WALAUPUN tidak viral bagi semesta alam, namun tetap saja menghebohkan. Betapa tidak. dalam sebuah kawasan ‘negeri asing’ yang berada kebetulan pada negeri yang katanya ‘mayoritas penduduknya beragama Islam’ berkibarlah pelangi yang menyerupai bendera, atau bendera berwarna pelangi? Tak perlu disebut di mana berkibarnya bendera itu. Silakan ditelusur Insya Allah atok google siap sedia membantunya.
Belakangan ini beragam pertanyaan mengemuka merespon kibaran bendera itu. Ada dugaan berupa pertanyaan di antaranya: apakah kibarannya sengaja atau diskenariokan? Kalau disengaja untuk apa? Kebebasan? Toleransi? Pluralisme? Humanisme? Atau apa?
Jikalau benar (bisa juga salah), pada mulanya diskenariokan dengan makar [by design], akhirnya berubah menjadi kecelakaan [by accident]. Istilah diskenariokan yang berakhir kecelakaan, tanpa desain dalam tatanan kehidupan manusia beriman menyebutnya dengan istilah azab. Oleh karena akibat dari kesalahan yang pernah, atau sedang dilakukan berasaskan desain besar [grand design]. Azab tidak dapat ditolak. Azab dapat diantisipasi. Yang bermasalah jikalau azab diterima-rasakan secara kolektif walaupun pengundang azab, pelakunya personal (individual).
Oleh karena itu dalam hubungan dengan kebenaran pun kesalahan tersebut, terdapat adagium mashur tahun 2020 (dua tahun lalu), sempat menghiasi media sosial bahwa, “Iman tak dapat menyiapkan obat, namun dapat mempersiapkan manusia menuju kematian. Sementara, sains [pengetahuan] dapat menemukan obat, tetapi tidak dapat membantu menghadapi kematian.”
Adagium Arif, nan bijak pun visioner tersebut mengispirasi sekaligus menginisiasi hubungan kontekstual antara kematian dan iman. Hidup dipenghujung ‘abad menuju perang nuklir’ ini dapat menjustfikasi ketakberdayaan sains [pengetahun] menghadapi fenomena jelang kematian. Fenomena ‘sakit (penyakit) yang disimpangkan’ menjadi kebebasan, toleransi dan peluralisme-humanisme. Penyakit ini yang oleh kaum di negeri Barat (pendukung kebebasan pun sekularisme) pada konteks tententu sulit ditolak, dapat menjadi azab-musibah [penyebab histeris] murka alam. Di antara kemurkaannya terjadi gempa dan atau yang lainnya.
Penyakit yang selalu diasosiasikan dengan ‘dampak jangkitan psikologis, boleh dikata belum ditemukan obatnya secara medis. Yang dapat dimaknai, bukan tidak ada obatnya secara ‘transenden-spritual’. Sementara tidak seperti penyakit lainnya yang ‘inkubasi kematiannya’ dapat saja tak terduga. Padahal fenomena penyakit psikologis hormonal ini, seolah-olah tidak berhubungan antara sains [pengetahuan], kematian, dan iman [ke-iman-an].
Bersandar pada hubungan tersebut [pengetahuan, kematian dan keimanan], Jengah Jenguk Cendekia berupaya meneroka ringkas secara ‘akademis-medis dan ‘transenden-spritual’ bahwa terdapat hubungan kematian dan azab yang bersandar pada variabel iman. Dalam konteks pengetahuan yang tak dapat membuka tabir, “semua yang hidup [bernyawa] pasti mati”. Kecemasan menyambut azab (kematian) karena dampak dari lakon-laku ‘kaum pelangi’, membuktikan jika iman berkorelasi positif [mempunyai hubungan signifikan] dengan azab.
Dari sini korelasi tersebut dapat dijelaskan secara akademis, jika azab dapat diteorikan. Sebagai studi awal, paling tidak rujukan sejarah Qurani memberikan referensi bijaksana. Kisah dua manusia, Namrud dan Firaun adalah menyoal hubungan azab dengan kesombongan. Sementara, kisah Luth dari negeri Sodom [Gamora], memperkuat hubungan azab dengan kemungkaran prilaku [ke-adab-an berprilaku mungkar dari kaum Sodom]. Dalam konteks istilah milenial disebut dengan ‘kaum pelangi’ yang juga ‘berbendera pelangi’.
Kehadiran ‘kaum pelangi’ di penghujung zaman merepresentasikan dua prilaku yang manyatu [terintegrasi] antara kesombongan penguasa zalim dunia [yang dipertontonkan manusia dalam men-tuhan-kan teknologi-senjata, dahulu seperti Namrud dan Firaun] dan pembangkangan-munkar [yang mengatasnakman HAM, men-tuhan-kan kesetaraan, seperti lakon-laku kaum Luth]. Keduanya secara simultan-inheren [bersama-melekat] mempraktikan kesombongan dan pembangkangan kodrati ilahiah terkait nurani kebenaran hakiki yang diperintahkan (sunatullah), tetapi terus dilanggar (diingkari).
Sederhannya, simultansi kesombongan plus pembangkangan dianologikan [sebagai perumpamaan] oleh jutaan manusia dalam kebiasaannya mengkonsumsi khamar [minuman keras memabukan]. Perumpaaan adalah realitas ironi, manakala pengetahuan tak sanggup menunjukan [menuntun] jika para produser, penjual dan peminum khamar adalah keliru dalam konteks ke-manusi-an (humanisme).
Sementara cara pandang Qurani secara analogis-akademis dengan mudah dapat mengidentifikasinya. Dengan arif-bijak referensi Qurani menyebutkan dengan tegas jika “meminum khamar [jutaan atau bahkan miliaran manusia peminum] adalah termasuk perbuatan Syaitan.”
Pertanyaanya: apakah Syaitan dapat dilihat? Secara teori, pendekatan azab melalui ‘kaum pelangi’ dengan jelas dapat mengidentifikasi wujud dan sosok Syaitan. Lalu, apakah para pendukung -penyuka khamar pun ‘kaum pelangi’ adalah Syaitan?
Wallahu a’lam bishawab. ***
Baca: Pemilih dan Yang Dipilh?