LAMANRIAU.COM – Ibnu Athaillah mengatakan, “Orang yang belum sampai dan orang yang sudah sampai, tidak lain kecuali hanya sebagai derajat dalam memanifestasikan hakikat melalui ketidakmampuan dirinya.
Siapa yang sampai ke suatu maqom, ia akan tak berdaya untuk sampai kemaqom itu, maka sesungguhnya ia telah sampai (wushul pada maqom tersebut).”
Namun harus ditegaskan, yang dimaksud dengan “Tidak mampu” yaitu, manakala muncul setelah ia fana secara hakiki, bukan “tak mampu” secara metaforal (majazy), karena orang yang bodoh itu, ketidakmampuannya juga tampak secara nyata, namun orang yang arif ketidakmampuannya muncul secara Jalaly-Rahmany (maksudnya ketidakberdayaannya muncul akibat memandang Sifat Keagungan dan RahmaniyahNya). Berbeda jika ia tidak mampu memang karena kebodohannya.
Maka bisa ditampakkan, bahwa:
Orang bodoh ketika bergerak dan terjadi, ia terjerembab dalam kepentingan selera dirinya, sedangkan orang arif tidak bergerak kecuali untuk memenuhi hak kewajibannya.
Orang bodoh selalu berkhayal, orang arif selalu meraih kefahaman.
Orang bodoh selalu mencari ilmu, orang arif selalu mencari Sang Empunya Ilmu.
Orang bodoh mengikuti gambaran yang tampak secara lahiriyah. Orang arif memejamkan mata lahiriyahnya dan yang tampak pandangan ruihani maknawinya.
Para murid dalam perjalanan ruhaninya, diharuskan menyimpan rahasia ilmu, amal, hal, dan hasrat luhurnya. Jika ia mempublikasi pengalaman ruhaninya, membuat keikhlasannya semakin minim. Apalagi jika ia mengungkapkan keikhlasannya, itu menunjukkan betapa sedikitnya sikap benar bersama Tuhannya.
Banyak para penempuh bangga dengan pengalaman ruhaninya, lalu ia mandeg dalam kepuasan dirinya, dan ketakjubannya.
Banyak para penempuh yang mengungkapkan kedalaman batinnya, lalu ia kehilangan keikhlasannya.
Banyak para penempuh yang gembira dengan capaian hakikatnya, padahal ia baru tahap proses awal perjalanannya.
Karena itu, benarlah ungkapan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim Qs, “Rahasiakan Allah dalam hatimu, sebagaimana engkau merahasiakan cacat-cacatmu.”
Pengalaman Ilahiyah, biarlah menjadi rahasia diri anda, dan biar Allah Swt saja yang Tahu. Karena pengalaman itu datangnya memang dari Allah Swt, bukan dari dirimu, bukan dari amal dan maqommu.
Ibnu Atahaillah selanjutnya menegaskan: “Janganlah engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil sesuatu dari makhluk, kecuali anda melihat bahwa sang pemberi adalah Tuhanmu. Jika anda mampu di posisi demikian, ambillah menurut batas keserasian (standar) ilmu.”
Inilah etika sang penempuh, ketika menerima dan meminta tolong pada sesama, perihal soal harta benda. Sang penempuh (murid) mesti melihat bahwa sang pemberi adalah Allah Swt, bukan makhluk. Itu pun sebatas kewajaran yang dibutuhkan seketika itu, menurut standar pengetahuan agama.
Para sufi melarang meraih harta berlebih, apalagi disertai sikap rakus dan ambisi, penuh dengan cinta duniawi. Karena itu semua bisa melahirkan cobaan.
Kisah berikut bisa jadi renungan kita. Ketika seorang Sufi sedang mengundang jamuan makan para sahabatnya. Pelayan acara itu terkejut dengan perilaku para undangan pesta gurunya itu. Setidaknya sang pelayan mengamati ada tiga golongan tamu yang datang dengan gaya dan etika berbeda-beda.
Kelompok pertama, dipersilakan makan oleh tuan rumah, tapi tak kunjung makan juga, padahal makanan yang disiapkan adalah kesukaan mereka, apalagi mereka kelihatan haus dan lapar. Beberapa menit kemudian, tuan rumah menyilakan kembali pada tamu-tamu itu, saat itulah mereka mulai mengambil hidangan makanan.
Kelompok kedua, tamu-tamu yang datang langsung dipersilakan makan oleh tuan rumah. Dan seketika itu pula langsung disantap makanan yang ada di hadapannya.
Kelompok ketiga, tamu yang datang belum dipersilakan oleh tuan rumah sudah langsung mengambil makanan itu.Tentu pelayan penasaran. Akhirnya ia bertanya pada gurunya, atas perilaku para undangan tamunya itu. “Tanyakan saja pada mereka, kenapa mereka begitu?” kata sang guru.
Sang pelayan menanyakan kepada mereka, alasan apa yang membuat mereka berbeda-beda dalam merespon hidangan tuan rumah alias gurunya itu.Kelompok pertama menjawab, “Kami memang sangat lapar dan dahaga, dan sangat bernafsu untuk segera melahap makanan kesukaan kami. Ketika tuan rumah menyilakan nafsu kami semakin bertambah, namun kami terikat aturan adab untuk tidak mengambil makanan karena dorongan nafsu. Saat itu selera nafsu kami tiba-tiba sirna, dan guru anda tahu, kami sudah tidak berselera pada makanan hidangannya. Justru saat itulah guru anda menyilakan yang kedua kalinya, dan kami pun makan hidangannya.
Sang pelayan melanjutkan, pertanyaan pada kelompok kedua. Mereka menjawab, “Kami ini adalah tamu, dan posisi kami seperti mayit, jadi ketika tuan rumah menyilakan makan, kami harus makan, suka maupun tidak.”
Si pelayan semakin penasaran, lalu ia bertanya pada kelompok ketiga yang langsung menyantap makanan, tanpa dipersilakan lebih dulu. “Orang yang mengenal Allah (arif) melakukan semauNya.”
Si pelayan terpana mendapat jawaban ketiga kelompok undangan itu, sementara sang guru atau tuan rumah senyum-senyum saja. Ini semua hanyalah ilustrasi mengenai adab dari para penempuh maupun sang arif, yang erat hubungannya dengan soal mengambil atau mengulurkan tangan pada harta, makanan atau apa pun dari makhluk.
[Sufinews]