Cerpen Murparsaulian: Matahari Ungu dan Bulan Berdarah

DIA gelisah menunggu pagi yang membawa mentari. Malam yang dilewati dalam kelelahan makin lambat bergulir. Waktu yang menghampiri hidupnya, dirasakannya begitu panas. Bara yang bergelayut di pelupuk matanya, menikam pandangannya. Yana, gadis manis itu merenung dengan setangkai bunga di genggamannya. Mimpinya terbang bersama angina, luncas di padang luas yang membentang di hadapannya.

Gulir air matanya semakin deras, mengalir di pipinya yang pipih. Dulu pipi itu begitu kenyalnya. Namun tersebab sering dimakan derita, dari waktu ke waktu tubuhnya semakin tipis, tak terkecuali pipi itu. Mata itu, begitu kuyunya, begitu kusamnya.

Sudah tiga malam Yana merayau malam. Mengasuh kesendirian di tengah derita yang menggerogotinya. Bunga ungu itu, masih dalam genggamannya, harumnya masih terasa. Malam kian disesaki semerbaknya. Gigil tubuhnya semakin kuat bersamaan hatinya yang bergetar, hebat, dahsyat dan tak bisa dihentikan.

Sudah dia coba beberapa kali kompromi dengan diri, bahwa hidup seperti ini harus dijalani. Apa adanya, tanpa terlalu banyak menyemai harapan. Toh, pada akhirnya jika harapan itu tak tercapai seperti yang dorencanakan, akan sangat menyakitkan dan Yana tahu itu.

Entah mengapa, akhir-akhir ini irama luka yang berkumandang dalam hidupnya, tak sanggup dia dengar lagi. Padahal hidupnya sudah sangat terbiasa dengan irama itu. Sejak dia kecil, telah diasuh dengan luka, derita dan segala bentuknya. Namun, mengapa saat ini dia tak sanggup lagi. Wajarkah? Memang sudah sewajarnya begitu. Setiap sesuatu ada batasnya, tak selama luka mesti dipelihara, dan hal ini berlaku juga untuk sebuah bahagia.

Di tanah inilah dulu Yana menyemai kehidupan, dan beberapa waktu lagi, yang tidak terlalu lama, dia harus rela melepaskannya. Pergi dari peninggalan orang tuanya, satu-satunya peninggalan yang tersisa. Setelah beribu-ribu hektar tanah yang lainnya, juga diambil secara paksa. Yana merasa betapa pedihnya tatkala tanahnya itu dirampas secara paksa. Dia harus berpisah dengan tanaman-tanaman yang tumbuh di dalamnya. Sebab itulah, sebelum tanahnya yang sebidang diambil, setangkai bunga ungu yang tumbuh di situ, cepat-cepat dia selamatkan. Dia takut bunga itu hilang seperti bunga-bunga yang lainnya.

Dia tidak bisa berpisah dengan harum bunga itu, yang memberi semangat dalam hidupnya. Karena takut kehilangan, bunga itu selalu berada di genggaman. Andai pun diletakkan di vas, hanya beberapa waktu saja. Itu pun tak boleh jauh dari dirinya. Bagaimanapun bunga itu perlu siraman air, kala itulah Yana meletakkan di jambangan dan sewaktu dia harus mandi, makan dan sembayang.

Hidup sendirian di sebuah kamar yang sempit tidak menyakitkan baginya, asalkan Bungan itu masih berada di sisinya. Sebuah dipan sederhana dengan kelambu warna ungu, lampu teplok bersumbu dasar ungu dan sebuah lemari yang juga dicat ungu. Gadis itu merebahkan diri dengan ketenangan yang dia ciptakan sendiri bersama keriangan yang dia semai sejak tadi pagi. Walau bulan di luar masih berdarah, tetesannya mengenai tirai kamar gadis itu yang jendelanya tak dia tutup sejak senja tadi.

***

YANA berusaha sekuat tenaga kembali merampas setangkai bunga kesayangannya itu dari seorang lelaki bertubuh kekar, berkulit legam. Tangan kiri lelaki itu semakin kuat meremas payudaranya. Matanya berair menahan sakit, sementara gaunnya sudah koyak moyak, tak berbentuk lagi.

Lelaki itu makin kuat memeluknya. Mencium lehernya yang putih mulus. Meraba-raba tubuhnya, tanpa perasaan, lelaki itu pun merobek rok panjangnya secara paksa. Dibaringkannya tubuh tak berdaya itu di antara puing-puing rumah gadis itu yang baru saja mengeluarkan hawa panas, habis terbakar. Dengus napas lelaki itu memburu Yana yang semakin lemah tak berdaya. Nafsu lelaki itu kian memuncak, beringas dan kian kasar.

Yana semakin tak kuasa melawan. Dia sudah letih dan tak ingat apa-apa lagi. Yang dia tahu, ketika dirinya kembali sadar, selangkangannya sakit. Ada darah membekas beku di sana. Dan dia merasa hidupnya tiada guna lagi. Dia memekik, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Terasa berat dan teramat berat, bahkan untuk berteriak minta tolong pun dia tak mampu. Ada titik bergulir di pipinya yang pipih. Titik yang entah ke berapa ribu tetes.

Letih mengasuh penyesalan, akhirnya dia hanya sanggup berucap, keperawanankah sebagai juru kunci kebahagiaan dalam hidup, lalu dia asuh senyum di bibirnya yang pucat.

Tertatih, Yana berusaha untuk duduk. Dia ingat bunga ungunya. Nun di sana, bunga ungunya itu terhimpit sebuah tiang besar. Perlahan dia merangkak mendekati bunga itu. Seperti taka da lagi yang tersisa, bunga itu berkecai dan koyak moyak. Harapannya hancur untuk kesekian kalinya. Namun senyum itu tetap dipeliharanya mengembang dalam jiwanya.

Tanah-tanah gersang tak bertuan itu dihampiri Yana. Dia mencoba mendekati kegersangan itu dengan segala keriangan yang tumbuh di atas luka dalam hatinya. Berbrkal semangat yang dia siapkan sepanjang malam, paginya dia bangun dengan kegembiraan yang terpelihara. Jari-jari lentiknya dan lengannya yak tidak kekar itu bukan penghalang baginya untuk membuka lahan gersang itu.

Menit demi menit sampai hitungan bulan mendekati tiga bulan, tanh itu tak berbentuk belukar lagi. Ditanaminya lahan itu dengan anggur dan kurma. Dibangunnya sebuah pondok kecil di tengah-tengah kebunnya yang separuh anggur dan separuh kurma. Pondoknya menjadi pembatas antara kurma dan anggur. Setiap hari pondok itu dihiasi oleh nyanyian kecilnya yang berisikan keriangan-keriangan. “Pagi, kulihat kali ini kau cerah. Ada apa kegerangan? Beri aku terus keriangan itu, jangan pernah kau lupa menyinari pondok kecilku ini. Jangan kau seperti bulan yang selalu mengeluarkan tetes darahnya setiap malam yang mengenai dinding-dinding gubukku. Aku tak ingin ditangisi seperti bulan yang menangisi aku,” Yana memandang ke tabir surya yang mulai merekah itu. Sebuah sabit dalam genggaman tangannya yang mulai kasar seperti tangan laki-laki.

Sudah tiba waktunya. Anggur dan kurma yang ditanam Yana dipetik. Senja itu dia menunggu datangnya pagi. Esok seperempat siang, dia akan memetik tanamannya itu sendiri, dengan keriangan yang bertimbun-timbun di hatinya. Burung-burung hutan, kancil, rusa dan kelinci bermain bebas di kebun Yana yang indah. Binatang itu bermain dengan riangnya. Binatang itu pulalah sebagai teman Yana untuk bercakap-cakap. Mengusir kesepian dalam kalbunya, membunuh keinginannya mencari kekasihnya yang menghianatinya.

Sangat tiba-tiba terdengar tawa menggemuruh di kebunnya yang aman dan tenteram itu. Pohon-pohon tunduk ketakutan, menggigil, sehingga buah kurma dan anggur yang matang jatuh bergururan. Tiga orang lelaki kekar berwajah ganas terkekeh-kekeh kesenangan mendekati pondok Yana. Matahari berwarna merah berubah menjadi ungu seketika.

Yana yang sedang mengumpulkan tenaganya karena akan memetik hasil kebunnya itu terkejut dan mendadak menggigil pula. Tanpa banyak basa-basi tiga orang lelaki itu berteriak tanpa peraturan. “Hei, pemilik kebun. Keluarlah! Tak tahukan engkau bahwa raja kesengsaraan telah dating. Beri hormat. Cepat!!”

Yana rasanya ingin muntah. Darahnya mendidih dan menggelar. Peluh pun membasahi tubuhnya. Dia masih sanggup sebenarnya melangkahkan kakinya. Namun ketiga orang kasar itu menghampirinya. Terbayang kembali nafsu di masing-masing wajah ketiga orang itu. Yana semakin surut semangatnya. Akankah ketekunan yang selama ini dia bangun runtuh karena tiga laki-laki yang baginya tidak memiliki perasaan sedikitpun jua itu.

Nafsu terus mendidih di tubuh ketiga laki-laki itu ketika melihat Yana terkulai lemah. Sepsang susunya yang putih mulus tersembul sedikit dari balik kebayanya yang lusuh. Satu dari tiga laki-laki itu mendekatinya. “Kau tak hanya memiliki kebih yang indah, tapi tubuhmu juga indah, melebihi keindahan dan kesuburan kebunmu ini. Jangan khawatir saying. Aku akan memperistrimu,” ujar laki-laki berkulit coklat legam itu sedikit lembut.

Kedua orang lelaki yang lain iri dan sakit hati akan perkataan laki-laki itu. Secara serempak mereka memburu Yana. Merobek-robek bajunya. Dan dengan nafsu yang mereka pelihara seumur mereka hidup, tubuh Yana ditindih mereka bergantian, berulang-ulang, sampai gadis itu tak lagi punya kekuatan. Untuk tersenyum kepada matahari berwarna ungu saja dia sudah tidak mampu

Bulan kembali bersinar. Hari sudah malam. Darahnya kini menetes di tubuh Yana yang menggigil dan kesakitan. Ternyata malamlah yang berpihak peadanya. Matahari selalu memberinya senyum walaupun dia dalam kesusahan. Semalam dia tidur bersama cahaya bulan yang berdarah. Darah pun menetes di setiap relung hatinya. Senyum menyngging dibibirnya kian pucat. “Besok aku akan mencari lahan gersang lain untuk kugarap,” ujarnya perlahan sebagai bentuk perlawanannya terhadap tiga laki-laki yang memporak-porandakan kebunnya dengan memetik semua kurma dan anggurnya.

“Masih ada lahan gersang yang lain,” rintihnya sambil mengembang senyum. ***

*) Cerpen ini sudah pernah terbit di Majalah Sagang Edisi III 28 Januari 2001.

Murparsaulian, seorang penyair dan pengarang cerita pendek wanita dari Riau yang mulai melebarkan sayapnya untuk menghirup udara sastra dunia. Dia lahir di Pasir pengaraian, 5 Februari 1978.

Baca : Cerpen Budi Darma: Lorong Gelap

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *