Metafora Mata Sauron

Buku terbaru karya Muchid Albintani, Mata Sourun.

Oleh Musa Ismail

Bismillah,
”Ibnu Qayyim Al-Jau-ziyyah berkata, ”Pandangan mata adalah asal dari seluruh petaka yang menimpa seorang insan. Dari pandangan mata melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati melahirkan pikiran, kemudian timbul syahwat. Dari syahwat lahir keinginan kuat yang akan menjadi kemantapan yang kokoh, dari sini pasti akan terjadi perbuatan di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah dan menahannya. Karena itulah dinyatakan bahwa bersabar menahan pandangan itu lebih mudah daripada bersabar menanggung kepedihan setelahnya”.

Mata tidak hanya penting bagi manusia. Alat visual ini memiliki penekanan khusus dalam berbagai hal, termasuk di dunia hiburan dan sastra. Kekuatan mata kita temukan dalam film laga Indonesia klasik. Dalam film tersebut, karakter protogonis dan antagonis memiliki mata yang mampu memancarkan cahaya atau api. Mata menjadi senjata yang dahsyat untuk menghancurkan musuh atau sesuatu. Mata juga bisa menjadi alat untuk menyelamatkan. Di dunia Barat, kita kenal dengan karakter Superman yang juga mempunyai kekuatan mata. Dari Jepang, kita mengenal dojutsu, yaitu teknik (kekuatan) mata dalam Naruto dan Boruto. Kita juga akan menemukan beragam kekuatan mata dalam beragam film anime dan fiksi sain lainnya.

Mata bukan hanya menjadi subjek dalam film dan anime. Alat melihat ini juga menjadi subjek dan objek dalam karya sastra. Beberapa di antaranya, yaitu sajak Tanah Air Mata karya Sutardji Calzoum Bachri. Ada cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma yang berkisah karakter Saksi Mata yang kehilangan matanya. W.S. Rendra pun menulis sajak bertajuk Mata Hitam. Ada juga novel anak bertajuk Mata di Tanah Melus, Mata dan Rahasia Pulau Gapi, serta Mata dan Manusia Laut karya Okky Madasari. Jika ingin diteliti, kita akan menemukan sangat banyak karya sastra nusantara dan mancanegara yang mengambil kekuatan mata sebagai subjek dan objek karya.

Kumpulan sajak Mata Sauron karya Muchid Albintani mengusik mata hati dan mata pikiran saya. Karena keterbatasan, saya berkelana di dunia maya untuk menemukan istilah mata sauron. Ternyata, judul kumpulan sajak karya lulusan Doktor Filsafat dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini tertuju pada satu film bertajuk Lord of the Ring. Pemahaman ini dapat pula kita temukan dalam sajaknya bertajuk Barat, bait ke-3: mata itu membelah persada/ pada ‘Lord of the Ring’ di menara sauron/ ‘greenwich mean time’/. Dari sajak ini dan kaitannya dengan beberapa sajak lain, pikiran kita akan tertuju pada metafora mata sauron sebagai pengendali kekuasaan hitam. Mata Sauron bermakna penguasa kegelapan. Penguasa kegelapan ini merupakan perkongsian yang berupaya menguasai duniawi dengan berbagai hipnotis pikiran dan perasaan. Secara umum, sajak-sajak Muchid ini memberikan penyadaran dan pencerahan kepada kita tentang teori konspirasi penguasaan dunia dari beragam suduh kehidupan. Sebagai konspirasi, metafora mata suron sudah tentu menyelinap, melompat-lompat, dan menyala dengan misteri. Kekuasaan gelap bermain secara rahasia untuk menguasai opini dunia tentang suatu peristiwa dari beragam sudut kehidupan. Perencanaan beragam opini ini diciptakan secara komprehensif seolah-olah menjadi fakta yang mampu menggiring pada perlakuan sistem tertentu.

Sajak-sajak dalam karya Muchid ini memiliki nilai-nilai tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia, khususnya Riau. Jarang sekali akademisi ilmu sosial dan politik mau dan mampu menyuarakan kegelisahannya melalui sastra, apalagi puisi. Mantan wartawan ini justru mau dan mampu memberikan kesadaran kepada kita tentang kondisi dunia saat ini, terutama berkaitan dengan konspirasi. Ada beberapa nilai yang bisa kita temukan dalam kumpulan sajaknya ini.

Pertama, bahaya konspirasi sudah mengglobal saat ini. Konspirasi itu melanda sistem kehidupan kita saat ini. Bukan hanya sistem politik, tetapi juga menusuk jantung ekonomi, kesehatan, ketahanan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan, kedamaian dunia, bahkan agama pun dipermainkan dengan penuh intrik. Paling tidak penyadaran ini dapat kita pahami dalam sajak Mengatur Ulang, Valadomir, Mimpi Pandemi, dan Masker, serta beberapa sajak lainnya.

Kedua, kesombongan atau kepongahan menjadikan manusia lupa akan Yang Ahad, Allah Azzawajalla. Kisah Raja Namruz dan Raja Firaun menjadi simbolisasi dalam sajak berjudul Piramida: …. / kesombongan yang nyata/ cermin menjadi tuhan manusia/ sang penguasa sombong angkuh durjana/ maka tatkala bercermin/ pastilah tiada/ bayangannya? Kesombongan ini juga dilakarkan Muchid dengan karakter Azazil dalam sajak bertajuk Jin, Azazil, dan Obelisk. Akibat kepongahan inilah, kemuliaan menjadi kehinaan.

Ketiga, balasan bagi setiap manusia yang berperangai menyimpang selama di dunia. Pesan religiusitas sangat nyata dalam beberapa sajak Muchid. Misalnya sajak Hawiyah Melambai pada Malam Keduapuluh Satu. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW bertanya kepada Jibril tentang penduduk setiap tingkatan neraka. Jibril menjawab bahwa Pintu paling bawah disebut dengan Hawiyah. Ia dihuni oleh orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah Taala ’Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka (QS An Nisa:145). Maka, pesan-pesan dalam puisi tersebut tertuju kepada manusia beriman, tetapi berada dalam kemunafikan seperti peristiwa pawang hujan di Mandalika dan peristiwa mubahalah.

Keempat, menggunakan mata hati dan mata pikiran dalam menyikapi ikhwal yang kita alami dalam konspirasi kehidupan. Pesan-pesan menggunakan akal ini dapat kita temukan dalam sebagian umum sajak-sajak Muchid. Misalnya, sajak Kabalah, tertulis larik …. berubah tak berpikir dan …. ketika orang-orang pintar abai. Abai tak mau berpikir merupakan tanda kemusnahan. ….bahwa itulah akhir/ yang sedang dalam penantian. Dalam sajak Baphomir, Muchid juga mengingatkan kita tentang keimanan yang tak berakal atau sebaliknya berakal, tapi tak beriman yang tercampak dalam manipulasi. Kehati-hatian akan manipulasi keimanan sangat jelas dalam sajak utama bertajuk Mata Sauron. Sajak ini mengingatkan kita agar waspada dengan simbolisasi yang mengarahkan pada pelemahan iman sehingga kita lalai dengan keagungan Ilahi.

Kelima, mengokohkan penghambaan kepada Yang Ahad merupakan pesan utama Muchid dalam sajaknya ini. Beberapa puisi bagian terakhir seperti mengisyaratkan kepada kita bahwa keimanan dan kebenaran hakiki tetap akan kita temukan meskipun di waktu-waktu terakhir. Taubat merupakan kunci utama kemaslahatan hidup dunia akhirat. Sajak Lima Gelombang mengukuhkan keimanan kita betapa pentingnya bertaubat kepada Allah Taala untuk menggapai keselamatan sebelum terlambat: gelombang taubat/ secepat kilat/ negeri selamat/ sebelum terlambat/ maka rukuk sujudlah/ kepada yang/ Maha Ahad. Lalu, sajak Kahramanmaras tertulis ….taubatlah jangan saling memamah/ …. masih ada waktu sebelum/ nisan pun selimut putih/ mengurung badan. Pengokohan akan penghambaan ini sangat kuat kita temukan dalam sajak terakhir kumpulan ini yang bertajuk Rahmatan Lilalamin. Sajak ini mengingatkan agar mata hati kita berpegang teguh kepada syahadat sebagai jalan penuntun rahmat bagi sekalian alam.

Dengan diski-diksi kekinian, Muchid merangkai larik-larik sajaknya penuh dengan istilah-istilah yang mengusik pikiran dan perasaan. Sajak-sajak dalam Mata Sauron bukan hanya menyadarkan kita dari tipu muslihat dunia. Namun, sajak-sajak tersebut juga menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan keimanan kepada Islam sebagai landasan kekuasaan sejati. Dalam sajak ini, Mata Sauron bukan hanya sebagai metafora neraka, tetapi juga metafora jalan kebenaran. Mata Sauron seumpama sampan dan dayung. Ke mana kita akan mendayung sampan, apakah pada pulau bahagia atau pulau kepedihan. Mata Sauron adalah metafora kekuasaan hakiki dan kekuasaan semu. Kita diajarkan bagaimana menjaga kekuatan mata lahir-batin, terutama sebagai muslim sejati agar mata kita tidak tercampak ke dalam neraka.

Di akhir epilog ini, saya hadirkan kutipan berikut: Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ada tiga pasang mata yang tidak akan terlihat kelak di dalam neraka: mata yang (tidak tertidur) atau terjaga di jalan Allah, mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang ditutup atau dijaga dari apa yang diharamkan Allah.” (HR. ath-Thabrani, Ibnu ‘Asakir dan al-Khila’i dalam Kitab al-Fawa’id, Majma al-Zawa’id dan Mu’jam al-Kubra). ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, 15 Muharam 1446 H / 21 Juli 2024.

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews