Cerpen Hayatun Thayyibah: Kupenuhi Janji

“SUDAHLAH, Nak! Jangan bersedih lagi,” hibur wanita yang sangat kusayangi di dunia ini, sambil mengelus punggungku. Mata tuanya memandangku lama.

“Tapi Mak, Anto nggak mau keluarga kita diremehkan orang lagi.”

“Iya, Emak tahu. Maaf ya Nak, Emak ndak mampu memberikan kehidupan yang baik untuk kamu dan adikmu.”

“Mak!” potongku cepat. “Jangan berkata seperti itu! Anto tidak suka, Mak.”

Emak menarik kedua sudut bibirnya, dan membentuk sebuah senyuman kecil. Kemudian Emak menarik kepalaku tenggelam di dekapannya.

“Kamu coba saja lagi tahun depan! Insya Allah kamu lulus. Oalah Nak, seandainya saja Bapakmu masih ada, tentu dia bahagia melihat kamu yang bersemangat untuk bisa kuliah. Tapi Bapak sudah pergi sebelum melihat kamu jadi orang,” Emak berkata lirih.

Malam semakin larut. Suara jangkrik dan kodok terdengar bersahut-sahutan. Angin berhembus pelan dan desau sisa hujan yang masih satu-satu menambah heningnya suasana malam. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi rasa kantuk belum kurasakan. Kulepaskan diriku dari pelukan Emak, dan beringsut ke kamar mandi.

“Anto shalat Isya dulu, Mak.”

Emak mengangguk. “Jangan lupa berdoa pada Gusti Allah, To! Kamu harus yakin, Allah pasti akan selalu dekat padamu dan akan selalu menolongmu.”

Kata-kata Emak menyejukkan hatiku. Ah… Emak! Emak memang selalu menghiburku di saat aku sedang bersedih, walaupun aku tahu hati Emak sedang sakit. Emak menjadi janda ketika aku masih duduk di bangku kelas enam SD, dan adikku Agus masih di dalam kandungan. Bapak meninggal karena sakit tipus.

Sekarang Emak bekerja sebagai seorang pembantu di rumah keluarga Tigor Matondang. Dan kadang, sepulang sekolah, aku menjadi tukang kebun di sana. Rasa benci selalu muncul apabila aku mengingat keluarga itu. Sebenarnya, keluarga Tigor itu adalah keluarga yang baik. Buktinya, SPP SMA-ku dibiayai oleh mereka. Namun, Emak sering dicap sebagai orang tak tahu berterima kasih. Emak pernah melakukan sebuah kesalahan yang sebenarnya sepele, tetapi berakibat fatal.

Ketika itu, foto Younis, putra mereka yang sedang mengambil S2 di Berlin, sedikit miring ketika digantungkan di dinding. Emak tak sadar melakukan itu, saat Emak sedang mengelap kacanya dari debu yang menempel.

Emak langsung dikatakan orang tak tahu diuntung, orang tak bisa kerja, dan segala ejekan keluar dari mulut Bu Tigor.

“Mbok Minah! Mbok ini bisa kerja nggak sih? Gimana nanti kalau ada tamu yang datang, terus ngeliat bingkai fotonya miring kayak gitu? Mereka pasti mikir kalau rumah ini nggak pernah diurus. Saya yang malu, bukan Mbok. Dasar nggak tau diuntung. Kalau kami sudah ngebantuin uang sekolah si Anto, kerja yang benar lah!”

Dan mereka semakin gencar mengatai Emak, semenjak mereka tahu aku berniat untuk kuliah.

“Heh! Kalian ini orang miskin, tapi tak tahu diri ya? Sok sekali mau kuliah. Kalian pikir, uang kuliah itu nggak mahal? Kalian pikir, kami mau ngebiayai si Anto lagi?” komentar Bu Tigor pedas dan membuat Emak sedih ketika sedang mendengarnya.

Tak jarang kukatakan pada Emak untuk tidak lagi bekerja di situ. Tapi Emak menolak. Emak bilang, zaman seperti sekarang ini, sulit mendapatkan pekerjaan untuk wanita seusia Emak.

***

Bang Bently menjepit koran-koran yang hendak dijual pada sebuah palang kayu yang terdapat kawat. Bang Bently adalah tetanggaku.

“Mengapa waktu itu tidak kau coba PMP di sekolahmu?” tanya Bang Bently dengan logat Bataknya yang khas.

“Entahlah, Bang. Waktu itu aku takut nggak punya biaya untuk kuliah,” jawabku dengan suara parau.

“Nah, menyesal sekarang Kau kan? Seharusnya waktu itu Kau tak usah takut,” ujar Bang Bently tanpa nada meremehkan.

“Abang tahu kalau kita ini sama-sama susah, sama-sama tak ber-duit. Tapi kalau kita berusaha, kita pasti bisa bukan? Abang pun dulu juga takut untuk kuliah. Takut tak punya biaya. Dan sekarang, Abang membuka usaha kecil-kecilan seperti ini, sedikit teratasi gitu lah,” lanjut Bang Bently yang kuliah di USU, jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

“Mm.. Bang! Gimana kiat Abang agar lulus SPMB?”

“Kiat? Ya standar saja. Belajar dan berdoa. Tak ada kiat khusus.”

“Tapi, aku pun sudah belajar dan berdoa. Nggak lulus juga.”

Bang Bently tertawa kecil, lalu tersenyum kebapakan. “Yah… mungkin belum waktunya kau lulus. Kau harus percaya ya Dekku, semua ini pasti ada hikmahnya.”

Aku mengangguk. “Makasih ya Bang, atas support nya. Oh ya, Bang. Aku pergi dulu, ya. Mau kerja. Yuk, Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam. Hati-hati kau,To!”

Hanya 15 menit kubutuhkan untuk berjalan menuju rumah keluarga Tigor. Bang Januar, satpam rumah tersebut, menyambutku dengan senyuman. Peluh telah membanjiri tubuhku. Kira-kira sudah dua jam, aku memotong rumput di perkarangan halaman rumah yang luas ini. Tiba-tiba sebuah Toyota Fortuner masuk, dan berhenti tak jauh dariku. Pak Tigor keluar dari mobil tersebut.

“Siang, Pak,” sapaku. Pak Tigor menatapku layaknya seekor kutu busuk.

“Eh, kamu. Bagaimana, lulus SPMB nya?” Aku menggeleng.

“Ha.. ha.. ha.. Itulah, sudah tahu susah, kok sombong mau kuliah,” ucap Pak Tigor. Rahangku mengeras. Inginku kutinju wajah orang yang sedang berada di depanku ini.

“Pak! Saya tahu Bapak seorang yang dermawan. Dan terima kasih karena Bapak sudah bersedia membayar SPP SMA saya. Tapi saya minta, Bapak jangan meremehkan saya! Saya juga punya harga diri. Memangnya hidup saya bergantung pada Bapak? Memangnya Bapak Tuhan saya?”

Pak Tigor mengepalkan tangannya. “Kamu…” desisnya geram.

“Kita sama-sama manusia, Pak. Bapak tidak bisa seenaknya saja menginjak harga diri saya! Ya.. saya akui, Bapak memang orang kaya, sehingga sombong seperti itu. Tetapi Tuhan bisa mencabut seluruh harta Bapak!” kataku lantang.

“Angkat kakimu dan kaki ibu kamu dari sini!” ucapnya menahan amarah.

“Dengan senang hati, Pak Tigor yang sombong! Kami memang sudah lama ingin keluar dari rumah neraka ini.”

“Heh anak kurang ajar! Tidak pernah diajari sopan santun ya? Ah iya, saya baru ingat. Kamu kan anak yatim, jadi tidak pernah diajari sopan santun sama bapakmu. Iya kan?”

Kutarik kerah bajunya. “Saya ingatkan, jangan bawa nama Bapak saya di sini!” Langsung kulepas dan kudorong tubuhnya sedikit ke belakang. Kulangkahkan kakiku untuk mencari Emak di dapur. Tak kuhiraukan sumpah serapah, caci maki yang keluar dari pria berperut buncit itu.

***

Kuhirup dalam aroma tanah sehabis hujan yang segar sore ini. Sisa air hujan yang berada di permukaan daun, perlahan jatuh ke atas becek, dan membentuk pola-pola lingkaran yang bergerak semakin besar. Kuamati semut hitam yang berjalan beriringan di dinding teras rumahku. Semut yang sekecil ini saja diberi rezeki oleh Tuhan, pasti aku juga, pikirku.

Sudah tiga bulan Emak tidak bekerja lagi di rumah keluarga Tigor. Dan sekarang, Emak membuka usaha menjual nasi uduk dan lontong sayur di depan rumahku dengan meminjam modal dari Pak Saragih, ayahnya Bang Bently.

Kondisi finansial keluargaku sedikit lebih baik. Dulu, gaji Emak tiga ratus ribu rupiah, ditambah gajiku menjadi empat ratus ribu rupiah. Dan sekarang, dalam satu hari, kami bisa mendapatkan untung tiga puluh ribu, yang jika dikalikan satu bulan, bisa mencapai satu juta rupiah.

Ya, aku bersyukur atas karunia ini. Ditambah, Emak tidak lagi merasakan sakit hati atas cemoohan keluarga Tigor Matondang.

***

Pendaftaran SPMB dibuka hari ini. aku pergi ditemani Bang Bently. Dia memaksaku agar dia ikut menemaniku. Bang Bently memang baik padaku. Dia sudah kuanggap seperti abangku sendiri. Kami pergi naik kereta-nya.

“Wah, rame kali, Bang!” seruku ketika sampai di USU.

Bang Bently mengangguk. “Abang tunggu di taman itu, ya!” pintanya.

Gelanggang Mahasiswa didesaki orang-orang yang juga mau mendaftar. Antreannya begitu panjang. Inilah yang dinamakan usaha. Bukankah pepatah mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.

Ujian SPMB dilaksanakan dua hari. Nomor ujianku 2574. Ah.. skenario Allah memang selalu indah. Itu merupakan nomor bersejarah yang pernah aku dapatkan. Bagaimana tidak? Bapakku lahir pada tanggal 2 Mei, dan Emak lahir pada 7 April. Kebetulan yang hebat, kan? Semoga ini menjadi nomor keberuntunganku, dan aku akan lulus dari satu di antara tiga pilihanku, Kedokteran, Teknik Industri, dan Akuntansi.

***

Lima menit lagi ujian dimulai. Para pengawas sedang membagikan lembar jawaban. Peserta yang ikut tahun ini mencapai dua puluh empat ribu lebih. Dan yang diterima USU hanya sekitar empat ribu orang saja.

“Ya Allah, tolonglah hamba. Hamba ber-ikhtiar pada-Mu,” doaku dalam hati. Bel berbunyi meraung-raung dan menyentakkan hatiku. “Sekarang soalnya sudah bisa dikerjakan!” ujar seorang pengawas dari microphone.

Kubalik lembaran soal itu dengan tangan gemetar. Kupejamkan mata sejenak. Bismillah…

***

“Ya Rabbi, kuharapkan ridha-Mu untukku. Amin..” Kuakhiri shalat tahajudku dengan doa. Kulipat sajadah lusuhku dan kuletakkan di ujung dipan. Aku berjalan mendekati meja belajar, dan kuraih sebuah album foto.

Kubuka dan kubalik lembaran album dengan perlahan. Kutatap nanar potret diriku yang sedang memakai toga saat wisuda TK. Saat itu, Bapak masih ada. Kubalik lagi. Fotoku dengan Bapak dan Emak ketika liburan di Taman Ria, dengan latar komidi putar. Bapak sedang menggendongku dan Emak berdiri sambil memegang lenganku. Senyum terpancar di wajah cantiknya.

Aku rindu Bapak. Dulu, setiap malam, Bapak selalu menyempatkan diri bermain denganku, meskipun aku tahu, Bapak lelah karena seharian bekerja sebagai seorang satpam di sebuah bank swasta. Begitu banyak kenangan indah bersama Bapak. Aku jadi kasihan pada Agus. Agus tak pernah merasakan hangat kasih sayang Bapak. Agus hanya mengenal Bapak dari foto.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Ya Tuhan, aku rindu sekali pada Bapak. Kata Emak, wajahku mirip dengan Bapak ketika masih muda. Bahkan sifat Bapak juga turun padaku. Keras dan pantang menyerah.

“Anto..” Emak menyibakkan tirai yang menjadi pintu kamar. Buru-buru kuusap air mataku. Emak berjalan ke arahku, dan sedikit heran melihat album foto yang sedang terbuka di atas pahaku.

“Kamu menangis, Nak? Kamu sedang teringat Bapak, ya?” tanya Emak pelan.

Aku hanya diam.

“Bapakmu sudah tenang di sana. Jangan kamu tangisi lagi, To,” ujar Emak.

“Sudah, ya! Emak mau memasak nasi untuk dijual nanti.” Emak pun beranjak meninggalkan aku sendiri. Kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidurku. Sudah pukul empat pagi. Waktu Subuh sebentar lagi.

***

Aku berlari menyeberangi jalan Gatot Subroto, menuju kios Bang Bently. Kulihat Bang Bently sudah berdiri dengan sebuah koran di tangannya. Kusambar Koran itu, dan kubuka dengan cepat, mencari halaman pengumuman hasil ujian SPMB.

Ribuan nama memenuhi empat halaman koran. Jantungku mulai berdetak tak karuan. Wuah.. namaku ada nggak ya? Aku mulai mencari namaku. Ardianto.. Ardianto.. mana ya? Keringat dingin perlahan muncul di dahiku, ketika sudah lima belas menit, tak kutemukan namaku.

Kuulangi sekali lagi, tapi tak kutemukan juga. Aku terduduk lemas. Darah seakan-akan berhenti mengalir di tubuhku. Ya Tuhan, aku tidak lulus untuk kedua kalinya.

“Anto, Kau sakit, ya?” tanya Bang Bently, mungkin karena melihat wajahku yang tiba-tiba memucat. Aku membisu. Lidahku terasa kelu.

“Bagaimana? Lulus?” tanya Bang Bently lagi. Aku menggeleng lemah. Ekspresi terkejut tampak jelas di wajahnya.

Kuraih koran yang tergeletak di sampingku. Kubaca lagi nama-nama yang lulus dengan perasaan bercampur aduk. Alangkah beruntungnya mereka. Iseng, kucari nama kenalanku saat ujian SPMB, sekadar menghibur diriku. Kucari dengan teliti. Tapi tak kutemukan juga namanya dan… Allahu Akbar! Kukucek-kucek mataku. Aku tidak buta. Itu namaku! Aku menemukan namaku! ARDIANTO, Kedokteran. Kenapa tadi tidak ada kulihat, batinku. Aku langsung sujud syukur saat itu juga.

“Bang! Aku lulus, Bang!” jeritku sambil melonjak-lonjak kegirangan, dan mengundang perhatian seorang gadis yang sedang membeli koran. Bang Bently berlari menghampiriku dan langsung memelukku erat.

“Ini, Bang. Ini namaku! Sepertinya tadi terselip rupanya,” tukasku sambil menunjuk namaku. Bang Bently menepuk-nepuk bahuku.

“Cepat Kau beri tahu Emakmu!” Aku mengangguk dan tersenyum bangga. Cuping hidungku mengembang.

Aku kembali menyeberangi jalan raya itu. Aku begitu gembira, sangat gembira. Tak kulihat lagi kiri dan kanan. Aku terus berlari.

“Anto!!” Emak yang sedang melayani seorang pembeli, menjerit memanggil namaku. Aku menghambur ke pelukan Emak, dan kupeluk Emak dengan sangat erat. Tapi, mengapa Emak melepaskanku?

“Mak!” panggilku. Emak tak menghiraukanku. Emak malah menangisi sesosok tubuh bersimbah darah. Tubuh itu sedang dikerumuni beberapa orang. Bang Bently dan Agus juga ada di situ. Juga menangis.

Tak jauh dariku, kulihat seseorang sedang berdiri memperhatikanku. Hey.. wajahnya mirip sekali denganku! Aku langsung teringat kalau aku pernah membaca sebuah buku yang dipinjamkan oleh Bang Aulia, ketua Rohis sewaktu aku masih SMA. Di buku itu dikatakan, sebelum sakratul maut tiba, Malaikat Izrail akan datang menemui kita dengan wajah mirip bahkan sama dengan kita.

Aku terhenyak. Diakah Izrail itu? Dia sedang tersenyum padaku, dan tangannya tiba-tiba memegang tanganku dan mengajak pergi. Tidak! Aku belum mau pergi! Aku belum membahagiakan Emak dan Agus. Aku meronta. Tapi dia tak melepaskan aku dan kurasakan tubuhku terasa ringan sekali. Aku terbang. Perlahan, kucium harum semerbak. Harum surgakah? Ketika ku menengadah, kulihat Bapak tersenyum dan melambaikan tangan.

***

Binjai, 8 Agustus 2007

Baca: Cerpen Eri Setiawan: Matinya Seorang Dukun

Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews