Singapura, Polemik Ekstradisi dan ‘Surga’ Buronan RI

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Singapura tak hanya menarik sebagai tujuan warga Indonesia untuk berlibur dan berbelanja, tapi juga menjadi tempat favorit untuk pelarian bagi buronan Indonesia.

Sjamsul Nursalim, tersangka kasus korupsi BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Samadikun Hartono, tersangka korupsi BLBI Bank Modern, Sujiono Timan tersangka korupsi BPUI, hingga tersangka korupsi Csssie Bank Bali, Djoko S Tjandra, hanya segelintir dari puluhan buronan Indonesia yang menjadikan Singapura tempat persembunyian.

Baru-baru ini, Singapura juga menjadi tujuan pelarian politikus PDI Perjuangan, Harun Masiku. Harun dilaporkan sudah berada di Singapura saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.

Salah satu alasan Singapura menjadi tempat favorit buronan adalah karena negara kota di Asia Tenggara itu tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Hal itu menjadikan Indonesia tidak bisa meminta Singapura menyerahkan orang-orang yang tersangkut perkara hukum di dalam negeri dan kabur ke negara tersebut.

Sejauh ini, Indonesia tercatat telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan enam negara yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, dan Korea Selatan.

Indonesia dan Singapura sebenarnya telah merintis perjanjian ekstradisi sejak 1972. Namun, pembahasannya baru dimulai pada 2004 lalu. Pembahasan rancangan perjanjian ekstradisi pun cukup alot baik di dalam negeri atau pun saat pertemuan bilateral, sehingga kedua negara baru menandatanganinya pada 27 April 2007 di Bali.

Meski telah ditandatangani, perjanjian itu belum bisa berlaku efektif karena harus menunggu ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kementerian Luar Negeri RI mengakui bahwa negosiasi perjanjian ekstradisi RI-Indonesia memicu perdebatan yang cukup alot di dalam negeri termasuk di DPR. Salah satu yang menjadi perdebatan adalah perjanjian ekstradisi itu harus disepakati dengan pakta lainnya yakni perjanjian kerja sama pertahanan (DCA).

Salah satu permintaan Singapura dalam DCA itu dan menjadi perdebatan adalah Singapura ingin meminta sebagian wilayah perairan dan udara di sekitar Sumatera dan Kepulauan Riau supaya bisa digunakan untuk latihan militer.

Akibat perdebatan ini, pelaksana juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah mengatakan proses ratifikasi perjanjian ekstradisi dan DCA antara RI-Singapura tak kunjung disetujui DPR.

“Seingat saya karena perjanjian ekstradisi disandingkan ratifikasinya dengan Defense Cooperation Agreement (DCA). Karena yang satu, DCA banyak perdebatannya di dalam negeri, termasuk di parlemen, kedua perjanjian kemudian tidak sempat diratifikasi,” kata Faizasyah saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat pada Rabu (15/1).

Singapura juga menyatakan bahwa keputusan akhir perjanjian kerja sama ekstradisi ada di tangan Indonesia.

Melalui kedutaan di Jakarta, Singapura mengatakan bahwa negaranya siap melanjutkan kedua perjanjian-perjanjian ekstradisi dan DCA-setelah Indonesia siap meratifikasi keduanya.

“Kedua perjanjian saat ini sedang menunggu ratifikasi DPR. Meskipun demikian, Singapura-Indonesia terus menikmati kerja sama bilateral yang baik dalam penegakan hukum dan dalam menangani masalah pidana,” kata Sekretaris Pertama Kedubes Singapura di Jakarta, Matthew Chan. (*)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *