Menristekdikti: Tingkatkan Kualitas Vokasi dengan Sertifikasi Kompetensi

Para pembicara dalam Seminar Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi di Indonesia dengan topik "Implementasi Pendidikan Sistem Ganda (Dual System)" di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2019/Net

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, dalam rangka meningkatkan kepercayaan industri dan masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi vokasi yang ada di politeknik dan universitas di Indonesia, maka pemerintah terus memperbaiki pendidikan tinggi vokasi. Salah satunya ialah agar mahasiswa dan para dosen memegang sertifikat kompetensi.

Nasir menyebutkan, para dosen vokasi itu untuk menunjukkan kompetensinya maka tidak hanya cukup memegang ijazah untuk mengajar saja. Namun dosen vokasi juga harus memegang sertifikat kompetensi yang sesuai dengan bidangnya

“Mahasiswanya kita dorong harus punya sertifikat kompetensi, tetapi ternyata dosennya tidak punya sertifikat kompetensi, maka perlu dilakukan yang namanya retooling. Saya sudah lakukan secara besar-besaran pada 2018 ini, meng-upgrade para dosen yang belum mendapatkan sertifikat kompetensi pada bidangnya, untuk mendapatkan sertifikat kompetensi, apakah di tingkat nasional maupun internasional,” ujar Nasir saat membuka Seminar Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi di Indonesia dengan topik “Implementasi Pendidikan Sistem Ganda (Dual System)” di Universitas Prasetiya Mulya, Jakarta, Rabu (17/7/2019).

Menurut Nasir, dalam upaya memberikan sertifikasi kompetensi kepada para dosen, mereka harus mengikuti retooling atau pengenalan teknologi terbaru. Dalam hal ini, para dosen dikirim ke luar negeri seperti Swiss, Kanada, dan Jerman untuk belajar dan meraih sertifikat kompetensi bertaraf internasional.

Akan tetapi, Nasir menuturkan, kebijakan tersebut tidak berjalan mulus karena terkendala kesiapan dosen. Dalam hal ini, dosen yang dapat dikirim ke luar negeri hanya yang memiliki kemampuan bahasa Inggris terbaik. Tetapi, kenyataan masih banyak dosen yang belum memenuhi persyaratan tersebut, sehingga jumlah yang mendaftar sangat minim, jauh dari target pemerintah.

“Kalau yang internasional, bujet akan kita keluarkan, bahkan tahun lalu saya menganggarkan sampai 2.000 orang, ternyata yang daftar hanya 300-400. Ternyata tidak mudah mencari orang. Dosen kita banyak, tapi ternyata tidak mudah mencari yang siap mengikuti program ini,”ujar Nasir.

Oleh karena itu, kata Nasir, untuk meraih sertifikat kompetensi, selain program mengirim dosen belajar di beberapa negara dengan vokasi terbaik, pihaknya juga memiliki skema pelatihan untuk dosen vokasi dalam negeri. Dalam hal ini, Kemristekdikti mengundang instruktur dari luar negeri untuk mendampingi para dosen vokasi selama menjalani pelatihan yang diselenggarakan di politeknik.

Sementara itu, untuk program sertifikas kompetensi untuk mahasiswa, menurut dia, sudah berjalan sejak 2017. Ada pun skemanya, para mahasiswa vokasi menjalani program perkuliahan 2 plus 2 yakni 2 tahun di Indonesia dan 2 tahun diluar negeri. Dengan begitu, ketika mereka lolos akan mendapatkan sertifikat kompetensi.

Mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) ini juga menyoroti banyak tenaga kerja di Indonesia yang belum memiliki sertifikasi, padahal dalam profesinya, ada hal yang perlu dipastikan, seperti keamanan kerja dan pelayanan kepada pelanggan. Salah satu pekerja yang belum banyak memiliki sertifikasi kompetensi adalah pekerja di bidang pariwisata.

“Untuk pariwisata, saya datang ke Labuan Bajo. Di Labuan Bajo itu spot untuk pariwisata bagus sekali. Pada saat saya datang ke lokasi itu pada 2017, nakhoda kapalnya saya tanya, “Bapak punya sertifikat menjadi nakhoda?” (Nakhoda tersebut menjawab),” Saya hanya turunan dari bapak saya.” Wah, ini bahaya juga. Kalau tenggelam, bagaimana. Ini tidak boleh, saya waktu itu berpikir seperti itu,” ujarnya.

Oleh karena itu, Nasir menuturkan, sangat diperlukan adanya pendidikan vokasi yang dekat dengan industri, banyak potensi daerah yang bisa diangkat dan menjadi unggulan, apabila para pekerjanya memiliki sertifikasi profesi dan bekerja sesuai standar profesional.

Sementara itu, mewakili pihak industri, Managing Director Sinar Mas, G Sulistiyanto mengatakan, berkumpulnya berbagai pihak dalam seminar fokus vokasi ini untuk menjawab ajakan pemerintah kepada sektor industri agar meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan vokasi.

“Agar inisiatif yang kami lakukan mampu menjangkau potensi setempat, membekalinya dengan pendidikan serta ketrampilan yang selaras dengan karakteristik dan kebutuhan industri terkait. Pemerintah telah memfasilitasi dalam bentuk kebijakan hingga insentif, dunia usaha juga telah melakukannya, dan kini, kami mencoba belajar dari praktik terbaik di negara lain. Melalui vokasi, dunia usaha dapat membuat lembaga pendidikan yang sesuai kebutuhan kami,” paparnya.

Sulistiyanto melanjutkan, ada dua dukungan Sinar Mas dalam pengembangan pendidikan tinggi vokasi di Indonesia. Yakni pertama pada 16 Mei lalu Politeknik Sinar Mas Berau bekerja sama dengan Swiss International Technical Connection (Siteco) yang memungkinkan kerja sama di bidang Lecturer Upgrading (Retooling, Doctor Program and Vocational Instructor Certification Program, Laboratorium Upgrading), berikut Lecturer and Student Exchange and Academic Management System Upgrading.

Dia menuturkan, hingga saat ini, Institut Teknologi dan Sains Bandung masih bersama Siteco bermitra dalam bidang Lecturer Upgrading untuk program retooling, doctor program and vocational instructor certification program laboratorium upgrading, lecturer and student exchange and academic management system upgrading, development of sustainable production, and dual degree program development. ”Para mitra tersebut tengah melakukan kajian dan penilaian di program studi Teknologi Pengolahan Sawit, Fakultas Vokasi ITSB dan seluruh program studi yang dinaungi Poltek Simas Berau Coal,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan di Indonesia, mayoritas tenaga kerjanya masih membutuhkan pelatihan, pendidikan vokasi, dan sertifikasi profesi.

“Kalau kita lihat struktur dari sumber daya manusia kita dari para tenaga kerja kita, ternyata cukup mengkhawatirkan. Total tenaga kerja kita dari data Kementerian Tenaga Kerja, ada 130 juta orang, dan 40 persen latar belakang pendidikannya sekolah dasar, 18 persen lulusan sekolah menengah pertama atau SMP. Hanya 12 sampai 13 persen yang mempunyai latar belakang diploma atau universitas. Kalau dilihat struktur tenaga kerja kita seperti ini, bagaimana kita punya tenaga kerja yang produktif, yang beradaptasi secara cepat dan bisa mendorong kemampuan berkompetisi kita?” ungkap Rosan.

Duta Besar Republik Indonesia untuk Swiss merangkap Liechtenstein, Muliaman Darmansyah Hadad yang menjadi inisiator sekaligus pihak yang mengajak perwakilan dari Swiss untuk mengisi diskusi pada acara ini, mengatakan masalah pendidikan vokasi yang kurang diminati industri dan masyarakat, tidak hanya dihadapi di Indonesia, tetapi juga negara lainnya.

“Bukan cuma di negara kita, setelah saya cek perkembangan di beberapa negara, pendidikan vokasi ini hanya menjadi second optionMindset ini harus kita ubah. Saya kira industri juga kadang-kadang enggan untuk mempekerjakan lulusan-lulusannya (pendidikan vokasi), tidak tahu saya, tapi dugaan saya ini terkait link and match issues. Apa yang dipelajari dan apa yang dibutuhkan kadang-kadang tidak pas,” ujar Muliaman.

Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman S Simanjuntak yang menjadi tuan rumah dalam acara ini berharap diskusi kali ini akan menghasilkan banyak kerja sama dan kebijakan baru terkait pendidikan tinggi vokasi antara Indonesia dengan Swiss.

“Kita perlu meningkatkan banyak kegiatan yang bekerja sebagai penyaring, untuk pendidikan dual system, pendidikan yang berjalan di kelas, sekaligus di tempat kerja dan dengan banyaknya peserta acara hari ini, saya berharap ada peningkatan kegiatan tersebut, tapi juga mendiskusikan bagaimana mengarahkan kegiatan tersebut untuk mendukung sistem pendidikan vokasi di level nasional,” ungkap Djisman. (bsc)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *