Kampus  

Kampus Harus Digitalisasi Jka Tidak Ingin Gulung Tikar!

Seruan digitalisasi kampus dari Pakar IT SEVIMA di Musyawarah Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi TIK (Aptikom) di Prime Plaza Hotel Sanur Bali. (Foto: SEVMA)

LAMANRIAU COM, DENPASAR – Pekan ini, Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Makarim telah mengumumkan Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Berbasis Prestasi (SNBP) dan Berbasis Tes (SNBT) untuk menyeleksi calon mahasiswa di kampus negeri.

Berbagai kampus swasta saat ini juga telah membuka penerimaan mahasiswa baru. Sayangnya, calon mahasiswa biasa berebut untuk masuk di kampus tertentu saja. Masih banyak kampus kekurangan pendaftar bahkan sampai terancam gulung tikar (bangkrut).

Demikian diungkapkan oleh Wahyudi Agustiono Ph.D, pakar IT dari SEVIMA sekaligus Dosen Senior di Universitas Trunojoyo Madura, sebagai pembicara kunci dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi TIK (Aptikom) pada Jum’at 09 Desember 2022 sore di Prime Plaza Hotel Sanur Bali.

Wahyudi melihat masalah kekurangan pendaftar berakar dari adanya kampus yang enggan melakukan digitalisasi. Mahasiswa saat ini mencari pengalaman belajar yang tidak hanya memberikan mereka ijazah serta ilmu teori, tapi juga digital skill dan mempraktikkan langsung studi kasus di dunia nyata.

“Kalau tak mau gulung tikar, transformasi digital harus dilakukan! Digitalisasi juga tidak cukup dicatat (dalam forum ini), tapi harus bisa memberikan impact kepada mahasiswa. Karena mahasiswa kita adalah generasi Z dan Alpha yang menginginkan pengalaman belajar digital. Kampus digital bagi mereka bukan lagi kemewahan, tapi kenormalan bahkan kewajiban!,” tegas Wahyudi dalam forum yang dihadiri ratusan pimpinan Perguruan Tinggi tersebut.

Berdasarkan pengalamannya melakukan digitalisasi di lebih dari 700 kampus di Indonesia yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA, Wahyudi kemudian berbagi empat langkah bagi kampus untuk sukses melakukan digitalisasi.

Pertama, kembangkan infrastruktur yang kokoh tapi tetap terjangkau. Wahyudi menyadari bahwa digitalisasi kerap ditakutkan karena biayanya yang dianggap mahal. Hal tersebut memang benar jika kampus harus membuat infrastuktur digital sendiri, seperti membeli server hingga membayar teknisi sendiri.

Namun, kampus juga bisa mengambil alternatif berupa menggunakan sistem yang sudah ada. Ia mengajak kampus untuk memanfaatkan aplikasi digital yang sudah banyak bertebaran di internet. Termasuk, sistem akademik berbasis infrastuktur Cloud (komputasi awan) seperti SEVIMA Platform yang sudah biasa digunakan oleh kampus.

“Dengan menggunakan infrastuktur berbasis Cloud, kini lebih dari 700 kampus yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA tidak perlu beli server karena telah berbasis cloud,” ungkap Wahyudi.

Kedua, buat roadmap (peta jalan) untuk digitalisasi kampus. Digitalisasi kampus adalah perjuangan yang membutuhkan waktu panjang. Oleh karena itu, Wahyudi mengajak kampus untuk membuat rencana pengembangan. Misalnya, apa yang perlu dilakukan kampus dalam dua, lima, sepuluh, bahkan dua puluh tahun.

Ketiga, pastikan data terintegrasi dan sesuai aturan pemerintah. Digitalisasi tak bisa dilepaskan dari pengelolaan data. Saat melakukan digitalisasi, kampus akan mengelola banyak data mulai dari penerimaan mahasiswa baru, pembelajaran, hingga kelulusan.

Wahyudi berpesan bahwa data ini perlu dikelola dengan baik, agar terintegrasi dan sesuai dengan aturan pemerintah. Di Kementerian Pendidikan sendiri, ada aturan untuk melaporkan data ke Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI).

Selain itu ada juga banyak kewajiban yang membutuhkan data seperti pengelolaan Akademik, Non Akademik, Akreditasi, Sistem Pengendalian Mutu Internal, hingga Sistem Sumber Daya (SISTER).

Ia mengatakan ini sangt penting, karena akan ada masalah besar jika data yang dimiliki kampus tidak dikelola dengan baik. Resiko seperti kebocoran data, kegagalan meluluskan mahasiswa karena tak bisa mencetak penomoran ijazah nasional, hingga akreditasi yang buruk, menanti kampus yang datanya bermasalah.

“Rumus kami di SEVIMA Platform yakni sistem di kampus harus terintegrasi dan terkoneksi. Mari kita kembangkan di kampus ekosistem digital, yang memberi impact dan terkoneksi. Karena sebagus apapun aplikasi dan sistem, kalau tidak terkoneksi atau datanya tidak aman maupun tidak sesuai dengan regulasi yang ada, itu akan bahaya,” lanjut Wahyudi mewanti-wanti perguruan tinggi.

Keempat, siapkan SDM kampus untuk menghadapi digitalisasi. Menurutnya tak hanya menggunakan gadget baru maupun aplikasi baru. Digitalisasi juga akan membawa budaya baru. Oleh karena itu sumber daya manusia (SDM) di kampus perlu disiapkan untuk menghadapi digitalisasi.

“Menyiapkan SDM tidaklah mudah. Namun semua civitas kampus harus bergerak dan mencoba, karena hal ini sudah jadi tuntutan zaman,” katanya.

Wahyudi merujuk pada data bahwa kini jumlah gadget yang ada di Indonesia sudah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sebab satu orang bisa saja memiliki lebih dari satu gadget.

“Artinya, semua orang di Indonesia saat ini sudah terekspose digitaliasi. Kampus harus berubah dan mengembangkan kultur digital, jika tidak ingin gulung tikar,” pungkas Wahyudi. ***

Editor: Fahrul Rozi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *