LAMANRIAU.COM – DARI judul tulisan ini terasa ada yang aneh. Apa hubungan antara perhiasan dengan aurat? Bukankah perhiasan itu sesuatu yang lepas dari aurat?
Lalu apa kaitannya antara keduanya? Penjabaran dari masalah tersebut mengacu pada firman Alloh Subhanahu wa Taala dalam surat an-Nur ayat 31 serta hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam yang akan kita sebutkan di bawah ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS. an-Nur [24]: 31)
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Wanita itu aurat. Apabila ia keluar (dari rumahnya), setan senantiasa mengintainya.”[1]
Hadis Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tersebut memberikan pengertian bahwa seorang wanita mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya adalah aurat, yang apabila nampak akan menjadikan dirinya malu. Lalu apakah seorang wanita itu harus selalu berkemul dan tidak boleh terlihat sedikit pun? Kalaupun ada yang boleh terlihat, lalu apakah yang boleh itu berarti boleh bagi seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan?
Masalah seperti ini adalah masalah syariat yang mulia. Sebagaimana yang menetapkan bahwa wanita seluruhnya aurat adalah syariat, sehingga tidaklah dikecualikan dari bagian-bagian tubuh seorang wanita yang boleh terlihat kecuali harus menurut dalil-dalil syariat yang benar. Dan dalil syari tentang pengecualian tersebut ada di dalam ayat di atas.
Perhiasan yang biasa Tampak
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Taala dalam tafsirnya (18/92) membawakan riwayat yang shohih mauquf dari Abdulloh bin Masud Rodhiallohuanhu yang berkata: Alloh Subhanahu wa Taala berfirman (yang artinya): “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.” dia (Abdulloh bin Masud) berkata: (yaitu) tsiyab (pakaian luar).[2]
Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad asy-Syinqithi Rohimallohu Taala (Adhwaul Bayan 6/197) dan juga oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rohimallohu Taala (Hijabul Marah al-Muslimah hlm. 17).[3] Sebab makna perhiasan ialah apa yang seorang wanita berhias dengannya dan bukan termasuk asal penciptaan dirinya, dan yang melihatnya tidak mengharuskan melihat sebagian dari anggota badannya, seperti yang nampak dari pakaian luarnya yang tidak mungkin ditutup.[4]
Penjelasan ini semakna dengan hadits Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam di atas, bahwa seluruh tubuh serta perhiasan seorang wanita adalah aurat yang tidak boleh terlihat oleh orang lain yang bukan mahromnya sedikitpun.[5] Berarti, seorang wanita tidak boleh terlihat sedikit pun, bagian tubuh maupun perhiasannya, oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya selain pakaian luar yang menutup dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Dan inilah yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak dalam ayat di atas. Wallohu alam.
Perhiasan yang Tersembunyi
Selanjutnya ayat, Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,.
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Taala dalam tafsirnya (18/94) menyebutkan riwayat yang sahih dari Qotadah Rohimallohu Taala tentang firman Allah Subhanahu wa Taala (yang artinya): “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka dst”, dia Rohimallohu Taala berkata: “Seorang wanita boleh menampakkan kepalanya kepada mereka (yang tersebut dalam ayat).”
Diriwayatkan dari Abu Salamah Rodhiallohuanhu ia berkata: “Aku datang bersama saudara laki-laki Aisyah Rodhiallohuanha kepada Aisyah. Lalu bertanyalah saudaranya kepadanya tentang mandinya Rasululloh Shalallohu alaihi wa sallam. Maka ia (Aisyah) meminta diambilkan wadah seukuran satu sho kemudian ia mandi dengan mengguyurkan air ke atas kepalanya. Sedangkan antara kami dan dia ada hijab (penghalang)nya.” (HR. al-Bukhori dalam Fathul Bari 1/364)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimallohu Taala dalam Fathul Bari (1/465) berkata: “Al-Qodhi Iyadh berkata: “Yang nampak bahwa kedua laki-laki tersebut melihat yang dilakukan Aisyah pada kepalanya dan juga bagian atas tubuhnya dari yang boleh dilihat oleh mahromnya, sebab Aisyah adalah bibi susuan dari Abu Salamah di mana dia telah disusui oleh Ummu Kultsum, saudari Aisyah. Dan ia menutup bagian tubuhnya yang bawah dari yang tidak halal dilihat meski oleh mahromnya.”[6]
Berdasarkan ayat di atas dengan keterangan riwayat-riwayat yang ada, bisa diambil beberapa pelajaran sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perhiasan di sini ialah yang ditutupi dengan pakaian luar seorang wanita, yang tidak boleh terlihat oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya. Karena itulah perhiasan ini disebut juga dengan perhiasan yang tersembunyi, yaitu yang disembunyikan dari selain mahrom dan dari selain orang-orang yang disebutkan oleh Alloh Azza wa Jalla dalam ayat di atas.
Berdasarkan beberapa riwayat di atas, yang dimaksud perhiasan di sini ialah termasuk anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya, bukan hanya pada perhiasannya itu sendiri. Perhatikan beberapa riwayat di atas yang jelas menyebutkan bahwa yang boleh terlihat dari seorang wanita muslimah di antaranya ialah kepala dan anggota wudhunya, bukan sekadar perhiasan yang dikenakannya. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat tersebut termasuk mawadhiuz zinah, artinya tempat-tempat di mana perhiasan itu dikenakan padanya. Seperti di kepala ada anting-anting di telinga, di leher ada kalung, di tangan ada gelang, di kaki ada gelang kaki. Maka maksudnya ialah bukan sekadar tidak boleh menampakkan berbagai perhiasan tersebut, namun juga tidak boleh menampakkan anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya meski ketika perhiasan tidak sedang dikenakan.
Dan berdasarkan keumuman hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bahwa seluruh tubuh seorang wanita muslimah dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah aurat yang tidak boleh terlihat, maka ayat tersebut telah mengecualikan anggota tubuh yang mana yang boleh terlihat dan oleh siapa boleh terlihat. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan anggota tubuhnya kepada orang-orang yang disebutkan dalam ayat melebihi yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu selain tempat-tempat yang perhiasan biasa dikenakan padanya dan anggota wudhunya saja.
Berdasarkan ayat di atas, yang diperbolehkan melihat kepala seorang wanita muslimah dengan perhiasannya serta anggota wudhunya juga dengan perhiasan yang biasa ada padanya hanyalah mereka yang disebutkan di dalam ayat tersebut saja. Hal ini sebagaimana tegasnya Allah Azza wa Jalla mengecualikan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tentang bolehnya mereka melihat perhiasan dan anggota tubuh yang biasanya sebagai tempat perhiasan juga anggota wudhu seorang wanita muslimah.
Perhiasan yang paling tersembunyi
Adapun anggota tubuh yang lain, selain dari anggota wudhu dan tempat-tempat perhiasan seorang wanita muslimah, maka yang boleh melihatnya ialah suaminya. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan dadanya ke bawah, dan dari betisnya ke atas selain kepada suaminya. Sebagaimana pengecualian yang Alloh Azza wa Jalla sebutkan dalam ayat di atas.
Sedangkan antara suami istri maka tidak ada batasan aurat antara keduanya, di mana mereka boleh melihat bagian tubuh pasangannya yang mana saja yang ia inginkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mukminin Aisyah Rodhiallohuanha, yang mengatakan: “Dahulu aku pernah mandi bersama Nabi Sholallohu alaihi wa sallam dalam satu bejana yang disebut al-Faroq.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar alAsqolani Rohimallohu Taala dalam Fathul Bari (1/364) mengatakan: “Dan ad-Dawudi berdalil dengan hadis ini atas bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Dan hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwa ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat farji istrinya lalu dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Atho, maka beliau berkata: Aku bertanya kepada Aisyah Rodhiallohuanha lalu dia Rodhiallohuanha menyebutkan makna hadits tersebut.”
Maka ini sebagai dalil dalam masalah ini (dibolehkannya seorang suami melihat farji istrinya dan sebaliknya). Wallohu alam.
[Abu Ammar al-Ghoyami]