‘Gatotisme’

Turun Gunung

KONSEP, istilah atau pun cara pandang, berpikir (paham) bersumber hasil diskusi rutin mingguan kami. Minggu ini, kami mengambil tema diskusi, “Selamatkan Negeri, Cerdas Berbangsa Bernegara”. Sekilas tema ini menandakan bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Begitulah jawaban ringkas ketika seorang kawan yang sealalu hadir dalam diskusi, bertanya.

Diskusi memfokuskan telaahannya seputar pernyataan, gagasan dan atau apalah namanya yang berasal dari seorang panglima TNI periode 2015-2017. Oleh karena itu judulnya ‘Gatotisme’. Sejalan dengan konsep istilah paham ini, sebelumnya, ada Habibienomic. Sementara di luar negeri ada Clintonomics. Keduanya bersandar pada cara berpikir ihwal sistem ekonomi (perekenomian pembangunan). Berbeda dengan Gatotisme. Tidak berlebihan dalam situasi kondisi ‘negara tidak baik-baik saja’ perlu dimuncul-sebarkan sebuah cara pandang (pemikiran) baru (new mind, istilah yang juga digunakan oleh Bossman Mardigu dikanal youtub-nya)) yang disebut dengan “Gatotisme’.

Cara pandang baru (Gatotisme) berpondasi pada terintegrasinya antara pemikiran, sikap dan gerakan dalam ‘cerdas berbangsa bernegara’. Pengintegrasian menuju pada karakter ‘menyelamatkan’ bangsa negara ini. Gatotisme, bukan pada sisi ‘perlawanan atas nama berseberangan’ (bertentangan, oposisi) seorang panglima TNI, melainkan karakter ke-TNI-an dalam konteks sumpah prajurit. Merujuk cara pandang ini pula, minimal terdapat dua landasan utama yang perlu diulas-paparkan sebagai basis argumentasi pentingnya dimuncul-sebarkan kehadiran Gatotisme.

[1]. Pahlawan dan Pengkhianat.

Gatotisme beraltar ulasan seputar kepahlawanan yang dominan, maka membincang-kilas ihwal pengkhianatan (Pengkhianat) dalam konteks ‘Gatotisme’ (paham ke-Gatot-an) amat sangat esensi. Sederhananya, Pengkhianat menjadi pembanding antara kepahlawanan seorang Pahlawan dengan pengkhianatan seorang Pengkhianat. Ini dimaksudkan sebagai pengingat, teristimewa kepada bangsa yang selalu lupa (bangsa selalu insomenia terlelap melupa sejarah). Yang tak boleh tentu saja lupa, siapa itu Pengkhanat negara dan bangsa. Bersandar hujah itulah bahwa imbal-sanding Pahlawan dengan Pengkhianat dalam konteks Gatotisme penting diulas-kilas pun jelas.

Secara sederhana,simultansinya bersandar pada cara pandang Gatot (Gatotisme), mengklasifikasi tiga tingkatan karakter Pengkhianat.

[1]. Pengkhianat Makluq kepada Khaliq. Ini adalah prilaku pengkhianatan tertinggi. Sederhananya dalam perspektif ‘teori khaliq makhluq’, para pengkhianat melupa diri akan keberadaan sang pencipta (khaliq). Para pengkhianat percaya adanya khaliq, tetapi tidak percaya pada syariat-Nya. Yang lain pula berlakon-laku ateis (manusia yang tidak percaya akan adanya sang khaliq).

[2]. Pengkhianat Nurani. Nurani yang sunatullah selalu membimbing dan menjunjung tinggi kebenaran terlalu sering dikhianati. Pengkhianatan sang Pengkhianat, tentu saja akan meluka-darahi, mendarah hati. Walaupun meluka masih termasuk biasa. Yang berbahaya adalah membusuk hati. Sifat dengki, iri berserta kawan-kawannya termasuk penyakit hati yang dapat membusuk hati (dendam kesumat). Busuk hati adalah istilah orang-orang yang selalu tidak senang dengan kebaikan orang lain pun pendendam. Esensinya mereka berkhianat pada nurani. Yang sangat mudah tentu saja mencari obatnya. Obat hati ada lima perkara. Begitulah tajuk lagu populer ihwal formula obat bagi sang Pengkhianat.

[3]. Pengkhianat Negara-bangsa (pengkhianat struktural). Dalam konteks kekinian, walaupun bangsa ini memperingati hari pahlawan masih beberapa bulan lagi, namun untuk konteks mengapresiasi pentingnya Gatotisme, perlu dicermat-telaahi ihwal sang pengkhianat struktural. Maksudnya, nanti jika diperingati Hari Pahlawan tidak wajib hanya mengungkap jasa besar seorang Pahlawan. Hari Pahlawan menjadi wajib mengungkap-kisahkan para (sang) Pengkhianat Negara-bangsa. Bahwa negeri ini tidak akan lepas dari kungkungan, pasungan dan tindasan oleh para sang pengkhianat. Itulah sebabnya perlu menjadi pertimbangan ketika nantinya bangsa ini memperingati Hari Pahlawan. Secara bersamaan juga wajib mengingat sang Pengkhianat. Khususnya para pengkhianat Pancasila yang ingin mengubah menjadi tiga atau dua sila. Mereka sang pengkhianat adalah pemakar ideologi.

[2.] Membantah Perintah Atasan.

Selain Pahlawan dan Pengkhianat, ‘Gatotisme’ menjadi sandaran pentingnya mengungkap-jelas istilah ‘bawahan melawan atasan’(membantah perintah atasan). Walaupun belum trending, Gatotisme memberikan pijakan filosofis, sosiologis dan politis mengulas-kilas tema ini. Secara langsung sesungguhnya pernyataan tersebut menjadi penting oleh karena terkait langsung dengan istilah ‘pengkhianatan atasan’.

Altar ‘bawahan melawan atasan’, pernyataan ini berhubungan dengan sesuatu yang sungguh amat sangat sakral. Amat sangat sakral oleh karena berdimensi (mempunyai hubungan signifikan) dengan Pancasila (dasar negara). Kata dasar negara yang selalu dimaknai menjadi ideologi ini pula faktor penyebab ihwal bawahan ‘boleh melawan atasan’. Ini terjadi manakala sang atasan mendukung untuk mengubah Dasar Negara tersebut.

Boleh saja ihwal ‘bawahan melawan (vs) atasan’ banyak orang yang tak peduli pun meremehkan. Beraltar ketakpedulian meremehkan itu pula, Gatotisme menjadi urgensi. Dua tesis penting mengapa pernyataan “bawahan melawan atasan” ini perlu untuk disebarluaskan dalam konteks menyambut mendukung kebaradaan Gatotisme.

Pertama, bawahan melawan atasan berdimensi hubungan DNA (biologis) dengan dasar negara (Pancasila). Mengkilas-balik altar Gatotisme (pernyataan seorang ‘jenderal pensiunan yang turun gunung’ meninggalkan hidup mapan karena menilai terdapat upaya sekelompok orang’ yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara), perlu amat sangat untuk diapresiasi. Apalagi cara mengubahnya dilakukan dengan modus terstruktur, terorganisir dan sistematis. Sehingga, memunculkan alibi mengubahnya seolah-olah konstitusional’ (dilakukan berdasarkan amanah UUD).

Tesis ‘bawahan melawan atasan’ berdimensi hubungan DNA dengan dasar negara, hemat penulis seharusnya tidak perlu terulang kembali. Alibi upaya mengubah dasar negara Pancasila yang seolah-olah konstitusonal jika tanpa perlawanan sengit, kritis, cerdas dan konsisten, tentu saja berdampak signifikan terhadap keberadaan NKRI hari ini, dan masa depan.

Sejarah mencatat jika modus ini hanyalah pengulangan yang keliru, dan tidak perlu terjadi. Apalagi Pancasila yang sudah disepakati menjadi produk bersama, mengapa harus dinodai dengan ego yang terafiliasi pada keluarga tertentu? Yang seolah-olah Pancasila adalah produk personal. Sehingga keseolah-olahannya, tesis ‘bawahan melawan atasan’ berdimensi hubungan DNA (unsur biologis) menjadi terbukti.

Kedua, ‘bawahan melawan atasan’ berdimensi prilaku berkhianat dengan DNA (biologis). Berklindan dengan tesis pertama, tesis kedua jika konteks Pancasila diklaim sebagai produk dan milik keluarga, tentu boleh-boleh saja. Sebagai bangsa besar yang tidak akan melupakan jasa besar para pahlawannya, tidak keliru jika Pancasila adalah ramuan yang berasal dari ide salah seorang personal. Yang menjadi tidak arif nan bijak, manakala terdapat upaya para pihak yang sedang berkuasa kebetulan memiliki hubungan garis biologi (DNA) pun ideologi dengan personal tersebut, mengklaim-ulang lalu berupaya memonopolinya.

Mencermati penjelasan tersebut, diharapkan tesis kedua tidak terbukti. Dan tidak terdapat hubungan signifikan antara pengkhianatan dengan DNA. Belajar dari jejak ‘sejarah pengkhianatan’ salah satu ‘organisasi politik’ tahun 1926-27, 1948, dan 1965, idealnya tidak perlu terulang kembali. Sehingga segala upaya pengulangan sejarah proses pengkhianatan masa lalu, hari ini maupun masa depan terkait hubungan DNA dengan dasar negara adalah zero (nihil).

Dari sinilah sesungguhnya cara cerdas berbangsa dan bernegara perlu disebarluaskan. Caranya jika paham Gatot (Gatotisme) dapat menstimulasi pikiran bawah sadar menuju aqal sehat. Dengan bahasa yang kritis nan cerdas sesungguhnya dapat dimaknai bahwa bawahan (prajurit), berani untuk melawan ketidakbenaran (pengkhianatan) atasan (jenderal). Atau seorang prajurit pun jenderal yang ‘berani memperingatkan atasan’ sekalipun seorang ‘panglima tertinggi’. Masalahnya, bukan melawan jabatan sementara sebagai ‘panglima tertinggi’, melainkan ‘pelanggaran konstitusionalnya’ (seorang ‘panglima tertinggi’) yang wajib diingatkan.

Semoga. ***

*) Muchid Albintani, penulis buku, “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara”.

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews