Ramadhan Bulan Radikal?

Turun Gunung

Dari ujung beralih ke pangkal
guru terbaik adalah pengalaman
marhaban ramadhan bulan radikal
menahan nafsu merperkuat iman

Pergi ke tambak menjaring ikan
mancing ke laut sekali sepekan
bulan ramadhan diturunkan alquran
sebagai pembeda batil dan kebenaran

Hendak salat menghadap kiblat
salat tarawih delapan rakaat
bulan ramadhan sebagai pengingat
radikal beribadah akan selamat

PEMBACA yang mulia, tak terasa beberapa hari lagi bulan Ramadhan tiba. Semoga menyambut Ramadhan bulan ini pembaca nan bijak senantiasa diberkahi kebahagian, keselamatan juga kesehatan. Amin.

Kehadiran J2C hari ini bertujuan mengulas-ringkas ihwal “Ramadhan Bulan Radikal?” Tajuk ini didedikasikan dalam menyambuat bulan yang penuh rahmah (Ramadhan) untuk beribadah dengan (secara) radikal? Konsep-istilah radikal yang disanding, bukan dibanding dengan kata Ramadhan. Tidak salah jika ada yang beranggapan tajuk Jengah Jengak Cendekia (J2C) kali ini sekilas terasa berbeda. Ini dialtari oleh karena kata Ramadhan disanding-padankan dengan kata radikal. Ramadhan seolah-olah dihubung-kaitkan dengan kata-istilah radikal yang sedang ‘sensi tujuh tahun-an’ belakangan ini.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KB2I), konsep-istilah radikal dimaknai [1]. Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): [2] Amat keras menuntut perubahan: [3] Maju dalam berpikir atau bertindak. Lanjutannya manakala kata tersebut berubah menjadi meradikalkan, maka dimaknai ‘menjadikan radikal’.

Hubungan Ramadhan dengan radikal terdapat konsep-istilah penting, selain beribadah adalah Alquran (turunnya Alquran pada bulan Ramdhan). Sesunguhnya inilah ihwal sesuatu terpenting yang terlalu sering dilupakan oleh ummat manusia. Ihwal kitab yang dilupa, melupa atau terlupa oleh yang si empunya. Manusia melupakan jika kitab tersebut (Alquran) adalah sebagai pedoman petunjuk yang membedakan antara yang baik dan buruk (batil dan kebenaran). Kitab tersebut adalah kitab untuk ‘ummat manusia’, walaupun ‘manusia yang lain’ beranggapan sebaliknya. Kitab tersebut untuk kemaslahatan manusia sebagai makhluq, dan makhluq lainnya di dunia ini. Esensinya kitab tersebut sebagai pedoman petunjuk untuk ‘keselamatan seluruh alam’ (Rahmatan Lil Alamin).

Kitab tersebut telah mengkategori karakter manusia dengan istilah beriman, kafir dan munafik. ‘Manusia beriman’ bersandar enam karakternya yakni percaya pada tuhan, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan taqdir baik buruk. Semua karekter ini menyatu dengan lima karekter lainnya yang bersandar pada, pengakuan (bersyahadah) bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad SAW adalah Rasul Allah (“Asy-hadu allaa ilaaha illallaahu wa asy-hadu anna muhammadarrasuulullahi”).

Titik tolaknya tertumpu pada rukun Islam yang pertama bahwa “manusia beriman” (muslim) wajib mayakini “tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah”. Muhammad sebagai nabi-rasul terakhir di akhir zaman. Esensinya orang beriman muslim wajib meyakini, tidak ada “nabi terakhir” selain Muhammad saw juga “imam yang lain” selain Muhammad SAW.

Menyambut bulan Ramdhan bulan diturunkannya Alquran yang selalu dipersoalkan pun dipersengketakan dalam interaksi sosiologis (hubungan kemasyarakatan) adalah penggunaan istilah (kata) kafir. Boleh jadi hanyalah persoalan cara berkomunikasi (menyampaikan) kata kafir yang seolah-olah berubah menjadi menakutkan. Sebutan intoleran, radikal (Ramadhan bulan radikal), dan lainnya yang bertendensi negatif boleh jadi titik soalnya pada cara penyampainnya saja.

Sejauh ini dapat dipahami yang jarang disampaikan oleh segolongan juru dakwah (para ustadz penceramah) adalah bahwa penggunaan kata (istilah) kafir sesungguhnya pengistilahan yang memulyakan (kemuliaan) dari kitab tersebut kepada manusia lainnya. Kafir adalah ‘konstanta yang tidak konstan’, melainkan terus-menerus bergerak (transformatif). Artinya kafir adalah karakter temporer yang masih akan terus terjadi perubahan untuk menjadi manusia beriman muslim. Begitu pun manusia beriman muslim sangat berpotensi untuk kembali menjadi kafir (murtad). Bahkan istilah munafiq juga disematkan kepada ‘manusia beriman muslim’.

Lebih esensi kafir dalam konteks ini adalah manusia yang tidak (belum) meyakini bahwa ‘tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad sebagai rasul Allah yang terakhir’. Sesuatu yang tidak dapat diingkari adalah bahwa manusia kafir, bukan berarti “tidak beriman”. Manusia kafir, bukan tidak mengkui adanya tuhan, malaikat, kitab, hari akhir, dan takdir baik buruk. Manusia kafir, esensinya enggan mengkui bahwa “tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasul Allah yang terakhir”.

Lebih lanjut manusia kafir, bukan tidak bersembahyang, bukan tidak berpuasa, bukan tidak berinfaq, dan ‘bukan tidak ingin berkunjung ke kabah’, walaupun bukan tidaknya, tidak sama atau sesuai yang terdapat dalam kitab tersebut.

Yang justru berbahaya adalah manusia yang berkarakter munafiq. Kitab yang diturunkan pada bulan Ramadhan ini banyak memberikan perhatian dan himbauan kewaspadaan terhadap manusia (kaum) munafiqun. Sikap yang suka menusuk dari belakang. Pepatah klasik mengatakan, ‘telunjuk lurus kelingking berkait’. ‘Menggunting dalam lipatan’. ‘Menusuk dari belakang’. ‘Menjungkal kawan seiring’. ‘Berwajah dua’, dan lain-lainnya.

Kitab tersebut (Alquran) mengingatkan berbahayanya permufakatan jahat (makar, kolaborasi jahat, konspirasi) antara manusia kafir dengan kaum munafiq. Kolaborasi jahat dapat memanipulasi isi ayat-ayat yang dapat menggoyahkan manusia beriman muslim untuk turut serta mengikuti lakon laku mereka. Yang sangat dibenci Allah swt adalah perbuatan mensyarikatkan (mendua, mentiga, memperbanyak atau bahkan meniadakan) keberadaan tuhan (Allah SWT). Kolaborasi ini dalam teori komunikasi menyebutkan adanya upaya manipulasi (berbohong) khusus dalam penyampaian informasi tentang ‘keesaan Tuhan’ (tauhid). Dusta adalah karakter (lakon laku) utamanya.

Kitab tersebut secara kronologis, terstruktur dan sistematis menjawab dengan pasti tujuan diciptakannya ummat manusia. Tujuan utama adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. ‘Tidak diciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi kepada Allah SWT’. Cara pengabdian diatur dengan beribadah dan beramal.

Kitab ini meletakan titik tolak kunci tujuan keberadaan manusia di bumi (alam dunia) yang fana ini dengan jelas. Secara kalkulasi matematis dapat dapastikan keberadaan umur manusia di dunia ini. Lama hidup manusia di antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun saja. Formulasinya sangat sederhana. Umur terpendek manusia (misal yang lahir langsung mati) ditambah umur manusia tertua dibagi dua. Anggap (umpama) saja umur tertua 130-an tahun. Artinya, 130 dibagi dua ditambah umur terpendek. Jadi umur manusia sekitar 65-an ditambah satu detik, menit, jam atau hari. Jikalau umur terpanjang, misalnya 120 tahun. Silakan hitungan dilanjutkan sendiri.

Bersagang pada kitab ummat manusia itulah yang selalu dilupakan, utamanya ihwal karakter manusia serta tujuan hidupnya. Oleh karena itu “Ramadhan bulan Radikal” mengajak manusia beriman muslim merenunginya sebagai iktibar pada bulan yang sangat dinanti kehadirannya. Kitab tersebut menjelaskan bahwa bulan yang dinanti-nantikan tak berapa lama lagi hadir.

Pada bulan tersebut ada “malam kemuliaan” di mana pada malam itu “lebih baik dari seribu bulan”. Kebaikan malam itulah, kitab tersebut menyebutkan dengan istilah ‘Lailatur Qadar’. Artinya ‘bulan yang penuh kemuliaan’. Manusia beriman (muslim), pasti akan meluangkan waktu khusus untuk selalu bermunajah secara radikal (secara mendasar atau sampai kepada hal yang prinsip). Radikal dalam beribadah, beramal saleh, dan perbuatan baik lainnya.

Marhaban ya Ramadhan. ‘Bulan Radikal’ yang penuh hikmah keberkahan.

Semoga. ***

Baca : Teroris Atau Klenikis Konstitusi?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *