Di Dermaga Ketapang
aku menunggu, nama yang terucapkan
dari lambaian tangan, jauh tertutup kabut laut
dermaga ini, mungkin letih menyangga tubuhku
hingga sorak tawa, tak pernah pecah
mengusir rindu yang terpancang di sudut batas cakrawala
ribuan debur ombak seakan bercengkerama di tatapanku
hilir mudik angin bagai tawarkan makna,
membasuh penat
yang kian menghimpit tubuh
di pikiranku, dua larik sajak menghampiri
merajam diksi rindu, tidur di pembaringan cemas
lalu-lalang kapal bagai fragmen penantian
berjejal di kaki Ketapang
mengucap salam dari geligi corong toa kapal
dan sirene bersenandung bagai kidung asmara
menyulam gelisah dan rindu
namamu tak pernah menghampiriku
seperti puisi yang menyambutmu di tidurku
Pelabuhan Ketapang serupa butiran tasbih
yang menziarahi ingatanku
Malang, 2021
Di Balik Waktu
sirnalah waktu
jika engkau bukan cintaku
sebab ruang waktu adalah untuk tumbuh
dan menumbuhkan cinta
jika ada jalan yang menyesatkan
itu bukanlah detak waktu
sebab waktu tak pernah berputar ke belakang
selalu maju tanpa keraguan
adalah kedangkalan kita
untuk menempatkan pikiran kita
menghitung masa lalu
seakan cinta harus mengenang masa silam
tahukah engkau
pikiran kita, tempatnya kebimbangan
bukan tempat cinta
Malang – 2020
Di Paras Kitab Kebenaran
jelitamu membuatku lupa
butiran padi terus menguning
paras wajah adalah guratan jejak
sehabis waktu pergi, itu keabadian
kita tenggelam membaca kitab-kitab baru
kita ini penggalan rahim terluka
ketika ibu melahirkan gundah
dan padi membiarkan menguliti diri, disebut beras
pikiran kita memacu diri,
berkelana mencari kebenaran
di sepiring nasi, padi menjadi sempurna
sementara kita, sempurnakan kitab-kitab kebenaran
di tanah-tanah duka, liang lahat
Malang – 2021
Elegi Zaman
Kaki-kaki langit membasahi tanah
telah sewindu lamanya mendung duduk di sayapnya
sajakku menatap duka itu
aku ingin mengirim doa menyeruak langit
walau harus mengembara berbekal sejuta aksara
kulihat tangis anak negeri ini telah lama tersimpan
begitu lama napasnya tak pernah hidup
puluhan tahun mereka berkelana tanpa ada jejak tertinggal
hanya sedikit pesan tercatat dalam sejarah
saat tubuh-tubuh mereka bergelimpangan penuh darah
— kutitip negeri ini untuk anak-cucuku —
sepenggal kata yang terus mengiang
hingga semakin pupus tertelan roda zaman
Jika kutulis nama mereka
seakan sajakku semakin tersayat
berulang kali telah kucoba
agar bisa berpaling dari perasaan itu
dan menulis syair tentang cinta
tetap saja tangis dan bayangan itu melekat dalam jiwaku
hingga aku merasa seperti bukan diriku
Hari ini, esok atau entah kapan
ingin kuputar kembali roda zaman
dan berkata kepada Ilahi, maafkan atas segala kelancanganku ini
agar mereka bisa bangkit dan tersenyum
meski hanya dalam kedangkalan sajakku
(2021)
Seperti Garam
Kemana kita harus membuang lisan-lisan kita
jika doa kita sudah terpasung!?
Adalah kitab bersih berulang kali
menerangkan kebenaran
masih saja kita menggarami air laut
Malang – 2020
VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Karya-karya opini, cerpen, puisi, esai, resensi, artikel pendidikan, dan bahasa tersiar di media cetak lokal, nasional dan Malaysia. Buku antologi puisinya antara lain ”Luka Mimpi” (WR Academy, 2021), ”Lelaki Pemburu Hujan” (WR Academy, 2021), ”Sabda Bumi” (Media Literasi Indonesia, 2021), dan ”Sepeda dan Buku” (Apajake.id, 2021). Namanya termaktub dalam Buku ”Apa dan Siapa Penyair Indonesia” (tahun 2017). Vito Prasetyo saat ini tinggal di Malang. ***
Baca : Puisi-Puisi Karya SP Rida K Liamsi