Kepada Hawa
aku merelakanmu menjauh,
merelakanmu terjatuh
ke tempat sampah
bagai sepotong apel merah
yang di geligimu pernah
berdarah
adakah cinta yang jatuh
kepadamu melebihi cintaku?
lelaki yang engkau cintai itu mati
dan tak membawamu ke makamnya
sementara aku bertahan hidup,
bertahun-tahun sanggup tak mati
oleh rindu–dan menanti di surga
hawa, aku masih ular yang setia
mencintaimu sepanjang usia tuhan.
Ujung-Ujung Hujan
dulu dalam dingin kita berpelukan
sambil membayangkan ujung-ujung hujan
sebagai kembang api yang merayakan
cinta yang tak akan pernah dijarakkan
sampai tibalah hari haru itu
kau berlalu, aku menutup pintu
dan ujung-ujung hujan yang jatuh
tumbuh jadi rerumputn dan perdu
hari ini, tiba-tiba aku ingat kau,
di dada jalan yang membawamu jauh
setiap ujung hujan yang menyentuh
adalah mekaran bunga-bunga beribu
Sajak Saat Hujan
jika saja waktu dan kenangan adalah layang-layang
sudah kugulung benang-benangnya dan kugunting
bagian yang tak kuingin.
hari itu hujan curah tak begitu deras namun lama,
kaca jendela berembun hingga tak perlu juntai tirai
sebagai selubung, tak akan ada orang yang melihat kita, bisikmu
lalu kau buka kancing-kancing baju dengan tangan gemetar
memperlihatkan kerumunan tahi lalat yang kau rahasiakan
di sisi kiri payudaramu yang perawan menawan
kau tuntun tanganku menghitungnya satu per satu
tetapi aku gagal menyebut jumlah.
setiap hujan seperti ini, aku berkeringat teringat
hangat tubuhmu, dan meski kukatup mata sepenuh tutup
sedikitpun tak ada yang terlupa, seluruh benar-jelas-selalu
tahi lalat yang tak pernah kutahu jumlahnya itu
kini menjelma jutaan belatung yang tak kenal kenyang
dan usiaku adalah bangkai-bangkai kucing dan anjing
jika saja waktu dan kenangan adalah layang-layang,
di saat-saat hujan begini, sudah ada seorang lain perempuan
yang pahanya jadi bantal dan tangannya mencabut
uban-uban di ubun-ubunku.
Puisi yang Mencintai Diri Sendiri
saat dibaca,
kata-kata berkaca
pada telaga mata penyair
ia melihat dirinya telah berubah jadi puisi
dan memutuskan jatuh cinta kepada diri sendiri.
———————————
M Aan Mansyur, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982, merupakan penulis puisi dan cerpen. Beberapa karya kumpulan puisi berjudul Hujan Rintih-Rintih (2005), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Melihat Api Bekerja (2015), Tidak Ada New York Hari Ini (2016), Cinta yang Marah (2017), Sebelum Sendiri (2017), Perjalanan Lain Menuju Bulan (2017), Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau (2020), dan Waktu yang Tepat untuk Melupakan Waktu (2021). Kumpulan cerpen Kukila (2012).
Baca : Puisi-puisi Karya Agus Widiey