LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) – World Bank yang akan diselenggarakan di Bali pada Oktober mendatang menuai banyak pro dan kontra diberbagai wilayah di Indonesia, Riau salah satunya.
Menyikapi pertemuan beberapa waktu mendatang, Front Pembela Rakyat, Pondok Belantara, Green Radio dan beberapa komunitas mengadakan diskusi untuk mengupas bagaimana kebijakan IMF-WB ini berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup serta perampasan hak asasi manusia di Indonesia.
Diskusi yang dilaksanakan di halaman studio Green Radio Pekanbaru ini menghadirkan Rendy Khasmy dari AGRA dan Eko Handyko Purnomo dari Komunitas Pondok Belantara.
Rendy memaparkan, IMF datang dengan rancangan ekonomi berupa liberalisasi besar-besaran diseluruh sektor ekonomi Indonesia. Pencabutan subsidi, privatisasi dan deregulasi adalah indikator liberalisasi tersebut.
“Pertemuan ini nantinya akan menghasilkan berbagai kesepakatan dan kebijakan, salah satunya mengenai bantuan utang dan pengembangan program pembangunan bagi negara anggota. Ditengah kondisi ekonomi rakyat semakin sulit, Pemerintah Indonesia menyiapkan anggaran yang sangat besar untuk penyelenggaraan pertemuan sekitar Rp850 miliar dan biaya konstruksi untuk persiapan sekitar Rp5 triliun,” papar Rendy.
Ia juga menambahkan, sejak didirikan pada akhir Perang Dunia II melalui Bretton Woods Conference, di Amerika Serikat (1944), WB-IMF bekerja sebagai institusi kapital keuangan internasional untuk memperkuat dominasi kapitalis monopoli (imperialisme) di bawah Amerika Serikat.
WB-IMF menjalankan program penyesuaian struktural (structural adjustment programmes/SAPs) yang mendorong kebijakan pencabutan subsidi sosial dan pemotongan anggaran negara di sektor publik serta pelayanan sosial yang pengelolaannya diserahkan kepada sektor swasta.
Di Indonesia, Land Administration Project (LAP) dari utang Bank Dunia mengakibatkan meluasnya monopoli dan perampasan tanah kaum tani, suku bangsa minoritas, masyarakat adat, dan rakyat miskin di perkotaan untuk kepentingan korporasi asing dan tuan tanah besar.
Hal ini sejalan dengan kepentingan memuluskan liberalisasi pertanian dan pangan di Indonesia. Sebagai tahap lanjutan pada tahun 2018 ini, IBRD (WB Group) menyetujui utang baru (2018) sebesar USD 200 juta (Rp2,9 triliun) untuk percepatan reforma agraria Jokowi melalui program Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), yaitu reforma agraria palsu yang semakin mempercepat pasar tanah dan monopoli tanah untuk kepentingan korporasi.
WB berhasil mengimplementasikan politik upah murah dan fleksibilitas pasar tenaga kerja di Indonesia melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menyengsarakan klas buruh. Intervensi WB dalam Paket Ekonomi Jokowi melahirkan PP Nomor 78/2015 tentang Pengupahan untuk menekan kenaikan upah buruh di bawah sepuluh persen tiap tahun. Akibatnya, upah seorang buruh hanya bisa membiayai sekitar 50 persen kebutuhan keluargan.
Berbeda dengan Rendy, Eko mengangkat kaitan pertemuan ini dengan isu lokal di Riau dengan memperlihatkan bagaimana Provinsi Riau sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terkena imbas dari dampak kebijakan hutang luar negeri tersebut.
Eko yang merupakan koordinator Pondok Belantara menyatakan bahwa Riau dihisap dan dikeruk sumber daya alamnya dan upah murah bagi tenaga kerjanya. Belum lagi perampasan ruang hidup rakyat dan terpinggirkannya masyarakat adat akibat ekspansi berbagai industri.
Pondok Belantara adalah komunitas yang bergerak dengan taman baca keilingnya, dengan tujuan utama mengembalikan cinta baca bagi masyarakat Riau. Melalui membaca, diharapkan perlawanan akan semakin membesar dan mengakar kuat.
Eksploitasi dan ekspansi banyak industri berawal dari ketidaktahuan masyarakat terkait aturan yang dilahirkan oleh pemerintah. Penyadartahuan menjadi penting sebagai garda terdepan dalam perlawanan. IMF-WB adalah wahana perampasan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia.
“Jika pemerintah Provinsi Riau mau terbuka, silahkan perlihatkan kepada rakyat Riau siapa yang berdiri diatas lahan dan hutan disini, siapa yang menyebabkan bencana ekologi dan bagaimana penegakan hukum berjalan, maka akan terlihat bagaimana asing menguasai negeri melayu kita dengan dukungan WB. Namun jika menilik sejarah adalah wajar sebab sejak rezim Soeharto hutang luar negeri masuk dalam kualifikasi penerimaan negara ” papar Eko.
Sudah selayaknya Indonesia tidak lagi menjadikan Amerika Serikat sebagai kiblat dalam indikator ekonomi dan politik. “Lihatlah bagaimana perusahaan raksasa asing yang menguasai sebagian besar sektor strategis perekonomian nasional kita. Nasionalisasi dilakukan pemerintah hari ini juga tidak bisa membuktikan bahwa kita lepas dari cengkraman sistem kapitalis yang dibangun negara adidaya tersebut,” ujar dia.
“Pembangunan infrastruktur yang digadang-gadang harus diperiksa kembali peruntukkannya, apakah benar bagi rakyat atau hanya pesanan pemilik modal” tutup Eko.
Diskusi ditutup dengan menyerukan kepada pemerintah menghentikan penggunaan dana APBN untuk pembiayaan Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018, menghentikan semua bentuk kesepakatan dan kerjasama hutang dengan Bank Dunia, menghentikan pembangunan proyek infrastruktur dan program reformasi agraria yang dibiayai oleh hutang dan investasi asing.
Laksanakan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan rakyat, cabut aturan dan kebijakan pemerintah yang memberangus kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi, menghentikan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan dan kesehatan, berikan pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat, mewujudkan Reforma Agraria sejati, bangun industri nasional yang kuat dan mandiri dan cabut PP 78 tahun 2015. (rls)