Cerpen Putri Annisa Melia Sari: Tembong

RUANGAN itu berwarna putih. Dindingnya putih, ubinnya putih, jendela-jendela di ruangan itu berkusen putih dan ditutupi sebuah tirai tipis manis yang juga berwarna putih. Seorang dokter yang duduk di belakang sebuah meja di dalam ruangan itu samar terlihat karena jasnya yang juga putih.

Di sisi lain meja, berhadapan dengan Sang Dokter, duduk seorang laki-laki, tak terlalu tua, tidak juga muda. Penampilannya mencerminkan dari golongan orangorang kelas mana ia berasal. Semua yang dipakainya bermerek. Bukan merek sembarang merek. Merek-merek itu pastilah merek-merek yang sering dipakai orang-orang sekelas Donald Trump atau Bill Gates, atau paling rendah Tom Cruise. Pyuh…

Mulai dari kemeja dan celana panjangnya yang tampak serasi dan rapi tanpa cela, tali pinggang, sepatu yang mengkilap bagai cermin, jam tangan super mahal di pergelangan tangan kirinya, dasi yang terpasang rapi pada kerah kemejanya, sampai rambut ikalnya yang diatur rapi dengan gel yang pastilah juga sangat mahal.

Benar-benar tak ada cela dari penampilan laki-laki itu, semuanya tampak sempurna. Wajahnya juga cukup tampan. Orangtuanya tentulah sangat bangga memiliki anak seperti dia. Dan jika laki-laki itu punya istri, istrinya tentu adalah wanita paling bahagia di dunia.

Sang Dokter tampak membuka-buka catatannya. Entah kenapa ia sangat gugup. Bagi dokter sepertinya, yang telah lebih dari dua puluh tahun malang melintang di dunia medis, rasa gugup ketika menghadapi pasien harusnya sudah tak lagi ada. Tapi ketika menghadapi pasien yang satu ini, rasa gugup yang hanya pernah dialaminya sekali ketika menghadapi pasien pertamanya, kembali muncul. Sementara sebaliknya, lelaki di depannya yang adalah pasiennya, tampak tenang-tenang saja.

Sang Dokter menghentikan aktivitasnya, memandang lelaki itu, lalu merogoh kantong jasnya mengambil sebuah sapu tangan untuk mengelap peluh di dahi dan wajahnya. Entah apa yang membuat Sang Dokter begitu gugupnya. Ia berkeringat, padahal hujan tengah mengguyur segala sesuatu di luar, membasahi yang kekeringan, mengisi kekosongan. Keringatnya rupanya begitu banyaknya sampai-sampai merembes membasahi ketiak kemejanya.

Lelaki itu tetap saja tenang, tapi tidak melepaskan pandangannya dari tingkah polah Sang Dokter. Sang Dokter rupanya sadar ia diperhatikan. Ia berhenti mengelap dan memasukkan kembali saputangannya ke saku jasnya. Kemudian diambilnya remote pendingin ruangan, dan diarahkannya sambil menekan tombol on pada remote itu ke AC yang terpasang di dinding ruangan putih itu.

“Jadi, Anda benar-benar ingin membuangnya?” tanya Sang Dokter yang rupanya telah menemukan kembali wibawanya.

“Ya,” jawab lelaki itu tenang.

“Saya masih belum mengerti. Kenapa Anda ingin membuangnya? Bukankah selama ini tak ada gangguan dengannya? Toh ia tidak menimbulkan rasa sakit apapun,” timpal Sang Dokter.

“Memang tidak menyakitkan. Tidak juga mengganggu. Saya hanya tidak ingin memilikinya lagi,” katanya.

“Tapi saya masih belum mengerti,” Sang Dokter bingung.

“Saya lelah, saya bosan. Ini membebani saya,” jawab lelaki itu lagi.

“Membebani? Membebani bagaimana? Bukankah tadi Anda bilang ia tidak menyakitkan?”

“Oh, maaf. Bukan membebani, tapi ia membuat saya menanggung beban yang berat.”

“Maksud Anda?” tanya Sang Dokter.

Lelaki itu diam. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Sang Dokter. Meski masih tampak tenang, dia kelihatan tengah berpikir. Tampaknya ia tengah menimbang apa yang ingin dikatakannya kepada Sang Dokter.

“Anda harus katakan alasan Anda, karena itu menjadi prosedur yang harus saya pahami sebelum operasi itu dilaksanakan. Saya harus mengerti, saya harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Karena pada kasus yang Anda alami ini, saya benar-benar tidak melihat alasan kenapa ia harus dibuang. Anda tidak pernah merasa sakit, dan setelah diperiksa, ia juga tidak menimbulkan kelainan apapun pada kulit

Anda kecuali warnanya, ataupun pada organ dalam dan luar tubuh Anda. Kalau memang warnanya yang mengganggu Anda, saya kira itu bukan masalah besar, toh letaknya bukan di tempat yang sering ditunjukkan, dan ukurannya juga tidak besar,” kata Sang Dokter panjang lebar.

“Dokter tidak mengerti,” kata lelaki itu akhirnya.

“Kalau begitu jelaskan, agar saya mengerti.”

“Baik, akan saya jelaskan.”

Lelaki itu menarik napas dalam, seolah ingin mengumpulkan kata-kata, karena tampaknya apa yang ingin disampaikannya begitu beratnya.

“Keluarga saya mempunyai sebuah perusahaan. Namun, lima tahun lalu perusahaan dilanda masalah besar, hampir gulung tikar karena hutang dimana-mana. Harta pribadi kami ludes, begitu juga tabungan dan deposito. Ayah tak sanggup menghadapi masalah ini, hingga akhirnya sakit keras dan meninggal dunia. Saya anak tertua dalam keluarga. Sejak ayah saya meninggal dunia lima tahun lalu, tanggung jawab Ayah untuk menjaga Ibu dan mengurus ketiga adik saya jatuh kepada saya, karena ketika itu, hanya saya yang telah menyelesaikan pendidikan dan telah bekerja. Maka, perusahaan ayah sepenuhnya saya yang mengendalikan.” Ia berhenti sejenak.

Sang Dokter masih mendengarkan dengan tekun. Dan masih berpikir keras, apa sebenarnya yang ingin disampaikan pasiennya ini. Sang Dokter benar-benar bingung, sampai-sampai ia berpikir, mungkin pasiennya ini salah alamat. Mungkin sebenarnya ia ingin ke psikiater, tapi entah bagaimana nyasar ke praktik seorang dokter kulit. Tapi Sang Dokter mengurungkan niatnya untuk bertanya, siapa tahu dugaannya salah. Maka ia memutuskan untuk mendengarkan saja cerita lelaki itu.

Apalagi setelah lelaki itu memulai ceritanya, tampak gurat kelelahan yang amat sangat di wajah yang seharusnya masih segar bugar itu. Hati kecil Sang Dokter rupanya tersentuh, tampaknya pasiennya yang satu ini memang lain dari yang lain.

“Saya punya tiga adik. Ketika ayah meninggal, Rudi, adik kedua saya, baru tahun kedua di perguruan tinggi. Ya.., selisih usia kami memang berbeda jauh, sembilan tahun lebih. Dua adik saya yang berikutnya, Fani dan Andi, masih di SMA.”

“Sebentar.., apakah ini memang ada hubungannya…” potong Sang Dokter.

“Ya, ini berhubungan. Sangat berhubungan,” jawab lelaki itu tenang.

Hujan mulai mereda, suara rintik-rintik yang jatuh di halaman berumput terdengar sangat nyaman di telinga. Sang Dokter memandang keluar jendela, berpikir.

“Bisa saya lanjutkan?” suara lelaki itu memecah lamunan Sang Dokter.

“Ya, lanjutkan.”

“„Kau harus urus adik-adikmu‟ itu kata Ayah pada saya menjelang ajalnya. Saya penuhi permintaan Ayah. Sebenarnya tanpa diminta pun saya pasti akan lakukan itu. Itu kewajiban saya. Semangat saya sedang marak-maraknya ketika itu. Saya punya tekad, membesarkan kembali perusahaan kami, lalu membiayai adik-adik sekolah setinggi-tingginya. Saya berhasil. Setelah kerja keras, perusahaan kembali normal, bahkan kini lebih berkembang daripada ketika dikendalikan Ayah. Tapi butuh waktu lama untuk sampai pada tahap itu. Dan selama waktu itu, banyak hal terjadi dalam keluarga kami.” Ia berhenti.

Sang Dokter tidak langsung meminta lelaki itu untuk melanjutkan ceritanya. Ia ingin memberi waktu, karena tampaknya lelaki itu memang butuh waktu. Setelah beberapa lama hening, lelaki itu menarik napas dalam, bersiap-siap melanjutkan ceritanya.

“Karena tak ada dana, Rudi terpaksa berhenti kuliah. Ia begitu frustasi. Saya tahu betul, adik saya yang satu itu memang semangat belajarnya luar biasa tinggi. Saking frustasinya, Rudi melakukan hal bodoh tanpa berpikir lebih dulu konsekuensinya, seperti yang biasa ia lakukan dengan kecerdasannya. Anda tahu apa yang dilakukannya? Ia menggunakan narkoba. Saya tak tahu bagaimana ia mendapatkannya, padahal ekonomi keluarga kami benar-benar terpuruk. Setelah ketergantungan selama empat tahun lebih, kini ia saya masukkan ke panti rehabilitasi yang biayanya sangat mahal.

“Fani, adik perempuan saya, sama frustasinya dengan Rudi. Fani sangat dekat dengan Ayah. Setelah Ayah meninggal, ia merasa tak ada lagi orang yang memperhatikannya. Sudah berkali-kali saya katakan, hal itu tidak benar. Saya katakana padanya bahwa saya peduli padanya. Namun ketika ia mulai memupuk kepercayaan pada saya, saya acuhkan dia. Saya saat itu benar-benar pontang-panting, banting tulang siang dan malam untuk perusahaan. Fani menyerah, ia menarik kesimpulan bahwa memang tak ada lagi yang memperhatikannya. Tidak juga Ibu. Ia mencari dunianya sendiri. Pergi pagi pulang pagi. Kadang tak pulang sampai seminggu. Setiap pulang selalu dalam keadaan mabuk. Dunia gemerlap membutakannya. Seminggu yang lalu saya mengetahui bahwa ia tengah hamil.

“Ibu lebih parah lagi frustasinya. Ibu tak siap kehilangan Ayah, tak juga siap kehilangan harta. Ibu sering marah-marah, kadang menangis sendiri. Saya tidak mengerti, sebenarnya mana yang lebih besar, antara kesedihan Ibu karena ditinggal Ayah, atau kesedihannya karena kehilangan harta benda. Jawaban atas kebingungan saya ini terjawab. Ibu melakukan hal gila. Membuat hutang di sana-sini, belanja perabot-perabot mahal, juga baju-baju mahal di butik yang biasa didatanginya ketika kami masih kaya. Parahnya lagi, Ibu tak pernah terima jika saya berusaha memberi pengertian, justru saya yang dituduh tidak mengerti orangtua. Dan kalau sudah begitu, Ibu akan menangis meraung-raung.

“Satu-satunya orang yang bisa berkomunikasi dengan baik pada Ibu adalah Andi. Andi memang anak kesayangannya. Perlakuan Ibu padanya memang berbeda dari perlakuan Ibu pada saya, Rudi, dan Fani. Mungkin karena sifat keduanya yang persis sama. Andi merengek minta dibelikan motor pada Ibu. Ibu, tak diragukan lagi, langsung memenuhi permintaan anak kesayangannya itu. Ia berhutang lagi. Tak sampai sebulan, Andi kecelakaan dengan motor barunya itu. Caranya mengendarai motor seperti orang kesetanan. Ia menabrak truk. Keajaibanlah yang membuatnya tidak mati saat itu juga. Ia masuk rumah sakit, koma, dua bulan lebih. Kini ia cacat, semua bergantung pada orang lain, tak bisa melakukan segala sesuatu sendiri.”

Hening. Sang Dokter kini yakin benar pasiennya itu salah alamat. Karena setelah panjang lebar cerita, ia tak juga menangkap maksud yang ingin disampaikan pasiennya itu.

“Maaf..,” Sang Dokter memulai bicara. “Awalnya saya ingin memberi Anda kesempatan, siapa tahu yang ingin Anda sampaikan memang penting. Tapi kini saya yakin benar, Anda salah alamat. Tempat praktik psikiater di sebelah klinik ini. Ini klinik dokter kulit. Jika Anda berkenan, saya bisa minta perawat untuk mengantarkan Anda ke sana.”

“Saya tidak salah alamat. Saya tidak butuh psikiater. Saya hanya butuh Anda, dokter kulit terbaik di kota ini.”

“Tapi..”

“Anda baru mendengar setengahnya, Dokter. Boleh saya lanjutkan?”

Sang Dokter tak punya alasan untuk menolak. “Baik,” katanya akhirnya.

“Bagi saya semua itu mudah, setelah perusahaan tegak kembali, dan kekayaan telah kembali. Tapi bagaimanapun saya manusia. Saya punya rasa lelah. Saya tengah berada di titik jenuh. Saya harus mengorbankan diri saya sendiri untuk semua masalah keluarga ini. Sampai kini, saya belum juga menikah.

“Kemarin, saya bersama teman-teman mengunjungi seorang rekan yang istrinya baru saja melahirkan putra kedua mereka. Bayinya sangat lucu, tampan seperti ayahnya. Ia punya tembong di bahunya, seperti saya.

“Teman-teman saya berkomentar tentang tembong bayi tampan itu. „Dia akan menanggung banyak beban‟ kata seorang teman saya. Saya memintanya mengulangi pernyataannya itu. Ya, katanya bayi itu akan menanggung banyak beban, karena tembong di bahu kanannya. Sama seperti saya. Saya memilikinya di bahu kanan saya, dan saya menanggung beban yang sangat berat. Itulah sebabnya saya tidak menginginkannya lagi.” Lelaki itu berhenti.

Hening lagi. Sang Dokter tampaknya telah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

“Itukah alasannya? Anda bosan dengan beban itu? Anda lelah? Dan menurut Anda, semua beban ini Anda yang tanggung karena Anda memilikinya di bahu kanan Anda?” tanya Sang Dokter.

“Ya.”

Hujan di luar sudah berhenti. Langit mulai cerah kembali. Siluet sinar matahari yang dibiaskan membentuk warna-warni bianglala yang indah. Suara kodok di luar sahut-menyahut, entah memanggil pasangannya, atau meminta hujan kembali turun.

“Jadi, Anda benar-benar ingin membuangnya?” tanya Sang Dokter lemah.

“Ya,” jawab lelaki itu mantap.

***

“Saya tidak mengerti,” kata Sang Dokter. Ruangan itu masih berwarna putih, seluruh perabotnya juga putih. Satusatunya yang berbeda dengan ruangan itu dibanding setahun lalu adalah keadaan dua orang yang tengah duduk di dalamnya.

Rambut Sang Dokter kini sepenuhnya putih. Dan pasiennya, lelaki yang sama dengan yang setahun lalu mendatanginya dan berkonsultasi lama sekali di ruangan serba putih ini, duduk tepat di depan Sang Dokter.

Sekarang terlihat jelas apa bedanya keadaan ruangan itu setahun lalu dengan saat ini. Penampilan lelaki itu yang berbeda. Perbedaan yang sangat besar. Tak ada sepatu, kemeja, celana, dasi, jam tangan ataupun rambut dengan gel seperti yang dipakai Tom Cruise. Lelaki itu tampak jauh lebih kurus, dan wajahnya tampak lebih tua dari seharusnya. Ia memakai celana jeans biasa, kemeja lengan pendek biasa, sepatu olahraga biasa, tak ada jam tangan, tak ada dasi.

“Ceritanya panjang, Dok,” kata lelaki itu.

“Setahun lalu saya bersedia mendengarkan cerita Anda, dan bersedia membuangnya untuk Anda,” ujar Sang Dokter kalem.

“Baik, akan saya ceritakan.”

Lelaki itu menarik nafas dalam. Langit di luar mendung, sebentar lagi hujan.

“Selama setahun ini banyak hal terjadi. Rudi ketahuan memakai narkoba di panti rehabilitasi, bahkan mengedarkannya ke pasien lain. Kini ia tengah menjalani proses hukum, padahal pengobatannya hampir selesai.

“Fani.., Fani terus saja berusaha menggugurkan kandungannya. Tapi janinnya rupanya begitu kuat, tidak juga jatuh meski berbagai obat dan jamu ditelan ibunya. Tiga bulan lalu Fani melahirkan, bayinya cacat. Fani syok berat, kini dirawat di rumah sakit jiwa. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Ibu.

“Ya.., Ibu kini masuk rumah sakit jiwa juga. Sementara Andi kembali koma. Kini hidup dengan bantuan alat-alat medis. Dokternya bilang jika alat-alat itu dilepas, ia akan meninggal. Saya lebih suka kalau itu terjadi, toh hidup seperti itu juga menyakitkannya. Tapi, Ibu, pikirannya masih waras kalau soal Andi. „Jangan lepas alatnya,‟ kata Ibu sambil mencengkeram lengan saya.

“Jika ini terjadi tahun lalu, saya tak akan terlalu pusing, harta kekayaan masih ada. Tapi, perusahaan kembali dalam masalah. Seorang lawan bisnis berhasil menjatuhkan saya. Perusahaan kami diambang kehancuran, harta ludes. Itu sebabnya Ibu jadi gila. Ia tak siap kehilangan harta lagi.”

Hujan sudah mulai turun. Tak begitu lebat, tapi cukup untuk membasahi tanaman-tanaman di depan klinik Sang Dokter. Suaranya terdengar halus.

“Kemarin, saya dan beberapa teman mengunjungi rekan kami yang tengah berbahagia karena dikaruniai seorang putra, yang baru saja dilahirkan oleh istrinya. Bayi mereka sangat lucu, kulitnya putih, dan di bahu kanannya ada tembong. Seperti milik saya dulu. Salah seorang teman saya berkomentar, „Ia akan jadi orang besar, ia akan punya pangkat.‟ Saya bertanya padanya apa maksudnya. Ia bilang bayi itu akan jadi orang yang berpangkat karena tembong di bahu kanannya.

“Saya sedang dalam masalah sulit, Dokter. Saya harus menyelamatkan keluarga saya. Saya butuh banyak uang. Saya menginginkannya lagi, supaya saya bisa mendapatkan pangkat saya kembali, perusahaan saya, agar saya bisa menolong Ibu dan adik-adik saya lagi. Soal biaya operasi, akan saya lunasi segera setelah saya mendapatkan kembali perusahaan dan jabatan saya,” lelaki itu berhenti bicara.

Hujan semakin deras, kini suaranya tak lagi nyaman di telinga. Petir dan kilat menyambar-nyambar. Angin pun tak mau kalah unjuk gigi, bertiup kencang sekali menerbangkan segala sesuatu yang ada di luar.

Sang Dokter berdiri. Berjalan ke arah jendela, dengan susah payah berhasil menutupnya, tapi akibatnya wajah Sang Dokter basah oleh air hujan yang memukul-mukul kasar. Sang Dokter mengambil saputangan dari saku jasnya, mengelap air hujan dari wajahnya.

Hening. Sesaat kemudian, Sang Dokter berbalik.

“Jadi, Anda menginginkannya lagi?” tanyanya pada lelaki itu.

“Ya, saya menginginkannya lagi,” jawab lelaki itu dengan keyakinan penuh.

Wajahnya bercahaya, sama bercahayanya seperti kilat yang tengah menyambar parabola di atap gedung tempat praktik psikiater. ***

*) Cerpen ini dikutip dari laman Balai Bahasa Sulawesi Selatan

Baca: Cerpen Jasman Bandul: KETUPAT BAWANG

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews