LAMANRIAUCOM, JAKARTA – Mantan koruptor yang diusung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan lemahnya kaderisasi di partai politik (parpol). Karena itu, reformasi di internal parpol harus dilakukan secara menyeluruh.
“Partai harus mulai lakukan reformasi secara besar-besaran dan evaluasi internal. Partai wajib punya sumber daya manusia (SDM) berkualitas, berintegritas, dan rekam jejak yang baik untuk dicalonkan dalam pilkada maupun kontestasi demokrasi lainnya,” kata pakar politik Siti Zuhro kepada Beritasatu, Selasa (30/7).
“Kaderisasi yang baik dengan sendirinya mampu menyaring kader-kader tertentu agar dipromosikan, misalnya dalam pilkada. Tidak seperti sekarang. Kaderisasi belum maksimal,” ucap Siti Zuhro.
Melalui kaderisasi, menurut Siti, jajaran partai dari pusat dan daerah sudah bisa memetakan kader potensial. Pengurus daerah, lanjut Siti, perlu diberikan tanggung jawab melaksanakan reformasi dengan serius.
“Kalau kaderisasi dijalankan optimal, maka pengurus partai di daerah, memiliki otoritas menyampaikan calon-calon yang the best local atau terbaik di daerahnya masing-masing. Tidak datang pilkada, lalu bingung sendiri,” tegas Siti Zuhro.
Siti menyatakan, selama ini masih ada parpol yang mengusung calon pemimpin daerah hanya karena bayaran. Praktik semacam ini, demikian peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut menjelaskan, membuka celah figur yang tidak kompeten mengikuti pilkada.
“Partai nantinya bisa menghadapi masalah besar jika calon pemimpin daerah yang diusung, ternyata rekam jejaknya buruk. Perangai-perangi negatif itu bisa terulang, kambuhan. Masyarakat juga penting agar menolak calon pemimpin daerah seperti itu, caranya ya dengan tidak memilih calon itu,” ucap Siti Zuhro.
Regulasi Pilkada
Siti mengatakan, usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait larangan mantan koruptor maju pilkada perlu disikapi pemerintah dan DPR. Hal ini perlu diatur melalui ketentuan perundang-undangan yang disepakati bersama.
“Kan yang buat undang-undang itu antara pemerintah dan DPR. Kalau rakyat menghendaki larangan itu atas dasar kesadaran yang tinggi terhadap realitas sosial, di mana kita sedang menghapi bencana korupsi, ya tentu harus didukung,” kata Siti Zuhro.
Siti mengungkap, salah satu semangat gerakan Reformasi 1998 yaitu membasmi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ternyata sejak 21 tahun Reformasi, lanjut Siti, korupsi masih masif terjadi di berbagai lini kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
“Malah saat ini bisa dikatakan kita menghadapi bencana korupsi. KPU (Komisi Pemilihan Umum) sudah berupaya melarang mantan koruptor maju sebagai calon anggota legislatif. Tapi payung hukumnya tidak kuat, sehingga dibatalkan Mahkamah Agung,” imbuh Siti Zuhro. (red)