Politikus PKS Desak Pemerintah Bongkar Mafia Tes PCR

LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani meminta pemerintah membongkar praktik mafia tes PCR. Asumsi publik ini harus dijawab oleh pemerintah. Buktikan bahwa memang tidak ada motif bisnis buktikan tidak ada penumpang gelap pemberlakuan kebijakan test PCR.

Seperti dikutip dari Tribunenwtwork, Netty mengatakan  pemberlakuan PCR di moda transportasi udara pekan lalu jelas ada permainan bisnis. Tidak heran PCR menjadi perbincangan hangat netizen di media sosial.

“Apalagi sekarang maskapai sekarang bangkunya sudah boleh terisi 100 persen. Jadi kalau kemudian kita hitung kalau 100 persen berapa jumlah kursinya dan dikalikan test PCR-nya,” ucap Netty.

Terpisah, Politisi senior PKS Muhammad Nasir Djamil upaya pemberantasan mafia PCR ini didukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal kebal hukum dalam Perppu corona.

MK telah membatalkan ketentuan soal impunitas bagi pejabat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

“Putusan MK ini menghancurkan tembok tebal kebal hukum yang dijadikan tempat berlindung dalam pengelolaan keuangan negara dalam mengatasi pandemi Covid-19,” kata Nasir.

Ketentuan tentang impunitas atau kondisi tidak dapat dipidana bagi pejabat dalam rangka penanganan Covid-19 itu ada pada Pasal 27 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2020.

Ketentuan itu memerinci pihak-pihak yang tak dapat diperkarakan secara perdata maupun pidana ialah anggota, sekretaris, dan pegawai sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Menurut Nasir, keputusan MK tersebut membuat pejabat negara bisa digugat jika dalam penggunaan anggaran dana untuk penanganan Covid-19 ini mengalami penyimpangan.

“Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan institusi penegak hukum sekarang dapat masuk melakukan penyelidikan,” tambahnya.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan M Isnur menyoroti soal penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah.

Ia menilai penurunan harga tersebut tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.

“Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi,” ujar Isnur.

Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi mencapai Rp2,5 juta.

Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. Sepuluh bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India.

Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.

“Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” terangnya.

Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.

Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. (net/jm)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *