~Catatan Pementasan Raja Kecik di Bengkalis
Bismillah,
(1)
Nama Raja Kecil atau Raja Kecik, bagi manusia yang mempelajari sejarah dalam sistem kesultanan Melayu, adalah gelar yang besar. Nama kebesarannya, yaitu Raja Abdul Jalil Rahmat Syah ibn Sultan Mahmud Syah II dan Ibundanya bernama Cik Pung (Cik Apung). Menurut buku LeavesoftheSameTree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, karangan Leonard Y. Andaya yang merujuk kepada Hikayat Siak bahwa ketika usia kecil, baginda Raja Kecil telah dilarikan oleh pembesar baginda ke Pagaruyung setelah Ayahandanya mangkat dijulang di tangan Megat Sri Rama. Di Pagaruyung, Raja Kecil telah disusukan oleh Puteri Jamilan, yaitu ibu kepada pemerintah Pagaruyung ketika itu. Puteri Jamilan sewaktu mengambil Raja Kecil sebagai anak angkat pernah seraya berkata, “terlalu kasihan aku akan dia, kerana tiada bapaknya”.
Pada usia 13 tahun, Raja Kecil telah meminta keizinan Puteri Jamilan untuk keluar mencari ilmu. Baginda telah berkhidmat dengan pemerintah Palembang dan kembali semula ke Pagaruyung. Setibanya pulang, Puteri Jamilan bertanya kepadanya, seraya berkata “Mengapa engkau lama di laut?”, Raja Kecil menjawab “menengok cupak gantang orang”. Balasan perkataan ini menggambarkan refleksi atau metafora bahwa baginda terlibat dalam aktiviti sukat imbang perdagangan laut, menguatkan bukti bahwa pemerintah Pagaruyung mempunyai hubungan akrab perdagangan dengan kerajaan serantau khususnya Minangkabau dan Palembang. Setelah berhasil merampas tahta Kerajaan Johor, Raja Kecil kemudian ditabalkan menjadi raja dengan gelan Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah yang memerintah Johor antara tahun 1718–1722.
(2)
Catatan sekilas ini merupakan ulasan pribadi saya sebagai penikmat teater bangsawan. Seperti biasa, catatan pribadi bisa saja mengetengahkan sisi positif dan negatif dalam suatu karya, termasuk pertunjukan teater. Dengan segala nilai rasa sebagai penikmat teater, saya berupaya memberikan catatan apa adanya dengan memahami kondisi geliat teater di Negeri Junjungan ini.
Sabtu, 10 Agustus 2024 pukul 21.00 WIB layar pentas terbuka. Para penonton disuguhkan dengan sekilas adegan pembuka Megat Sri Rama menghunuskan kerisnya ke tubuh Sultan Mahmud Syah II di atas julang. Akhirnya, Sultan pun tewas. Adegan berdarah ini divisualkan dengan pencahayaan merah seperti darah dan permainan musik hidup sehingga memberikan kesan tragedi yang memilukan. Lalu, tragedi Kota Tinggi itu dilantunkan dalam beberapa syair dengan suara merdu. Terkesan sekali bahwa Sutradara SPN Musrial Mustafa ingin menarik perhatian penonton dengan konflik yang memukau dan kelembutan syair yang penuh makna. Suguhan konflik diawal petunjukan memang bisa menjadi kejutan (suspense) bagi penonton agar terpasung pada setiap adegan selanjutnya.
Teater bangsawan bertajuk Raja Kecik ini dipentaskan di Gedung Cik Puan, Bengkalis. Lebih 300 penonton berdesakan memenuhi gedung kesenian itu untuk menyaksikan naskah karya sastrawan Hang Kafrawi. Panitia pun tidak bisa melayani permintaan tiket melebihi kapasitas. Sebelum pementasan dimulai, penonton disuguhkan audio yang mengingatkan beberapa larangan selama pementasan berlangsung. Suasana malam Ahad, 10 Agustus 2024 itu seumpama menantikan pemutaran film laku jual di bioskop berkelas.
Saya bernostalgia dengan dunia sastra beberapa tahun ke belakang sebagai bahan pijakan pementasan hari ini. Sekitar dua dasawarsa lalu, negeri ini punya Sanggar Tasik. Melalui sanggar yang sudah mentas hingga ke Italia ini, semua karya seni bergerak serentak dalam lenggok kata-kata dan rentak irama. Gaungnya menggema ke mana-mana. Sanggar Tasik itu telah merebakkan karya seni, baik daerah, nasional, bahkan internasional selayaknya wangi percung dalam mengharumkan adat dalam tradisi Melayu. Dari sanggar tersebut, teater bangsawan menjadi ranggi dalam cakrawala dunia sastra, khususnya seni peran.
Pementasan Raja Kecik mengingatkan saya pada masa-masa emas yang pernah dimiliki Bengkalis ketika itu. Ingatan ini bertambah kuat ketika dua mantan tokoh Sanggar Tasik bergabung dalam pementasan Ahad malam tersebut, yaitu SPN Sutradara dan aktor M. Nurahim Soeprapto (pendidik SMAN 3 Bengkalis). Dengan pelakon-pelakon generasi baru, mereka bermain dalam gelanggang yang mengalir tanpa sekat. Hal ini diperkuat lagi dengan garapan musik R. Jamaluddin yang juga mantan tokoh Sanggar Tasik.
Ada beberapa hal yang dapat diambil dari pementasan Raja Kecik ini. Pertama, pementasan teater ini membuktikan bahwa geliat dunia teater di Kabupaten Bengkalis ini masih menyala laksana api dalam sekam. Ia akan membara kembali ketika dihembus atau disokong oleh pemikiran yang mampu menggerakkannya. Kedua, meskipun di beberapa adegan masih terdapat hal-hal membosankan seperti monolog Cik Pung yang berlangsung sekitar 20 menit (terlalu lama dan kurang didukung sistem audio yang memadai), pementasan ini berhasil menghidupkan kembali teater bangsawan untuk umum. Dengan jumlah penonton yang cukup fantastis untuk kategori pementasan tingkat kabupaten, ini menjadi bukti bahwa masyarakat sangat rindu akan seni pentas. Sutradara SPN Musrial Mustafa pun merasakan kerinduan itu setelah melihat animo masyarakat yang menyaksikan.
”Saya tidak membayangkan pementasan ini diminati penonton seramai itu. Ini bukti bahwa masih banyak yang merindukan teater,” katanya. Bahkan, para penontonnya banyak dari kalangan muda, kaum milenial.
”Masya Allah, luar biasa penontonnya. Antusias sekali. Padahal beli tiket. Belum pernah dibuat di pertunjukan teater, khususnya Bengkalis. Selama ini gratis. Dalam pikiran saya, tidak mau orang menonton teater ini. Ternyata di luar dugaan, tiket habis dan banyak yang tidak kebagian tiket. Alhamdulillah, ternyata mereka juga rindu pementasan teater. Semoga terus dihargai setiap pertunjukan seni apapun di negeri ini,” tambah M. Nurahim Soeprapto. Hal ini juga dirasakan oleh pelakon lain, Hariyanto alias Udin yang mewakili pelakon lain. ”Alhamdulillah, untuk penampilan sangat menggembirakan dan terharu. Kami merasa gembira karena bisa tampil setelah sekian lama pasif di negeri sendiri. Berkat semangat, pelakon yang sakit pun bisa tampil dengan maksimal,” katanya.
Ketiga, pertunjukan ini ingin menyampaikan pesan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Kekuasaan seharusnya sejalan dengan kemakmuran rakyat. Adegan ini dijenakan ketika para pengawal kerajaan memperdebatkan pilihan. Mana yang lebih sedap antara menjadi raja dan pengawal. Di sinilah letaknya kejenuisan sutradara dalam mengemas sesuai yang bernilai serius, tetapi disampaikan dengan jenaka sehingga gedung itu riuh oleh tawa penonton. Penonton merasa tidak didikte oleh nilai yang ingin disampaikan. Keempat, bahwa dalam sistem pemerintahan selalu terjadi perseteruan dan perebutan kekuasaan. Akan terjadi paradoks antara kekuasaan alim dan kekuasaan zalim. Dalam kekuasaan, palawan dan pengkhianat senantiasa membentuk persekongkolan dan pecahnya konflik. Namun, semuanya itu akan terhapus oleh kebijaksanaan pemimpin. Adegan Raja Kecik bertikam dengan para pendekar bugis dan dimenangkan oleh Raja Kecik dengan sikap mengalahnya sambil berkata, ”Persaudaraan lebih indah dari segalanya,” diulang beberapa kali sebagai pesan terpenting di akhir pementasan ini. Tepukan bergemuruh di akhir pementasan ini membuktikan rasa puas dari pementasan ini.
”Saya berharap semoga seni teater bangsawan di Bengkalis ini tetap hidup. Satu di antaranya melalui sayembara teater di jenjang SD, SMP, dan SMA sederajat. Semoga Dewan Kesenian Bengkalis beserta pemerintah daerah bisa bekerja sama membangun dunia kesenian di negeri ini. Tujuannya untuk mencerahkan generasi muda menjaga budaya di negeri ini,” demikian harapan pemeran Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Kelima, generasi milenial Bengkalis memiliki kemampuan berteater yang bisa diandalkan. Mereka merupakan aset negeri yang terus harus mendapat bimbingan dunia peran dan dunia seni umumnya. ”Bakat mereka mesti diasah terus. Bakat tidak akan muncul jika tidak diasah dengan ilmu seni peran. Mereka generasi milenial yang punya kemampuan walaupun perlu pembenahan dari segi penjiwaan, penyesuaian panggung, teknik berdialog, dan sebagainya. Perlu benar-benar dikembangkan lagi agar benar-benar merasuk ke jiwa,” harap Wak Anto, begitu saya memanggil M. Nurahim Soeprapto.
Pementasan Raja Kecik itu memberikan pelajaran berharga bagi kita tentang kerinduan teater. Paling tidak, kerinduan yang membuncah terhadap dunia seni peran mulai terobati, baik bagi pelakon maupun bagi penikmat teater seperti saya. Kerinduan itu laksana jentayu menantikan hujan. Semoga hujan yang dinantikan itu memberikan rasa gembira kepada peminat teater bangsawan. ***
Alhamdulillah.
Bengkalis, 06 Safar 1446 H / 11 Agustus 2024
*) Artikel ini ditulis oleh Musa Ismail