Cerpen Yulita Fitriana: Mentariku Redup Ditelan Senja

SENJA mulai merangkak pelan. Di barat semburat jingga dengan sapuan kemerahan melatari sekawanan burung yang terbang ke sarangnya. Tiupan angina laut terasa menyegarkan di pelataran rumah yang kami bangun selama lima tahun terakhir. Ini sebuah rumah yang menjadi impianku sejak dulu.

Ketenanganku terusik ketika aku mendengar suara suamiku. “Ris, boleh aku menikah lagi?”

Aku terdiam. Pemandangan indah di hadapanku seakan meluntur seperti lukisan cat air yang tersiram hujan. Aku seakan bermimpi. “Benarkah yang kudengar?”

Aku menatap Fai, suamiku. Dia adalah orang yang paling dekat dengaku lima tahun terakhir. Aku merasa hidupku dengannya baik-baik saja. Kami mempunyai pekerjaan yang baik yang memungkinkan kami hidup mapan. Kami mempunyai sebuah rumah mungil yang cantik di tepi laut. Kami punya segalanya. Eh, tidak semuanya, kami tidak punya anak dalam lima tahun pernikahan kami.

“Karena anak, Fai?” tanyaku.

Lelaki di depanku tidak menjawab. Dia menunduk, menghindar bertatapan denganku.

“Apakah Fai berselingkuh?” tanyaku di dalam hati. “Selingkuh” adalah kata yang tidak pernah terlintas di benakku akan dilakukan oleh lelaki di depanku. Aku terlalu percaya dia tidak akan melakukan perbuatan itu, seperti juga diriku yang tidak pernah berpikir untuk berpaling darinya. Tapi bukankah hal itu bias saja terjadi, bahkan pada sebuah keluarga yang bahagia? Mungkinkah karena kehidupan kami yang terlalu bahagia, terlalu mulus sehingga Fai ingin mencari petualangan baru yang penuh tantangan?

“Kamu berselingkuh, Fai?” tanyaku lagi.

Fai terbelalak. Kepalanya menggeleng kuat. “Tidak, tidak, Ris” sahutnya panik.

“Lalu kenapa, Fai?” tanyaku dingin. Aku heran dengan sikapku yang sangat tenang mendengar permintaan Fai yang sesungguhnya serasa petir di kepalaku.

“Aku ingin punya anak, Ris” sahutnya pelan.

Ternyata dugaanku benar. Fai menyampaikan alasan itu untuk mendapatkan izinku untuk menikah lagi. Mungkin juga itu hanya alasan Fai untuk menutupi hal yang sebenarnya bahwa dia tertarik pada perempuan lain.

“Lalu bagaimana dengan aku, Fai?”

“Aku tetap mencintaimu, Ris, dan aku selalu begitu,” jawab Fai sambil memegang jemari tanganku.

Aneh, kali ini aku tidak merasakan apa pun. Biasanya sentuhan Fai akan mengalirkan listrik yang membuat hatiku berdebar. “Alangkah cepatnya hati berubah,” keluhku.

“Tapi mengapa sekarang aku merasa tidak lagi mencintaimu, Fai?”

Fai menatapku. Wajahnya pucat. Dia seakan tidak percaya dengan perkataanku baru saja. “Kamu becanda kan, Ris?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Aku tidak bercanda, Fai, kamu yang telah menyiram bara itu sehingga dia mati.”

Fai meremas-remas rambutnya. Dia kelihatan kalut.

“Dengar, Ris, Cuma kamu yang ada di hatiku. Cuma kamu, Ris,” Fai berusaha meyakinkanku.

“Lalu mengapa harus ada orang lain, Fai?”

“Aku hanya ingin….” Fai tidak meneruskan kalimatnya.

‘Kamu yakin akan mendapatkannya dari dia, Fai? Lalu kalau tidak, kamu akan mencari yang lain, Fai?”

Fai tercenung. Hal itu barangkali tidak pernah terpikir di benaknya. Kesunyian menghampiri kami. Semburat cahaya merah di ufuk barat pun berganti kelam. Perlahan dingin malam menyusup, membekukan hatiku.

Sejak itu tidak ada lagi pembicaraan mengenai hal itu. Sampai suatu ketika, Fai membawa seorang perempuan ke rumah.

“Ris, ini Lin,” kata Fai padaku.

Aku menjabat uluran tangan perempuan itu. Tiba-tiba hatiku bergetar. Aku merasa keanehan. Tidak pernah Fai membawa seorang teman perempuannya ke rumah, kecuali perempuan itu sudah terlebih dulu kenal denganku.

Aku memperhatikan perempuan di depanku. “Cantik,” pujiku di dalam hati. Tapi kecantikan perempuan itu membuat badai di batinku.

Fai tampak kikuk melihat caraku memandang perempuan yang dibawanya. Sementara Lin lebih suka memperhatikan pemandangan laut yang ada. Dia tidak sempat memperhatikan aku dan Fai.

“Siapa?” tanyaku dingin ketika Lin menjauh.

Fai tertunduk. Dia memain-mainkan jemarinya. Sesaat kemudian dia membuka mulutnya. “Dia…” hanya sampai di situ, dia tidak melanjutkan perkataannya.

“Calon istrimu atau sudah istrimu?” tudingku.

Fai kembali tertunduk. Tapi sejenak kemudian dia mengangguk pelan.

Entah jawaban mana yang diiyakan Fai. Aku tidak tahu, bahkan juga tidak ingin tahu. Anggukan pelan Fai seperti terjangan tsunami yang memporakporandakan kedamaian.

Sebenarnya aku mulai menata hatiku yang membeku ketika Fai mengatakan keinginannya untuk menikah lagi. Aku mencoba mengingat-ingat hal indah di antara kami. Perlahan hal itu mulai melelehkan hatiku. Aku merasakan hatiku kembali menghangat mengingat Fai. Apalagi ketika aku pergi ke dokter dan dokter menyatakan aku hamil.

“Wow! Sebuah berita besar,” pekikku dalam hati. “Alhamdulillah, Fai harus kuberi tahu.”

Hari ini aku ingin mengatakan hal itu kepada Fai. Aku ingin memberikannya sebuah kejutan. Tapi Fai terlebih dahulu mengejutkanku. Aku merasa usahaku sia-sia. Kini hatiku hangat oleh darah yang mengalir dari goresan-goresan luka. Aku tak tahu seperti apa gurat wajahku saat ini, begitu juga dengan bahasa tubuhku.

Lalu bagaimana sekarang? Masih berartikah kejutan ini bagi Fai? Apakah kabar bahagia ini dapat mengembalikan Fai padaku? Masihkah aku bisa menerimanya seeprti tak pernah ada puting beliung dalam rumah tangga kami? Bertubi-tubi pertanyaan berkelebat dalam benakku dalam sepersekian detik.

Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Kakiku seakan tak mampu menopang berat tubuhku. Aku terhuyung. Fai berusaha meraih tubuhku yang kehilangan keseimbangan. Namun kutepis. Aku lebih memilih sebuah sandaran kursi yang berada tak jauh dariku. “Fai, kau kembali menyakiti hatiku! Kali ini terlalu sakit.” ***

Yogya, Januari 2011

*) Cerpen ini dikutip dari buku 100 Tahun Cerpen Riau

Baca: Cerpen Jumadi Zanu Rois: Pulau Anjing

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews