JIKA mendengar atau membaca istilah novel dan sejarah, kita tentu berpikir dua hal yang berbeda. Memang benar, novel dan sejarah merupakan dua hal yang tidak sama. Novel sebagai karya fiksi atau prosa rekaan. Wahyudi Siswanto mengatakan, karya sastra yang berwujud prosa diciptakan dengan bahan gabungan antara kenyataan dan khayalan. Banyak karya sastra lahir dari ide yang berawal dari kenyataan. Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto menambahkan bahwa prosa rekaan merupakan kisahan atau cerita yang diemban pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar, serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolah dari hasil imajinasi pengarangnya (dan kenyataan) sehingga menjalin suatu cerita . Sementara itu, sejarah ditahbiskan sebagai karya yang telah dibuktikan, mengandung fakta, rasional, dan memiliki tarikh tertentu. Taufik Abdullah menerangkan bahwa sejarah menyertakan aspek jangka waktu tertentu. Sejarah diartikan sebagai Tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu . Muhd, Yusof Ibrahim pula menjelaskan bahwa sejarah itu benar-benar terjadi dan perlu juga dipersoal tentang pentingnya peristiwa itu dalam kaitannya dengan masyarakat tempatan, dengan suatu institusi, atau dengan kerajaan.
Meskipun tidak sama, novel dan sejarah mempunyai benang merah, yaitu mengandung peristiwa, tokoh, latar, dan konflik dahsyat yang mengusik pikiran dan jiwa. Tersebab adanya keinginan agar generasi muda lebih menyukai sejarah, maka lahirlah konsep novel sejarah. Belajar sejarah melalui karya sastra. Mohamad Saleeh Rahamad menegaskan bahwa ada pertalian antara novel sebagai karya fiksi dan sejarah walaupun secara umum terpisah jauh . Pertalian itu di antaranya adalah pengungkapan realisme, yaitu kisah manusia di dunia nyata . Realisme dalam sejarah berdasarkan fakta sebenar sedangkan relaisme dalam novel berdasarkan rekaan atau imajinasi pengarangnya . Meneroka novel sejarah bukan pekerjaan mudah. Selain riset kepustakaan, riset lapangan pun sangat diperlukan. Penulis novel sejarah tentu harus memiliki kemauan, ketekunan, minat, dan ketelitian tentang materi sejarah yang menjadi landasan penulisan novel. Untuk Indonesia, ada beberapa novel sejarah yang ditulis oleh beberapa penulis hebat. Leila S. Chudori menulis Laut Bercerita, Ratih Kumala menulis Gadis Kretek, Laksmi Pamuntjak menulis Amba, Ahmad Tohari menulis Orang-Orang Proyek dan Ronggeng Dukuh Paruk. Pramoedya Ananta Toer menulis Tetralogi Buru. Di antara beberapa nama lain lagi, sastrawan Indonesia dari Riau dan Kepulauan Riau (Kepri), Rida K. Liamsi sangat lihai meneroka novel sejarah yang mengisahkan kearifan lokal bangsa Melayu. Penulis asal Kabupaten Lingga, Kepri ini menulis novel sejarah Bulang Cahaya (2007), Megat (2016), Mahmud Sang Pembangkang (2017), Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang (2019), Hamidah (2021), dan Lanun Alang Tiga (2023).
Novel sejarah Lanun Alang Tiga (LAT) diluncurkan pada 22 Mei 2023 di Gedung Lembaga Adat Melayu, Daik Lingga, Kepri. Novel selalu menghidangkan banyak hal. Apabila dihayati benar-benar, pengetahuan kita akan bertambah. Sebagai karya sastra, novel juga dapat diartikan sebagai alat atau sarana untuk mengajar. karena mengandung beragam informasi. Novel mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata. Bahkan, tidak sedikit novel membaur dengan sejarah. Unsur pembangun novel dipadukan sehingga kisah yang disampaikan menjadi hidup di hadapan pembaca. Novel dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi pembaca. Novel LAT merupakan satu di antaranya. Setelah membaca novel ini, saya langsung mengeksplorasi pesona Pulau Alang Tiga yang selama ini belum pernah saya ketahui. Memang eksotis seperti deskripsi dalam novel! Deskripsi dramatik dalam novel ini menggambarkan suatu fakta dengan beragam peristiwa mengusik jiwa. Paling tidak, ada tiga peristiwa mendasar dalam novel ini yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini. Ketiga hal tersebut, yaitu nasionalisme, patriotisme, dan cinta.
Nasionalisme merupakan suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan, dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa . Dad Murniah menambahkan, hal ini dapat dimaknai bahwa nasionalisme adalah sikap atau perilaku yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk tindakan untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan . Nasionalisme dilihat sebagai konsep alamiah yang berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie. Melalui novel Lanun Alang Tiga (selanjutnya saya sebut LAT), kita diperkenalkan dengan beberapa persoalan penting. Pertama, konsep kekerabatan biologis suatu bangsa. Dalam hal ini, kita dituntun berpetualang menelusuri suatu keturunan bangsa Iranun, Melayu, dan Bugis yang pada dasarnya merupakan rumpun bangsa Melayu sejak masa lampau hingga saat ini. Kita pahami dalam narasi dan dialog tokoh dalam novel banyak membahas kait-kelindan kekerabatan biologis sebagai dasar nasionalisme. Kedua, konsep kelompok sosial (bangsa Melayu Raya) yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Kelompok sosial (bangsa Iranun dan kaum penguasa/kerajaan) disatukan dengan kearifan budaya sehingga memunculkan api nasionalisme yang menyala untuk melawan penjajahan. Kita bisa memahaminya melalui beberapa penggunaan bahasa dan budaya bangsa Iranun seperti nyanyian atau puisi sebagai simbolis suatu bangsa. Ketiga, adanya suatu kesadaran kepemilikan suatu bangsa dan tanah air melalui perjuangan tokoh-tokoh kerajaan dan bangsa Iranun. Nilai nasionalisme dalam novel LAT tersebut meliputi (1) cinta tanah air berupa perduli, kesetiaan dan pengabdian, (2) rela berkorban berupa pengorbanan waktu/tenaga, pengorban pemikiran, dan pengorbanan materi,(3) solidaritas yang berupa kerjasama dan membangun tali silaturrahmi. Nasionalisme yang dapat kita maknai dalam LAT ini adalah bagaimana penulisnya menumbuhkan kesadaran memiliki bangsa (Melayu) yang begitu agung. Kesadaran kepemilikan tanah air inilah yang melahirkan gerakan-gerakan untuk menentang berbagai penindasan atau penjajahan. Sisi lain melalui novel ini, Rida K. Liamsi juga melakarkan bagaimana pertikaian dalam sistem kerajaan Melayu yang saling berebut kekuasaan. Seperti halnya tema cinta, perebutan kekuasaan menjadi tema utama dalam novel ini, baik dalam sistem kerajaan Melayu maupun dari sisi penjajahan. Dalam setiap perebutan kekuasaan, kita bisa memastikan pasti akan terjadi perlawanan. Penjajah Belanda berhadapan dengan penguasa Melayu yang nasionalis. Rida ingin menegaskan bahwa kolonialis akan selalu mendapat perlawanan dari pribumi. Tentu saja novel LAT ini berkaitan pula dengan patriotisme.
Patriotisme merupakan sikap dan perilaku seseorang yang dilakukan dengan penuh semangat, rela berkorban untuk kemerdekaan, kemajuan, kejayaan, dan kemakmuran bangsa . Patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya . Patriotisme juga dapat disebut sebagai bela negara dalam upaya mempertahankan eksistensi kedaulatan suatu bangsa dan atau negara. Lebih jauh lagi Andrianto mengatakan bahwa sikap bela negara merupakan suatu tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut dengan dilandasi kecintaan terhadap tanah air. Kesadaran bela negara pada hakikatnya merupakan kesediaan setiap warga negara untuk mau berbakti kepada negara dan kesediaan berkorban untuk membela negara .
Indikasi patriotisme dapat kita temukan pada penokohan sentral novel LAT. Tokoh sentral novel ini saya kelompokkan dalam dua bagian. Pertama, tokoh sejarah kerajaan di antaranya Tengku Yahya, Sultan Mahmud Muzaffar Syah, Tok Lukus, dan Panglima Besar Tengku Sulong. Persebatian keturunan Kerajaan Siak dan darah bangsa Iranun ini memunculkan semangat patriotisme yang tak bisa dipadamkan oleh siapa pun. Kedua, tokoh kekinian yang bersemangat juang petualang merentasi susur-galur silsilah kerajaan dan bangsa Melayu, termasuk Iranun. Tokoh kekinian ini di antaranya Nadin, Prof. Kazai (dugaan saya diambil dari nama wartawan, penulis, dan sastrawan Indonesia asal Pelalawan, Riau, Kazzaini Ks), dan Mustam (dugaan saya diambil dari nama wartawan, penulis, dan sastrawan Indonesia asal Inderagiri Hilir (Inhil), Riau, Moesthamir Thalib). Rida sengaja mengambil nama-nama tersebut sebagai tokoh karena mereka pun memiliki darah Iranun Tempasuk atau Melayu Timur di wilayah Inhil. Perangai tokoh-tokoh dalam novel ini terus membara. Semangat tokoh bagian pertama menggelorakan perjuangan untuk kedaulatan Kerajaan Melayu. Semangat tokoh kekinian mengembarakan semangat pengetahuan sejarah. Ini suatu bukti bahwa para tokoh tersebut memiliki kecintaan dengan aspek kultural, termasuk mencintai seni budaya. Selain itu, para tokoh tersebut memiliki sikap rela berkorban, memiliki rasa kebaktian yang ikhlas. Sikap seperti ini merupakan sikap patriotisme. Rianto dan Firmansyah menegaskan bahwa sikap rela berkorban merupakan sikapnya seorang pahlawan yang ikhlas memberikan sesuatu (tenaga, harta, atau pemikiran) untuk kepentingan semua orang atau masyarakat, walaupun sikap rela berkorban akan menimbulkan cobaan dan penderitaan bagi dirinya sendiri. Patriotisme para tokoh dalam novel ini tentu saja memiliki karakter masih-masih walaupun di beberapa segmen memiliki kesamaan. Pola tingkah laku para tokoh dapat kita kaitkan dengan wataknya sebagai semangat juang. Hal ini sesuai dengan penjelasan bahwa untuk membangun watak dengan landasan tingkah laku, penting dilakukan pengamatan yang rinci berbagai peristiwa dalam alur. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat mencerminkan watak, kondisi emosi, atau psikis tokoh serta nilai-nilai yang ditampilkan . Nilai-nilai patriotisme novel LAT disuguhkan Rida melalui pola tingkah laku para tokohnya, baik fisik maupun psikis. Petualangan atau pengembaraan, perang, dan perkelahian merupakan pola tingkah laku fisik. Pola pikir dan semangat juang dari para tokoh merupakan pola tingkah laku psikis. Kedua pola tingkah laku ini menyokong tumbuhnya nilai-nilai patriotisme. Rida menyelimuti semua pola tingkah laku ini dengan getaran-getaran cinta dan harga diri.
Ada apa dengan cinta dan harga diri dalam novel ini? Cinta dan harga diri merupakan bagian dari kebutuhan manusia sebagai perwujudan eksistensi diri. Upaya untuk menggapai dan mempertahankan cinta dan harga diri tecermin dalam sikap tokoh. Cinta dan harga diri berkaitan dengan aspek psikologi, tentu saja kajian psikologi sastra. Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk kesadaran (conscious). Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadangkala merasakan dirinya terlibat dalam cerita .
Cinta bukan hanya berkaitan dengan hubungan dua orang atau lebih. Cinta bisa juga berkaitan dengan sikap atau orientasi karakter. Orientasi karakter ini bisa menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan. Penggambaran cinta dalam LAT tercermin dalam dua masa. Pertama, percintaan tokoh sejarah, yaitu Tok Lukus dan Tengku Maimunah. Kedua, percintaan tokoh terkini, yaitu Nadin dan Haini, Nadin dan Tengku Julia, serta Awi dan Julia. Percintaan Tok Lukus dan Tengku Maimunah merupakan cinta persaudaraan. Namun, pernikahan antara tokoh sejarah ini bukan semata karena cinta kedua tokoh, tetapi jika dilihat dari tokoh Tengku Yahya juga karena ada niat untuk mengokohkan kembali kekuasaannya yang hilang. Percintaan tokoh terkini pun merupakan percintaan persaudaraan, tetapi juga mengandung aspek erotis. Dalam percintaan tokoh terkini, Rida mengacaukan pembaca dengan mengaduk-aduk konflik antartokoh, termasuk tokoh orang tua Julia, yaitu Ami Mat. Namun, ada pesan penting sebenarnya ingin disampaikan Rida, yaitu penyatuan dunia Melayu melalui pernikahan sah, yaitu antara keturunan raja dan bukan keturunan raja atau antara keturunan Arab dan bukan keturunan Arab. Pesan bahwa Melayu harus bersatu sangat kental dalam novel ini. Selain itu, ketertarikan Nadin, Kazai, dan Mustam dalam menelusuri silsilah bangsa Iranun pun merupakan konsep cinta persaudaraan. Cinta persaudaraan merupakan konsep cinta paling fundamental. Yang dimaksud dengan cinta persaudaraan adalah rasa bertanggung jawab, perhatian, hormat, pengetahuan sesama manusia, keinginan untuk memajukan hidupnya. Cinta persaudaraan adalah cinta untuk seluruh umat manusia; cirinya, tak banyak eksklusivitas. Dalam cinta persaudaraan hadir perasaan bersatu dengan seluruh manusia, solidaritas sesama, kesatuan manusia . Rida pun menulis novel ini—sadar atau tidak– dalam rangka rasa cinta persaudaraan, cinta dengan bangsa ini.
Novel LAT merupakan kesadaran Rida untuk membangkitkan kembali persatuan Melayu. Dengan segenap pikiran, perasaan, dan kepekaannya terhadap sejarah Melayu, Rida membungkusnya sebagai oleh-oleh nasionalisme, patriotisme, dan cinta dengan bangsa Melayu. Inilah realitas kehidupan pengarang yang digaul dengan realitas kehidupannya. Novel ini bisa dikatakan sebagai perjalanan meretas sejarah Iranun serta peranan Iranun dalam perjuangan dan persatuan (h.24). Kita akan menemukan sejarah Kerajaan Inderagiri (h.40-41) dan sejarah kedatangan Iranun ke jazirah Melayu (h.43-44). Sepanjang petualangan, pembaca seperti dibawa Rida dalam pengetahuan geografis yang sempurna tentang Pulau Alang Tiga dan sekitarnya. Gambaran geografisnya sangat rinci. Ini tentu saja berkaitan dengan latar Rida sebagai warga tempatan. Beberapa referensi yang ditulis dalam narasi novel ini memperkuat sumber kepustakaan historis.
Melalui novel ini, Rida juga tetap memperlihatkan pikiran kritisnya. Tentang perpecahan bangsa Melayu, pengkhianatan dalam kerajaan, sengketa dan perebutan kekuasaan menjadi modal dasar.
”Mungkin ada yang membocorkan rahasia itu. Pengkhianatan itu ada di mana-mana dan bila-bila saja,” kata Tok Lukus (h.149).
Tokoh pers ini pun mengkritisi dunia pers yang jarang menempatkan masalah budaya dan selalu mengutamakan masalah politik dan bisnis. Rida pun menggambarkan kondisi dunia pendidikan di kampung yang selalu tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Kendatipun demikian, novel ini mengetengahkan nilai-nilai perjuangan, persatuan, dan cinta tanah air yang dahsyat. Rida menggambarkannya melalui persatuan Raja Mahmud Muzaffar Syah dan Panglima Besar Sulong serta persebatian antara Tengku Yahya dan Tok Lukus. Persatuan ini sekaligus menjernihkan stigma tentang lanun, bajak laut, atau bangsa Iranun. Stigma ini tentu saja digemakan oleh bangsa penjajah.
”Menjadi lanun itu bukan pekerjaan hina. Ananda melakukannya karena ada tugas dan tanggung jawab untuk mempertahankan harkat martabat kita bangsa Melayu. Yang Ananda lanun adalah kapal-kapal dagang bangsa asing, bangsa penjajah, dan yang lebih penting bagi Ayahanda, Ananda ini orang berbangsa juga,”(h.237).
Nasionalisme, patriotisme, dan resa cinta telah disemai. Nama buruk lanun telah dijernihkan. Kita tinggal menunggu persatuan Melayu dalam peradaban yang sebenarnya.***
*) Penulis adalah Aparatur Sipil Negara yang bertugas di Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis.
Baca: Bahasa