Cerpen Mariana: Aku tak Merdeka Lagi

Ilustrasi

MALAM itu agak mendebarkan. Perasaan gelisah campur bahagia menyelimuti hatiku. Azan berkumandang persis mendukung situasi yang kualami. Untuk menutupi kegelisahan itu, kumatikan hp lalu pergi menunaikan salat.

Aku tak mendengar apapun tentang dia. Tak juga kucari tahu sebelumnya. Tentang jiwa yang menurutku cerdas, dan (maaf) dengan lancang aku harus ungkapkan bahwa memandangnya aku tenang. Setiap kali mendengar sebuah nama, seakan mata dan hatiku tertuju tanpa disuruh. Nama itu telah merenggut sebagian dari kemerdekaanku untuk memilih. Aku dibuatnya tak bisa berpaling dan aku pun bebas mengarungi hatinya lewat imajinasi yang membawa kepada duka dan nestapa.

September 2017, sekali lagi aku dibuatnya tak merdeka lagi oleh jiwa yang kuanggap gagah namun meninggalkan luka yang dengan sadisnya menikam hati dengan perlakuan yang tak berperikemanusiaan. Mirisnya, aku mengiyakan tikaman itu sampai sekujur tubuhku bermandikan peluh dan malu atas perbuatan yang wajib kutanggung tanpa mengeluh.

Sosok dia kugambarkan tanpa ada rekaan. Di waktu Zuhur aku dibuatnya gemetar. Di hadapan Papa sosok dia tersipu malu dan akan teguh pada janji. Ah, tapi aku benci selama 11 bulan. Selama itu aku menanggung malu. Malu karena harus memintanya berulang kali kepada Tuhan untuk kembali menghadap menepati janji.

“Papa beri waktu dua bulan lagi. Jika dia tidak datang, silakan memilih yang lain. Tidak perlu menunggu. Mengenai persoalan nikah, kamu harus menikah dengan menggunakan adat Gorontalo. Mulai dari Tolobalango sampai dengan akad nikah semuanya harus menggunakan adat. Kemarin sudah disetujui untuk menikah dengan pernikahan yang menurutmu syar’i. Sekarang tidak lagi seperti itu. Papa kecewa dengan calonmu itu.”

Aku tertunduk malu di hadapan Papa. Namun, yang paling mengena adalah dihapusnya komitmen untuk menjalankan pernikahan syar’i yang sudah disetujui bersama. Aku tidak sedang menghapus perihal adat Gorontalo, aku hanya meminta di pernikahan itu tamu laki-laki dan perempuan dipisah. Seperti halnya dalam adat Gorontalo, tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisah dengan jaramba. Tidak ada yang salah dengan adat bagiku. Masalahnya adalah tentang sosok yang menghilang setelah mengadakan perjanjian dengan orangtuaku.

Aku menegarkan diri. Luka mengajarkan tentang teguh dan pura-pura. Sakit yang mencabik namun mengajarkan senyum meski teriris.

Akhirnya, tepat 26 Agustus 2018, dia muncul. Kami menikah. Aku bertanya tentang jeda yang hadir. Aku harus menunggu saat setelah beredar rumor tentang hari bahagia kami. Namun, ia menunda bercerita tanpa alasan yang jelas.

Dia akhirnya membuka suara. “Kemarin, saat aku di penghujung studi S-1 dan setelah kembali dari rumahmu untuk berjanji akan datang beberapa bulan lagi, aku mendapat musibah. Kedua orang tua yang kuharapkan bisa bersama sampai tuaku memutuskan bercerai. Aku merasa bahwa Tuhan tak adil lagi. Ini berat bagiku. Kamu bisa bayangkan bagaimana sakit dan kecewanya, ibuku menikah dengan laki-laki yang anaknya adalah teman dekatku. Aku benci. Sangat benci. Hati siapa yang tak terpukul? Sementara waktu itu, aku memiliki beban moral pada orang tuamu. Aku berpikir bahwa ini tak adil untuk diriku. Aku masih membutuhkan mereka berdua. Saat pulang dari luar daerah, kudapati rumah sepi. Lalu ada adik berusia 13 tahun merengek mencari Ibu.

Begitulah ceritanya. Kulihat wajahnya serius dan di akhir ceritanya, kudengar suaranya bernada sedih. Mendengarnya, aku tidak lagi mengutuknya dalam tulisan-tulisanku yang berserakan di laptop dan telepon genggamku. Aku tak lagi mengutuknya setelah kutahu penyebab keterlambatannya menemui papaku. Aku telah salah menafsirkan situasi. ***

*) Cerpen ini disadur dari buku Setelah Ayah Pergi yang ditayangkan di laman Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo

Baca: Emak yang Tersakiti

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews