Oleh: Marzuli Ridwan Al-bantany*)
Beberapa hari lalu, tepatnya pada hari Sabtu pagi, 8 Februari 2025, sebuah buku berjudul Memeluk Melayu telah kuterima dan kusambut dengan penuh suka cita. Buku setebal 342 halaman yang merupakan kumpulan percikan pemikiran sastrawan dan juga budayawan Riau Griven H. Putera ini, sengaja dikirim dan dihadiahkan langsung olehnya dari Pekanbaru kepadaku. Bagiku, sungguh buku ini merupakan buah tangan yang tak ternilai harganya, karya seorang doktor yang pada pertengahan tahun 2023 lalu telah dinobatkan sebagai Batin Sibokol-Bokol bergelar Datuk Sati Diraja Rantaubaru oleh Datuk Engku Raja Lela Putra (pucuk perbatinan yang kurang satu tiga puluh) di Kerajaan Pelalawan, dan telah disahkan oleh Sultan Pelalawan ke X Assyayidis Syarif Kamaruddin Harun Tengku Besar Pelalawan.
***
AWAL mula membaca buku karya Griven H Putera yang diterbitkan oleh penerbit Meja Tamu dan masih sangat hangat ini, sengaja aku memilih tulisannya yang berjudul Memeluk Melayu,- yang kebetulan diletakkan olehnya pada bagian akhir dari keseluruhan 77 tulisan yang telah ditulisnya sepanjang tahun 2015-2024 di buku ini. Pada Sub judul tulisanya Memeluk Melayu tersebut, yang kemudian menjadi judul utama dari seluruh kumpulan percikan pemikirannya itu, dengan tidak terduga aku menemukan ada suatu kesan sangat mendalam, yang tersirat dan hendak dikabarkannya kepada dunia, yakni tentang kenangan, harapan dan juga cita-cita.
Benar saja, hampir sebagian besar esai atau tulisannya di buku esainya tersebut, Griven H. Putera sungguh ingin mengisahkan berbagai kenangan itu, harapan dan cita-citanya pada tanah kelahirannya, pada ketamadunan dan kebesaran Melayu. Pun pada suatu tempat dan bahkan pada tapak-tapak sejarah yang telah dikunjunginya selama ini. Semua kenangan yang telah dilalui itu dicatatnya dengan begitu indah, dengan gaya bahasa yang ‘romantis’ serta penyampaian yang indah pula.
Kenangan, harapan dan bahkan cita-cita yang dapat kutangkap pada setiap tulisannya,- dan barangkali dimaksudkannya pula di buku ini di sini, adalah perihal jati diri ia sebagai seorang sastrawan dan budayawan, sebagai seorang anak Melayu yang lahir dan dibesarkan dari sebuah kampung yang indah dan permai,- yang saban hari disuguhi hijau rindang pepohonan, yang sewaktu kecil dengan kedua tangannya yang lincah menangkap ikan-ikan di sungai, berendam di air pasang, dan bahkan bermain serta bermanja-manja dengan pesona pasir merah di tengah sungai tatkala air mulai surut. Begitulah suasana kampung dengan berbagai pesona dan kenangan indah di pelupuk matanya, yang hingga ke hari ini masih terus terbayang dan hadir dalam ingatan lelaki yang usianya kini hampir mencecah setengah abad itu.
Tak hanya soal kenangan, harapan dan cita-cita yang terus membungkus jiwanya, kerinduan Griven H. Putera akan masa kecil saat bersama ayah dan ibunya di sebuah kampung kecil bernama Rantaubaru yang menyimpan berjuta keindahan itu, telah mendorongnya untuk selalu berbakti dan mengabdi pada negeri, menjaga adat dan tradisi, menyuburharumkan lagi sendi-sendi budaya yang telah sekian lama mengakar dan tumbuh dalam hati sanubari dari suatu generasi ke generasi. Hatinya pun kian teguh memilih jalan ini, menjadi bagian penting untuk terus melestarikan kesejatian nilai-nilai budaya yang ada dan telah berurat nadi pada diri tiap generasi muda hari ini, generasi yang mungkin datang setelahnya nanti.
Bertitiktolak pada harapan dan cita-cita mulia itu, paling tidak melalui Rumah Baca Datuk Sati Diraja yang didirikan ia bersama sejumlah temannya di perkarangan rumah peninggalan ayah dan ibunya di kampung, diharapkan mampu menjadi suluh dan cahaya yang terang bagi para anak-anak muda, anak-anak kemanakannya dalam merentasi luasnya samudera ilmu pengetahuan, serta khazanah Melayu yang akan dapat diterokai pada setiap hari Sabtu melalui buku-buku karya Soeman HS maupun Abel Tasman, juga ratusan buku-buku lainnya yang dulu pernah menjadi koleksi almarhum ayahnya yang merupakan seorang guru di kampungnya itu.
Menurut hemat ku ketika membaca keseluruhan tulisan yang terangkum pada kumpulan percikan pemikiran Griven H. Putera dalam buku Memeluk Melayu kali ini, sebagian besar tulisannya itu tak terlepas dari upayanya dalam mendedahkan makna sebuah kenangan yang kadang berkaitkelindan dengan sejarah masa lalu, harapan dan juga cita-citanya sebagai seorang anak Melayu yang ingin melihat Melayu di negeri dan kampung halamannya terus bangkit, maju dan berkembang. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam tulisan-tulisannya berjudul: Memeluk Melayu; Petang di Danau Sepunjung; Renungan Milad, Tiara dan Dermaga; Pesona Muara Lembu; Pulau Barat Sumatera; Beraya di Kampung; Rumah Masa Lalu; Kenangan dan Harapan; Di Bengkalis Suatu Waktu; Selamat Pulang Bang Al; September Kelam; Ke Aceh; Di Aceh; Bermalam Lagi di Singkarak; Rupatku Molek; Suatu Ketika di Tepi Selat Melaka; Berkah Terbunuhnya Nakhoda Kuning; Jumat di Penyengat; Ke Bintan Menyulam Sayang?; Kuala Lumpur, Bali, Oktober; Kuala Lumpur, Bali, Oktober (2); dan Batam, Tuan Laksamana dan Para Penyair.
Bahkan dalam tulisannya yang lain berjudul Percakapan dari Johor, ia begitu rinci merekam indah setiap penggalan kisah perjalanannya di salah satu negeri di Malaysia itu. Griven H Putera tampaknya juga sangat lihai bermain-main dengan kata-kata dan imajinasinya sendiri dalam mengkritik sebuah persoalan yang kerap muncul di negerinya. Dalam tulisannya ini,- melalui tokoh Putra dan HES, ia begitu fasih berkisah, seolah-olah sedang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, tentang Riau yang tak seperti Johor dalam soal pentadbirannya, padahal Riau dan Johor di suatu masa yang lampau adalah negeri kembar. Sejumlah pertanyaan bernada kritikan seakan berlompatan dan berhamburan keluar dari percakapan-percakapan itu; Mengapa Riau tak seperti Johor? Mengapa mengurus Riau jauh lebih rumit daripada mengurus Johor? Siapa dan apa yang salah? dan sejumlah pertanyaan tajam lainnya. Tentang tokoh Putra dan HES dalam tulisannya ini, aku pun bertanya-tanya. Apakah Putra dan HES adalah orang yang sama? Atau jangan-jangan kedua tokoh tersebut adalah diri yang satu, yang membelah wujud menjadi dua, umpama jiwa dan raga yang menyatu dalam tubuh yang bernyawa? Hanya si penulis-lah yang barangkali mampu mengurai dan menjelaskannya semua.
Sebagai penulis yang kerap diundang sebagai pembicara perihal Melayu dan kebudayaan, Griven H. Putera yang juga salah seorang pengurus DPH LAM Riau ini tahu betul, bahwa menjadi orang Melayu dalam menjalani aktivitas kehidupan ada adat resam yang mesti dijalankan. Ada pantang larang yang harus selalu dijadikan pedoman dan sempadan. Juga ada tunjuk ajar Melayu yang mutlak untuk dilaksanakan. Bahkan dalam setiap tutur kata, bertingkah laku dan bertindak, orang-orang Melayu yang identik sebagai muslim juga harus mencerminkan nilai-nilai luhur kesantunan, nilai-nilai kebijaksanaan, nilai-nilai kemaslahatan. Menjadi Melayu harus memegang teguh pada adat istiadat, pada adat yang bersendikan syara’, syara’ yang bersendikan kitabullah. Selain itu, termasuk pula berbagai upaya dalam menjaga dan mempertahankan setiap warisan kebudayaan, juga pemanfaatan atas sumber daya alam yang dimiliki,- yang mesti selalu dilestarikan dan hanya diperuntukkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, bagi anak cucu serta generasi yang akan datang.
Kita barangkali dapat melihat pada tulisannya yang berjudul Lelang Suak Sungai. Betapa Griven H. Putera dengan pemikirannya yang bernas berbicara soal pengelolaan atas hasil alam, baik itu berupa hutan, tanah, sungai, laut dan sebagainya. Alam dengan segala kekayaan yang ada mesti dikelola bagi kemakmuran masyarakat, demi keberlangsungan hidup di masa depan bagi puak atau suku bangsanya. Menurut pria yang telah bergelar Datuk Sati Diraja atau Batin Sibokol-Bokol ini pun menegaskan, jika alam bagi suatu puak atau suku bangsa, bukan saja sebagai sarana untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan masyarakat, akan tetapi menjadi suatu kebanggaan atas kebudayaan yang dimiliki. Untuk itu, tradisi Lelang Suak Sungai yang telah berlangsung sejak lama pada masyarakat adat di kampung halamannya di Rantaubaru Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan yang kini berada dibawah naungannya sebagai Datuk Sati Diraja atau Batin Sibokol-Bokol, harus tetap dijaga dan dilestarikan. Hasil pelelangan (sewa) terhadap suak, sungai, danau, parit dan alu yang terdapat dalam wilayah itu kepada masyarakat yang bersedia mengelolanya, mestilah pula diperuntukkan bagi kelancaran pembangunan kegiatan kemasyarakatan, seperti untuk keperluan anak yatim, rumah ibadah dan kegiatan sosial lainnya serta menjadi kas adat.
Pada penggalan tulisannya yang lain, yakni pada tulisannya yang berjudul Dari Kamar 3333, Griven H. Putera secara apik menuliskan sepenggal kisah perjalanannya yang telah mengantarkannya sebagai pemuka adat di kampungnya. Gelar atau penobatannya sebagai Datuk Sati Diraja, Batin Sibokol-Bokol yang merupakan satu pucuk adat dari Batin Nan Kuang Oso Tigo Puluh diceritakan dengan sangat padat. Begitu pula dengan sejumlah tugas yang mengharuskannya untuk terbang ke Jakarta,- mengajukan hutan adat bagi masyarakat kampungnya, yang kemudian berakhir bersama salah satu stasiun televisi swasta yang sengaja mengajaknya untuk berkeliling, ke hulu dan ke hilir kampungnya, berbincang-bincang dengannya mengenai kampungnya itu. Ia pun bersyukur, tersebab hal itu pulalah ia kembali mengimbas kenangan masa kecil ketika menyusuri Laut Ombun atau Sungai Kampar, mulai dari kampungnya hingga ke batas paling hulu, lalu menghilir hingga ke perbatasan. Bahkan ia dapat melihat dan menyaksikan dari dekat ketika menaiki tebing Teluk Mempelam, suatu daerah yang merupakan pandam perkuburan nenek moyangnya di masa lalu, yang sudah puluhan tahun tak diziarahi karena sudah tidak diketahui entah nenek moyang siapa bermakam di kawasan itu.
Di sisi lain, Griven H. Putera melalui tulisannya itu juga berkisah tentang ingatannya ketika mengikuti pompong yang membawanya kembali ke hilir, menyaksikan sebuah pokok sawit di samping pokok longung. Pokok sawit itu kini telah tinggi menjulang dan diperkirakan telah berusia seratus tahun lebih. Rupanya itulah pohon yang oleh orang-orang tua di kampungnya dulu menyebutnya dengan sebutan pokok kelapa bali. Pun ketika ia menyadari jika di hulu dan hilir kampungnya kini pokok-pokok sialang yang tumbuh memenuhi pinggir tebing seakan telah berkurang dan hampir punah dipenuhi pohon-pohon sawit. Padahal dulu, dua puluh tahunan yang lalu, pokok-pokok sialang yang dikepung sialang-lah yang mendominasi kawasan itu. Mungkin disebabkan faktor ekonomi-lah, tanah dan lahan-lahan di kampungnya kini telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian kebun kelapa sawit.
Lewat tulisan berjudul Dari Jendela Kamar 3333, Griven H. Putera sangat manis menuliskan ingatan dan kenangannya akan kampung halamannya itu. Lihatlah ia bersama kru insan televisi swasta serta para pemangku adat yang lain, akhirnya dapat pula ia menjejakkan kaki menjenguk suak, sungai, seluk, teluk, rantau dan tanjung sebagai ulayatnya sebelum ia dinobatkan sebagai pucuk adat bergelar Datuk Sati Diraja. Bahkan selain sampai ke batas, di rantau Sialang Seibu Saghak (syara’), kemudian menghilir ke Teluk Mempelam yang tanpa disadari jika kakinya tersandung pada sebuah batu nisan yang diukir dan dipahat dengan elok,- yang dahulu ditempah oleh nenek moyangnya di Temasik (Singapura), ia dan rombongan juga terus menyusuri hilir, ke Teluk Bedagu Guntung, Befagu Godang, Tanjung Bono, Teluk Merbau, Kepala Rantau Santoghok/Dusun Terap/Tua, Teluk Sialang Sempak, Rantau Santoghok, Rantau Sialang Raja, Teluk Membaung, Sungai Malipari, terus ke Rantau Kebun atau Malaka Kocik dan seterusnya ke hilir dan ke hilir.
Dari Jendela Kamar 3333 yang merupakan salah satu tulisannya di buku Memeluk Melayu karyanya ini, ingatan Griven H. Putera juga tertuju pada sehari sebelum acara penobatannya, dimana ia terbayang saat memasuki Danau Sepunjung, sebuah danau yang terletak di seberang Desa Rantaubaru yang menyimpan kenangannya semasa kecil. Di danau ini ia bersama almarhum ayah menghabiskan waktu petang menikmati suara burung dan binatang-binatang hutan. Di danau ini jugalah ia bersama mendiang ayahnya itu menangkap ikan yang banyaknya hampir separuh sampan. Dan sepenggal kisah masa kecilnya itu diramu sedemikian rupa olehnya dalam tulisannya ini, di sela-sela kenangannya ketika menyusuri Danau Sepunjung bersama rombongan wartawan serta para tetua adat dan Datuk Engku Raja Lela Putera (Tuk Engku) yang merupakan zuriat Maharaja Dinda serta beberapa orang peneliti budaya lainnya.
Tak sampai di situ, Griven H. Putera juga mengisahkan ingatannya tatkala ia bersama rombongan dengan menggunakan pompong menyusuri sebuah tanjung yang merupakan ujung kampungnya di bagian hilir. Di sekitarnya, Teluk Sedewo terlihat tenang. Di seberangnya, Tanjung Semamba telah berubah. Pokok-pokok ranggas yang dulunya berjejer di pinggir tebing, kini telah bertukar menjadi rimbun pepohonan kelapa sawit. Untunglah masih ada pohon sialang yang dalam rimbun pohon kelapa sawit itu menjuntaikan dahan-dahannya, menjadi tempat lebah hinggap dan bersarang di sana. Selanjutnya, tentang berbagai keindahan dan pesona yang terdapat di kampung halaman serta kenangan yang terus membuncah semasa kecil, masih membingkai rapi dan terurai dalam setiap lembaran tulisannya yang berjudul Masih dari 3333.
Lelaki yang telah banyak melahirkan karya berupa esai, artikel, cerita pendek, novel maupun cerita rakyat ini, tidak hanya mengabarkan soal kenangan, harapan serta cita-citanya yang besar lewat penggalan-penggalan kisah perjalanan hidupnya yang bersinggungan langsung dengan budaya maupun sejarah yang dimiliki masyarakat Melayu,- sebagaimana yang terbungkus dalam kumpulan percikan pemikirannya dalam bukunya Memeluk Melayu ini, namun ia juga mampu menuangkan ide, gagasan serta pemikirannya bagi keberlangsungan budaya dan sejarah itu sendiri. Tengok pulalah pada tulisannya berjudul Kabar Selayang dari Istana Sayap, penulis ini dengan caranya sendiri mencoba menyampaikan pesan atau lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai sebuah kritikan yang konstruktif. Ya, lewat sebuah narasi bak cerita pendek yang menghadirkan dua tokoh cerita (lagi-lagi tokoh Putra dan HES dalam percakapan hangat) yang ditulisnya. Apa jadinya jika sebuah objek sejarah yang dimiliki tidak dikelola dengan baik, disolek sedemikian indah dan menarik? Apalagi apa jadinya bila objek sejarah itu tidak dilengkapi dengan berbagai aktivitas budaya serta hal-hal lain yang mengiringinya, yang membuat hati selalu terpaut dan tertuju padanya? Tentu semakin suram dan hambarlah ia. Bisa jadi lama-kelamaan orang-orang akan melupakannya dan tidak lagi mengetahui akan sejarah yang ada padanya.
Nah, lewat tulisannya itu, dengan bahasa dan diksi yang tersusun indah nan menawan, Griven H. Putera selaku penulis ingin mencoba membuka minda dan ruang pikir kita seluas-luasnya. Ya, agar kita, para pembaca untuk selalu berpikir jernih dan tetap kritis atas berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan, serta menjadikan buku Memeluk Melayu ini sebagai bacaan menarik yang selalu memotivasi diri untuk melakukan kebajikan. Itu semua sebagaimana terkandung dalam sejumlah tulisannya yang berjudul: Macet; Rihlah; Selamat Tahun Baru 2024; Berhenti dan pada beberapa judul tulisannya yang lain- yang akhirnya kita tanpa satu komando akan mengangguk-anggukkan kepala, bersetuju pula atas apa yang telah menjadi pokok gagasannya, pada bernasnya sumbang saran pemikirannya lewat tinta-tinta emas yang digoresankannya di buku Memeluk Melayu yang rupawan ini.
Sebagai penulis yang aktif dan giat berorganisasi, bahkan sepanjang riwayat kepenulisannya beberapa prestasi menulis serta penghargaan pernah diraihnya, lewat Memeluk Melayu ia juga menyuarakan pesan-pesan agama, pesan-pesan kebaikan. Bacalah pada judul-judul tulisannya: Manfaatkan Air yang Setimba; Nilai Israk Mikraj; Selamat Datang Cemerlang; Selamat Tinggal Kenangan; Predator Kebajikan; Keanehan demi Keanehan; Bekal Terbaik; Jalan Lain Masih Ada; Perjalanan Mulia; Musafir; Penopang Hijrah; Semesta 2021; dan Desember Haru. Yang menariknya lagi, tak jarang pesan-pesan kebajikan yang disampaikannya,- lelaki yang tercatat sebagai salah seorang ASN di Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Riau itu,- melalui tulisan-tulisannya ini ia turut menyertakan beberapa kandungan ayat-ayat suci al-Quran maupun hadits-hadits nabi sebagai dalil yang menguatkan pesan-pesannya.
Berbagai ulasan Griven H. Putera terhadap hasil karya sastra/seni dari sejumlah sastrawan dan seniman di Riau pun tak luput dari sentuhannya di buku Memeluk Melayu ini. Ulasan-ulasannya yang tajam dan kadang menghunjam jauh ke lubuk hati itupun dituangkannya dengan sangat apik. Perhatikanlah bagaimana ia mampu memotret seluruh isi novel Sumbang karya sastrawan Riau Musa Ismail yang mengetengahkan tokoh Murni dengan kisah perjalanan hidup penuh liku melalui tulisannya berjudul Sumbang Musa. Murni, seorang dara jelita nan elok parasnya namun bisu sebagaimana ditulis Musa Ismail yang bermastautin di Bengkalis itu, dikisahkan telah membuat beberapa perempuan sebayanya cemburu dan mengasingkannya. Kendati demikian ia disukai beberapa lelaki manapun yang mengenalnya, seperti Tuan Liem si juragan pemilik kebun karet yang miang, Kamil, termasuk Ryand, seorang bule asal California Amerika Serikat, sang manjer kontaktor Petro Sea yang merupakan rekanan perusahaan minyak bernama Hudbay Petroleum SA. Begitu juga dengan Marno, lelaki kedua yang pernah menikahi Murni setelah sebelumnya ditinggal oleh Ryand, yang menjadikannya isteri dan bersama hanya semalam saja. Namun takdir berkata lain, hidup bersama dengan Marno pun tak berlangsung lama, dan di usia pernikahan mereka yang tergolong singkat, Marno meninggal dunia dalam suatu kecelakaan saat melakukan aktivitas pembalakan liar di hutan Merbau. Akhirnya, Murni kembali melanjutkan hidup berumah tangga, dan kali ini ia menikah dengan Kamil, lelaki dan pemuda kampung yang lugu,- yang mencintainya seolah tanpa batas. Kamil-lah yang kemudian menjadi teman setianya hingga ke ujung hayat, hidup bersama dengan anak semata wayang Murni-Ryand bernama Samsul.
Begitu juga pada tulisannya yang berjudul Dan Perahu Pun Berlayar, Griven H. Putera berhasil menangkap pesan-pesan khusus yang disampaikan Hamzah Fansuri lewat “Syair Perahu”-nya, Wahai muda kenali dirimu/ialah perahu tamsil tubuhmu/tiadalah berapa lama hidupmu/ke akhirat jua kekal diammu. Bagi Griven, syair yang ditulis Hamzah Fansuri ini selaras dengan salah satu ungkapan yang sangat masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam dari sejak dahulu hinggalah sekarang, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yang memiliki arti siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya. Siapa yang mengenal dirinya yang tiada berdaya dan bukan siapa-siapa, maka ia akan mengenal tuhannya Yang Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Mengetahui dan Maha-maha lainnya.
Selebihnya, tulisan-tulisan Griven H. Putera mengenai sastra dan Melayu serta geliatnya pada masa lalu, kini dan akan datang, tentang beberapa tradisi sastra lisan yang berkembang di daerah pedalaman di sejumlah daerah di Riau, serta perkembangan sinema di Riau mampu dikemasnya dengan rangkaian kata serta diksi-diksi yang segar dan tidak membosankan. Begitupun pada pada tulisan-tulisannya tentang dunia olahraga, tentang Rumaisa dan Covid-19, tentang Jalaluddin As-Sayuti, tentang Daoed Joesoef sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 1978-1983 yang dengan melalui sejumlah kebijakannya dipandang kontroversi oleh beberapa kalangan saat itu, turut pula disenaraikan dan diinformasikan dengan baik. Bahkan juga tentang sebuah novel sulung karya sastrawan asal Selatpanjang Afrizal Cik (AC) yang berjudul Beras Kunyit Untuk Takdir. Lewat ulasannya yang bernas dan tajam dengan judul Beraskunyit Afrizal, Griven mencatat bahwa menjadi anak Melayu Pulau atau anak Melayu Pesisir sesungguhnya sesuatu yang patut disyukuri. Menjadi Melayu pada umumnya, adalah anugerah Tuhan yang tak terhingga, tak ternilai harganya,- terlepas dari berbagai persoalan yang ada, bahkan pada setiap kelebihan maupun kekurangan yang ada.
Akhirnya, melalui ulasanku yang sederhana atas buku Memeluk Melayu karya emas Griven H. Putera, sang pujangga, sastrawan, dan budayawan sekaligus pemuka adat ini, dapat kutarik sebuah kesimpulan akhir, bahwa Melayu itu ianya bukan hanya sekadar etnis semata-mata, melainkan sebuah bangsa yang besar, yang memerlukan sentuhan halus penuh kasih sayang dari setiap tangan-tangan zaman yang datang merawatnya. Lebih dari itu, ia juga memerlukan pelukan mesra dan rasa memiliki dari setiap diri yang mengaku Melayu, mengaku berbudaya dengan adat dan tradisi Melayu.
Maka benarlah apa-apa saja yang tersirat dari setiap lembaran tulisan yang telah disuguhkan Griven H. Putera melalui buku Memeluk Melayu-nya ini, bahwa nasib dan masa depan masyarakat Melayu di setiap ceruk kampung, di setiap suak, sungai, teluk, rantau dan tanjung di negeri ini wajib untuk diperhatikan, diperjuangkan dengan segenap kemampuan serta didukung oleh sumber daya alamnya yang ada. Merekalah, para penguasa negeri, para pemangku kebijakan serta elemen-elemen penting lainnya yang dituakan, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, yang diharapkan sama menuntun, membimbing dan memandu ke arah kemakmuran dan kesejehteraan hidup masyarakatnya. Dalam kontek berbangsa dan bernegara, kita tentu memerlukan peneraju-peneraju negeri yang menakhodai negeri ini dengan hati nuraninya, dengan seluruh jiwa raga dan semangatnya yang merdeka, melayari luasnya samudera kehidupan dengan harapan dan cita-cita. Juga mungkin dapat berkaca pada kenangan serta sejarah bangsanya yang besar dengan segala yang ada padanya.
Selamat dan tahniah Datuk Sati Diraja Batin Sibokol-Bokol, Doktor H. Griven H. Putera, M.Ag, senior dan sahabat yang terus memotivasiku dalam menulis. Semoga kumpulan percikan pemikiranmu ini menjadi suluh serta pelecut bagi setiap anak negeri, anak-anak Melayu di rantau ini yang selalu menyimpan api semangat dan harapan yang terus menyala-nyala dalam hati sanubarinya. Dan kelak, kuingin melihat kau tersenyum menikmati hari-hari atas segala apa yang telah kaubaktikan selama ini untuk negerimu, untuk bangsamu dan juga negaramu. Jangan lupa, peluklah juga aku pada setiap waktu kau merayakan hari-hari bahagiamu itu. Ya, memeluk Melayu, memeluk marwah negeri dan negeri kita yang merdeka.*) ***
Bengkalis, 11 Februari 2025
*) Marzuli Ridwan Al-bantany adalah sastrawan Indonesia bermastautin di Bengkalis, Riau. Selain menulis esai/artikel budaya dan sastra, beliau juga menulis puisi, cerpen dan novel. Karya-karyanya juga telah diterbitkan dalam sejumlah buku tunggal maupun antologi bersama. Buku sastra tunggal teranyar yang diterbitkannya adalah Jalan Pulang, sebuah novel yang diterbitkan pada tahun 2023 yang lalu. *