(Kumpulan Puisi Kematian Setelah Hujan) Hujan Kenangan

Bang Long

Bismillah,
Kenangan bukan semata indah, bahagia, atau sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang berbekas luka, duka, pilu, jelek, atau sesuatu yang tidak menyenangkan pun bisa menjadi kenangan. Indah atau tidaknya suatu peristiwa kehidupan, seiring perjalanan waktu, peristiwa itu menjadi masa lalu. Peristiwa masa lalu itulah yang melekat dalam memori kita sehingga menjadi hujan kenangan. Seperti hujan, kenangan itu suatu waktu akan berulang dalam kehidupan kita. Tanda kita sadari, hujan dan kenangan menjadi sahabat dekat dan kuat dalam memori. Tere Liye melanjutkan, kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun? Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika ia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana menghentikan tetesan air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu hingga selesai dengan sendirinya.

Kenangan bisa muncul pada peristiwa apa saja secara tiba-tiba. Pada kekasih, sahabat, musuh, atau apa pun, kenangan akan menjadi bermakna. Kenangan adalah bagian dari kehidupan kita. Sastrawan Indonesia, Si Burung Merak, W.S. Rendra (1935-2009) berkata, tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu. Aku bergerak menulis pamplet mempertahankan kehidupan. William Shakespeare (penulis dan dramawan Inggris, 1564-1616) mengingatkan agar kita jangan membebani kenangan kita dengan kesusahan yang telah berlalu.

Penulis Indonesia, M. Aan Mansyur mengatakan bahwa masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada, tetapi tidak tahu jalan pulang. Untuk itu, ia menitipkan surat-kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan. Kemudian, Dewi Lestari berpandangan bahwa keheningan mengapung kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Sebelumnya, penulis dan pelukis Libanon-Amerika, Kahlil Gibran (1883-1931) mengatakan bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini. Besok adalah impian hari ini.

Ya, memang semua peristiwa bisa menjadi kenangan. Dalam karya sastra, kenangan tentang hujan menjadi konten utama bagi penyair. Begitu banyak penyair memilih diksi hujan sebagai konten puisinya. Sebut saja Sapardi Djoko Damono dengan puisi Hujan Bulan Juni. Ada puisi Lagu dalam Hujan karya Abdul Hadi WM. Acep Zamzam Noor menulis puisi Hujan Telah Reda. Boleh saya berpendapat bahwa karya sastra seperti puisi adalah kumpulan kenangan, baik positif maupun negatif yang singgah kuat pada memori penyair/penulisnya.

Alam bawah sadar penyair menggumpalkan kenangan itu menjadi puisi. Memorinya menumpahkan kenangan tersebut dan memungut kata-kata pilihan. Begitulah yang Hamba pahami setelah membaca kumpulan puisi Kematian Setelah Hujan (DotPlus Publisher, 2022). Muzaki, penyair muda Riau asal Bengkalis ini memiliki kenangan yang begitu membekas tentang diksi hujan dan kenangan. Dalam puisi Kenangan Jadi Cerita (h.1-2), Muzaki mengisahkan kenangan tentang seseorang yang disebutnya engkau, kenangan tentang laut, angin, pelangi. Juga kenangan tentang keraguan akan dirinya terhadap harumnya suatu pertemuan. Kegundahannya menjadi suatu kisah sebagai kenangan.

Puisi bertajuk Kenangan berkisah tentang seseorang yang disebut penyair sebagai kau yang menjauh. Kepergian kau telah melahirkan kenangan tentang tawa, tangis, sedih, canda, dan janji. Kenangan itu menjadi pelawan lupa dalam kehidupannya. Begitu hebatnya memori tentang sosok kau sehingga kenangan tersebut hadir melalui mimpi. Namun, kenangan tetaplah kenangan. Kenangan merupakan kenyataan yang sudah berlalu, bukan kenyataan yang berulang. Suatu kenangan seolah-olah melupakan atau menolak suatu kenyataan. Kau benar-benar tiada/ Dihidupku kembalilah (h.30-31).

Kenangan dan rindu tak dapat dilerai. Hakikat kenangan adalah ke(rindu)an. Karena merindukan sesuatu objek, semua memori bawah sadar kita mengapung dalam ingatan. ”Ya, alangkah indahnya masa kecil yang lalu. Kini aku menembangkan keindahan dalam kenangan-kenangan,” begitu kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Ke(rindu)an akan melahirkan kenangan-kenangan. Puisi Pesan Rindu (h.38) menghidupkan kenangan-kenangan tersebut. Terus terbayang dan terucap/ Rindu akan dirinya. Ungkapan ke(rindu)an itu pun terbaca dalam puisi Aku dan Bangku Kelas (h.39-40). Muzaki sebagai penyair mengundang kembali kenangannya dalam bentuk bayang-bayang seseorang/objek tertentu. Bayangmu terbias dalam mataku/ Selalu teringat canda tawa/ Di antara bangku kelas.

Rindu mengundang tunggu. Karena rindu, sekebat harapan selalu kita gantang agar menghadirkan kenangan. Penantian pada siapa dan apa pun itu, bagi penyair ini, telah melahirkan kekuatan untuk menerima berbagai kemungkinan. Berbagai kemungkinan tentang buah kerinduan itu dikisahkan Muzaki dalam puisi Mantra Kerinduan.
Sementara akan ada hari-hari lain
Akan ada orang lain
Akan ada perpisahan lain
Akan ada bidadari-bidadari lain
Akan ada pertemuan lain
Dan akan berakhir kelain kalinya (h.47).
Muzaki berkisah lagi tentang kenangan masa lalu dalam puisi Bayangan Senja. Penyair ini menceritakan bagaimana peristiwa masa lalu begitu banyak tersimpan: Banyak cerita yang tak dapat kuungkapkan/ Mereka bercerita masa yang berlalu. Namun, dia berkeinginan untuk terbebas dari semua masa lalu: Lihat bayangan diriku/ Lepaskan semua yang berlalu. Dalam puisi ini, kita dapat memahami dengan jelas bahwa penyair berkeinginan terbebas dari pasung masa lalu yang kelam. Penyair menancapkan tekad untuk sesuatu yang lebih baik: Tapakkan kaki, melangkah/ Tembus gelap itu (h.62).

Ternyata, hujan pun menghadirkan kenangan tentang kematian. Puisi Kematian Setelah Hujan menghadirkan kenangan penyair ketika menunggu hujan reda begitu lama. Sosok perempuan misteri dalam dingin hujan menghidangkan nyanyian mencekam. Penyair sebagai akulirik mengisahkan pengalaman dirinya ketika bersama perempuan misteri itu. Perempuan tersebut bernyanyi sebagai pengantar kepergian lelakinya: Ku tak akan menangis ketika dia pulang/ Lihatlah itu, seorang lelaki bersujud/ Ia tak bangkit lagi/ Biarkan ia pergi, dia lelakimu. Tentu saja ini suatu kepulangan yang indah ketika bersujud. Hujan sebagai tanda keberkahan bagi kematian manusia. Seperti keindahan alam setelah hujan siang, muncul pelangi yang indah dalam puisi Sehabis Hujan (h.59).

Muzaki menghadirkan puisinya dengan diksi-diksi sederhana. Diksi-diksi sederhana itu dirajutnya secara sederhana pula dalam bentuk puisi. Semua ungkapan puitisnya merupakan sebagian besar kenangan-kenangan ketika masih duduk di bangku SMA. Dia mencurahkan begitu saja kata-kata tersebut dalam rangkaian bermakna. Larik-larik puisinya pun terkadang seperti bahasa sehari-hari yang cukup mudah untuk kita pahami.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, 30 Rajab 1444 / 21 Februari 2023

Baca: SyaGu ITali, Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Ketiga/Terakhir)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews