LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Umar Ritonga, tangan kanan mantan Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap, Kamis (25/7/2019) pagi. Umar merupakan tersangka kasus dugaan suap proyek di lingkungan Pemkab Labuhanbatu yang telah ditetapkan KPK sebagai buronan atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 24 Juli 2018 atau setahun lalu.
“Pagi ini pukul 07.00 WIB, KPK menangkap seorang yang masuk DPO dalam kasus dugaan suap terhadap Bupati Labuhanbatu, Sumatera Utara yaitu UMR (Umar Ritonga),” kata Jubir KPK, Febri Diansyah melalui pesan singkat, Kamis.
Febri menuturkan, Umar ditangkap tim KPK di rumahnya di Labuhanbatu, Sumatera Utara. Dalam proses penangkapan Umar ini, tim KPK dibantu anggota Polres Labuhanbatu. Pihak keluarga hingga Lurah setempat juga koperatif dalam proses penangkapan terhadap Umar. Untuk itu, KPK mengapresiasi sikap koperatif tersebut.
“UMR segera dibawa ke kantor KPK di Jakarta untuk proses hukum lebih lanjut,” kata Febri.
Status buron ditetapkan lantaran Umar yang menyandang status tersangka kasus dugaan suap proyek di lingkungan Pemkab Labuhanbatu tak kunjung menyerahkan diri meski berulang kali diultimatum Lembaga Antikorupsi. KPK berharap penangkapan Umar ini menjadi pembelajaran juga bagi pelaku lain untuk bersikap koperatif dan tidak mempersulit proses hukum.
“KPK berharap penangkapan DPO ini menjadi pembelajaran bagi pelaku lain untuk bersikap koperatif dan tidak mempersulit proses hukum. Baik yang telah menjadi DPO ataupun saat ini dalam posisi sebagai tersangka korupsi,” katanya.
Diketahui, KPK telah menetapkan Umar Ritonga sebagai tersangka bersama dengan Pangonal Harahap dan bos PT Binivan Konstruksi Abadi (PT BKA), Effendy Sahputra. Mereka dijerat terkait kasus dugaan suap sejumlah proyek tahun anggaran 2018 di Labuhanbatu. Namun, Umar Ritonga melarikan diri alias kabur saat akan ditangkap oleh tim KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Labuhanbatu, Selasa (17/7) lalu. Bahkan, Umar melakukan perlawanan saat mobilnya diadang oleh petugas KPK di luar bank. Saat itu, Umar sedang membawa uang Rp 500 juta yang diduga suap dari Effendy kepada Pangonal.
Pangonal sendiri telah divonis bersalah dan dihukum 7 tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Medan. Tak hanya pidana penjara dan denda Majelis Hakim juga menghukum Pangonal membayar uang pengganti sebesar Rp 42,28 miliar dan SGD 218.000 serta pencabutan hak politik selama 3 tahun setelah menjalani pidana pokok. (spc)