Bismillah,
KARYA sastra merupakan cerminan nilai-nilai kehidupan yang kompleks dan beragam. Melalui berbagai jenis nilai yang terkandung di dalamnya, sastra dapat memberikan wawasan, refleksi, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan, baik individu maupun entitas. Karya sastra memiliki peran penting dalam mencerminkan dan menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Para ahli sastra mengidentifikasi berbagai jenis nilai yang sering terkandung dalam karya sastra. Nilai-nilai tersebut dapat memberikan tunjuk ajar tentang kehidupan manusia. Siang menjadi tongkat, malam menjadi suluh. Menurut Surastina dalam Basastra: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, sastra atau kesusastraan merupakan wujud dari pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai bentuk manifestasi atau perwujudan dari kehidupan manusia dalam masyarakat. Segala peristiwa maupun kondisi suatu masyarakat, dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Hal senada disampaikan Pradopo bahwa karya sastra tidak dapat hadir dalam kekosongan budaya. Akan tetapi, karya sastra hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil dari imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala sosial yang ada di sekitarnya (Vol. 11, No. 2, Oktober 2023, Hal 512 ̶ 525 ISSN 2302-6405 (print) dan ISSN 2714-9765). Jelaslah bahwa karya sastra dan masyarakat—apapun genrenya—ibarat daging dan tulang yang sudah mendarah daging. Walaupun imajinatif, karya sastra lahir dari lingkungan ekstrinsik sosial penulisnya. Karena itu, karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat.
Endraswara (2013:9) menjelaskan bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan refleksi kehidupan manusia lengkap dengan budayanya. Manusia adalah pencipta sekaligus perilaku budaya. Kemahiran manusia mengelola imajinasi dapat melahirkan bermacam-macam budaya yang dilukiskan melalui karya sastra. Selanjutnya, Emzir dan Rohman (2017:114) mengatakan bahwa sebagai dokumen sosial, karya sastra menjadi rekam jejak yang mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya sastra itu diciptakan.
Hassan Shadily mendefinisikan fenomena sosial sebagai kenyataan mengenai masyarakat yang merangkumi ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala segi kehidupannya (dalam Hawa, 2013). Segala segi kehidupan inilah yang merecup hidup di tangan penulis sehingga melahirkan karya sastra seperti novel sebagai wadah pengisahan. Pengisahan seperti ini merupakan suatu tamadun tersendiri bagi bangsa Melayu.
Novel Jalan Pulang (Dotplus, 2023) karya Marzuli Ridwan Al-bantany merupakan suatu karya yang mencerminkan nilai-nilai tamadun Melayu. Beragam fenomena sosial, deskripsi dramatik, pelestarian budaya, kerenah perangai, aspek religiusitas, kebiasaan, dan ilmu pengetahuan menjadi perhatian Marzuli sebagai penulis. Beliau meramu dan membungkus ragam realita kehidupan manusia tersebut sebagai jejak tamadun Melayu sebagai suatu matlamat sebenarnya dalam menjalani kehidupan. Sebagai penulis, Marzuli tak ubahnya seperti sutradara yang mengarahkan pembaca untuk membaca secara rinci setiap adegan. Hal ini sesuai dengan penjelasan bahwa dalam karya sastra bergenre novel, misalnya, si penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut (Hawa, 2013:21-22). Supriyadi (2016:30) menambahkan, novel sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus.
Paling tidak, Marzuli menghidangkan dua makna melalui judul novelnya ini. Pertama, frasa jalan pulang sebagai makna harfiah (denotatif). Sebagai makna harfiah, Jalan Pulang mengisahkan kepulangan tokoh Haris yang membawa Nisa (isterinya) ke kampung halaman dan kembalinya Nisa kepada Ibunya di Jakarta setelah suaminya berpulang. Kedua, frasa jalan pulang sebagai makna kiasan (konotasi). Sebagai makna kiasan, Jalan Pulang mengisahkan tentang berpulangnya tokoh Haris (suami Nisa) dan tokoh Sumitro (Abahnya Nisa) ke hadapan Sang Pencipta. Hidangan judul yang bermakna ini membuktikan bahwa Marzuli memahami betapa pentingnya dalam memilih dan menentukan judul novelnya. Memilih dan menetapkan judul sangat penting karena merupakan gambaran isinya. Selain itu, judul yang bagus selalu mampu mengajuk emosi dan rasa ingin tahu pembaca.
Marzuli menghadirkan kejutan atau tegangan (suspense) dalam novel Jalan Pulang. Melalui kejutan itu, dia meramu kesedihan dan kebahagiaan, kesulitan hidup dan perjuangan, kenangan hidup bersama orang tua dan tanpa orang tua, kehilangan orang yang dicintai, dan sebagainya. Suharianto menjelaskan, suspense atau tegangan ialah bagian cerita yang membuat kita sebagai pembacanya terangsang untuk melanjutkan pembacaannya. Keinginan tersebut muncul karena pengarang seakan-akan menjanjikan kita sebagai pembacanya akan menemukan sesuatu yang diharapkan oleh pembaca atau sesuatu jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang singgah dibenak kita waktu membaca bagian sebelumnya (2005:23). Kejutan itu pun didukung oleh alur bolak-balik (flashback) yang kuat dan berulang dalam novel tersebut.
Jalan Pulang mengisahkan realitas sosial kehidupan yang berteraskan tamadun Melayu. Ini bukti wujud kepekaan penulis dalam memandang isu sosial di lingkungan sekitarnya. Sasmika dkk berpendapat bahwa pengarang menghasilkan karya sastra tidak hanya untuk mengekspresikan jiwa melainkan sebagai cerminan masyarakat dalam kehidupan. Penggambaran realitas kehidupan sosial di masyarakat dalam karya sastra dapat berupa representasi dari kriminalitas seperti pencurian, kekerasan, hingga pembunuhan. Selain itu, ada juga mengenai penderitaan, putus asa, kebahagiaan, dan isu sosial lainnya (2022). Representasi seperti inilah yang juga digambarkan penulis dalam novelnya. Kita diajuk dengan perselisihan antara tokoh Haris dan Leman yang menghadirkan konflik fisik dan batin. Konflik seperti ini menjelaskan kaitan antara manusia dengan kondisi sosial sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Perangai, peristiwa, dan karakter tokoh diramu dalam kisah rekaan yang menjadi inspirasi penciptaan. Imam mengatakan kehidupan dan realitas yang ada dalam karya sastra memiliki cakupan hubungan antara manusia dengan keadaan sosial yang menjadi inspirasi penciptaan. Karya sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat karena dalam penceritaannya mengandung perilaku, kisah, dan karakter yang sama dengan masyarakat di kehidupan nyata (2017: 127). Hal itu juga disampaikan Harun dkk bahwa karya sastra mengungkap tentang segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia secara faktual. Pengarang merekam, mengamati, dan menghayati kehidupan masyarakat di sekitar kemudian melukiskan segala yang dipandang dengan penambahan imajinasi sehingga tercipta karya sastra yang dapat merepresentasikan kehidupan nyata (2022: 467).
Abrams dikutip Pradopo mengungkapkan bahwa karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Artinya, karya sastra telah menjadi manifestasi dari keadaan saat karya sastra itu diciptakan. Dengan demikian, karya sastra dapat menjadi salah satu sarana bagi pembaca (khususnya sejarawan) untuk mengungkap peradaban (2017:52).
Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa karya sastra mengandung nilai-nilai tamadun (peradaban). Karya sastra itu sendiri merupakan peradaban. Menurut Koentjaraningrat, istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah dan peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks (2015:146). Ada beberapa manifestasi tamadun Melayu yang dituang MRA dalam novel Jalan Pulang.
Pertama, manifestasi untuk mencapai kehidupan yang bermarwah. Sosok orang tua sangat berpengaruh dalam merancang masa depan anak. Orang tua berperanan penting dalam membentuk karakter anak sebab orang tua merupakan contoh pertama dan utama dalam perjalanan pendidikan anaknya. Tokoh Maimunah dalam novel ini ikut andil dalam perjuangan Haris, anaknya. Kita bisa memahami bagaimana Maimunah memperjuangkan agar anaknya menuntut ilmu. Dalam tamadun Melayu, orang yang menuntut ilmu akan memperoleh kualitas marwah dalam kehidupan. Di samping peranan orang tua, Haris sebagai generasi muda pun memiliki manifestasi yang kuat dalam perjuangan menuntut ilmu. Kekuatan tekad anak (Haris) sangat terpaut dengan kekuatan tekad dan nilai kebijaksanaan dari didikan orang tua. Dalam novel ini, MRA menulis, ”Haris memahami benar bahwa ilmu adalah sesuatu yang tidak ternilai harganya. Kata almarhum Ayah,ilmu itu laksana pelita yang dapat menjadi penyuluh ketika seseorang dalam kegelapan. Sepanjang ilmu yang dituntut baik dan diridai Tuhan, maka suatu saat nanti ilmu itu akan bermanfaat bagi diri penuntutnya, menuntun dirinya, dan termasuk orang-orang lain yang ada di sekitarnya,” (2023:20). Kekuatan tekad dan kebijaksanaan orang tua laksana nutrisi batin yang mampu menyokong kekuatan tekad anak dalam berjuang. Tunjuk Ajar Melayu menegaskan bahwa sebaik-baik manusia, banyak ilmunya. Seburuk-buruk manusia, yang buta keta. Mulia insan karena pengetahuan, hina orang ilmunya kurang. Apa tanda Melayu bertuah, menuntut ilmu tiada lengah. Apa tanda Melayu bertuah, menuntut ilmu tekun dan tabah. Apa tanda Melayu bertuah, menuntut ilmu tahan bersusah (1994:95).
Kedua, manifestasi jatidiri. Keberadaan jatidiri sangat penting. Secara tradisional, jatidiri Melayu dijaga secara melalui sosialisasi lisan turun-temurun. Orang tua, alim ulama, dan tokoh adat (masyarakat) menyampaikan nilai-nilai jatidiri Melayu dari mulut ke mulut. Di antara jatidiri yang (mesti) dipertahankan bangsa ini adalah pemberian nama pada anak. Di samping itu, penamaan geografis suatu wilayah pun berorientasi pada nilai-nilai jatidiri. Penamaan anak dan geografis ini merupakan matlamat kearifan lokal Melayu. MRA termasuk penulis yang merawat kearifan tersebut melalui penamaan diri dan penggunaan nama tempat/georafis dalam novelnya tersebut. Nama tokoh seperti Maimunah, Haris, Nisa (Annisa) merupakan upaya merawat jatidiri Melayu melalui penamaan diri tokoh. Selanjutnya, MRA juga merawat penamaan geografis dengan menyuguhkan latar tempat berupa nama-nama geografis Melayu seperti di Bengkalis (dan beberapa desanya).
Ketiga, manifestasi budaya. Nurgiyantoro menyatakan bahwa karya-karya fiksi Indonesia, sejak awal kebangkitannya sampai yang mutakhir pada umumnya mengandung tema-tema sosial budaya (2010:81). Novel Jalan Pulang merupakan karya sastra yang mengangkat tema tersebut. Aspek sosio-budaya dalam novel karya MRA ini berkaitan dengan sastra yang mengangkat unsur gastronomis, pakaian, dan arsitektur. Namun, melalui novelnya ini, MRA baru melakukan tahap pengenalan awal dan sekilas pandang terhadap aspek gastronomis, pakaian, dan arsitektur Melayu. Selain itu, dalam kaitan interaksi manifestasi budaya dalam tamadun Melayu, novel ini juga mengetengahkan memperkenalkan budaya tujuh likur, kenduri selamat, dan kenduri nujuh bulan. Secara umum, filosofi manifestasi budaya Melayu ini ingin mendeskripsikan betapa pentingnya mempertahankan nilai-nilai luhur tersebut untuk mengekang terpaan gelombang budaya asing yang kian masif. Sepertinya, MRA ingin memperkenalkan kepada generasi muda bahwa nilai-nilai tamadun dalam budaya Melayu lebih bermarwah daripada latah dan bangga dengan budaya asing.
Keempat, manifestasi penghargaan dan penghormatan. Eksistensi suatu penghargaan (rasa menghargai) dan penghormatan (rasa menghormati) sangat perlu dalam perangai berkehidupan. Penghargaan dan penghormatan merupakan bentuk ketaatan terhadap orang tua atau orang yang lebih tua. Selain itu, perangai ini berkelindan juga dengan elok budi, kasih sayang, kesetiakawanan sosial, dan perwujudan keluarga bahagia. Sikap berbakti kepada orang tua ini dapat kita pelajari dari tokoh Haris, Nisa,dan Zainab. Mereka tidak hanya berbakti kepada orang tua, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Tunjuk Ajar Melayu menjelaskan, apa tanda Melayu jati, kepada Ibu Bapa ia berbakti. Apa tanda Melayu bertuah, kepada orang tuanya tiada menyalah (199:2).
Kelima, manifestasi karakter penuh dedikasi dalam melaksanakan tugas. Tekad Haris dan kawan-kawan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sekitar merupakan suatu bukti bahwa kita semestinya berfaedah bagi orang lain. MRA menggambarkan secara dramatikbagaimana profesi dokter yang diemban Haris benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawabnya meskipun berbagai rintangan dihadapi. Tunjuk Ajar Melayu pun menegaskan, apa tanda Melayu jati, bekerja karena kesadaran diri. Apa tanda Melayu jati, bekerja keras karena lillah. Apa tanda Melayu jati, menunaikan tugas tiada lengah (199:135). Apa yang dilakukan tokoh Haris dalam novel ini memperlihatkan karakter penuh bertanggung jawab. Jatidiri bertanggung jawab merupakan perangai yang sudah mendarah daging bagi bangsa Melayu. Hal ini sesuai pula dengan Tunjuk Ajar Melayu yang menegaskan, apa tanda Melayu jati, bertanggung jawab sampai ke mati. Apa tanda Melayu jati, bertanggung jawab pakaian diri (199:182).
Keenam, manifestasi kesantunan dan kesopanan dalam kehidupan. Manifestasi ini juga merupakan cerminan dari setiap karakter tokoh dalam novel dengan beragam perangainya. Bukan hanya gambaran kesantunan dan kesopanan anak(generasi muda) terhadap orang tua, tetapi juga kesantunan dan kesopanan orang tua terhadap anak (generasi muda). Inilah deskripsi betapa krusialnya kesantunan dan kesopanan dalam interaksi sosial. Buku Pendidikan Budaya Melayu Riau menjelaskan, santun atau adab bagi orang Melayu merupakan pertaruhan dan mahkota dalam pergaulan sosial. Raja Ali Haji (1809-1873) menulis dalam bukunya Bustan al-Katibin (Taman para Penulis, 1267 H/1850 M), adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan (2018:71).
Peristiwa dalam novel ini dijalin oleh MRA dengan beragam konflik. Selain konflik pertikaian antara Haris dan Leman, juga konflik batin antara Haris dan Kalsum, teman di kampung yang mencintainya. Namun, akhirnya jalan kisah Kalsum membentuk konflik tersendiri sebab terpaksa nikah dengan Leman karena utang orang tuanya. Di samping itu, MRA pun meramu konflik yang mengaduk emosi dengan mematikan tokoh penting, yaitu Haris dalam suatu kemalangan jalan raya (Tol Pekanbaru-Dumai) dan kematian calon ayah mertuanya (juga dalam kemalangan di jalan raya) di saat hari wisuda Haris dan Nisa. Konflik lain muncul di akhir cerita melalui tokoh Nisa yang terpaksa kembali ke rumah Ibunya di Jakarta dan meninggalkan emak Haris, Maimunah di kampung halamannya. Semoga novel ini memberikan ibrah yang penuh faedah.***
Alhamdulillah.
Bengkalis, 14 Syawal 1446 H / 13 April 2025