-samar terhimpit oleh mental perampok. Intinya reformasi di negeri perampok sebenarnya tidak pernah terjadi, yang terjadi adalah status quo, korupsi makin menggila, nepotisme dan kolusi makin meledak. Para aktivis yang dulu semasa Orde Baru garang bagai Singa sekalipun, kini diam terpaku, menikmati kekuasaan para Perampok. Mereka justru saling melindungi, saling menjaga agar tetap harmoni untuk merampok.

Belum hilang dalam memori kita tentang raibnya uang Rp 6,7 triliun pada kasus Century, lalu Gayus Tambunan yang telah menggasak uang negara melalui usaha menilap pajak beberapa perusahaan, ratusan miliar uang pajak lesap tanpa bekas. Baru-baru ini, Pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, menyorobot bumi Riau yang dipersiapkan untuk anak cucu kita nantinya. Dugaan sementara telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 78 triliun, sebuah angka paling spektakuler dalam sejarah kerugian negeri ini.

Saya kemudian teringat kisah dari seorang kawan, yang bercerita tentang jejak penghuni pulau-pulau di Nusantara ini, yang memang sejak dulu bekerja merampok. Merampok dari kolonialisme, pastinya, komentar saya. Bukan, bisa jadi itu iya juga, tapi kita ini berada pada jalur perdagangan yang memantik para pedagang di seluruh dunia untuk berdagang di jalur ini. Nah, area perdagangan ini mendukung munculnya para “perampok”.

Sebab, sebagaimana kita ketahui bahwa Selat Malaka merupakan jalur yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat laut Nusantara, kemudian dengan China di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini kemudian melahirkan istilah “jalur sutra” sejak abad pertama Masehi hingga abad ke-16 Masehi. Penamaan jalur tersebut karena China membawa komoditas sutera cukup banyak untuk dijual di wilayah lain.

Ramainya rute pelayaran mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur Selat Malaka, yaitu Samudra Pasai, Malaka, dan Sumatera Utara (dulunya Kota China). Kondisi masyarakat di sepanjang Selat Malaka mulai sejahtera dan terbuka dalam berbagai hal, di antaranya sosial ekonomi dan pengaruh budaya luar. Namun, di sekitar itu lah, para perampok mencoba mengendalikan perdagangan.

Sayup-sayup terdengar suara lagu Iwan Fals….Urus saja moralmu/Urusa saja Akhlakmu/peraturan yang sehat yang kami mau/…..Tegakkan hukum setegak-tegaknya/Adil dan tegas tak pandang bulu/Pasti kuangkat engkau/Manusia setengah Dewa…. Dan para perampok itu pun masih membungkam kita sampai hari ini. Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Oposisi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews