Sirih

Bang Long

Bismillah,
Sejak kecil lagi, Hamba menyaksikan bagamana sirih dimanfaatkan. Emak dan Nenek menggunakannya untuk makan bakik. Bakik merupakan makanan tradisional kaum perempuan Melayu (Kepulauan Riau) yang bercampur dengan pinang, gambir, kapur, daun sirih, dan buah sirih. Hamba merasa aneh juga mengapa harus makan bakik? Rasanya tidak sedap. Namun, ternyata semua kandungan dalam bakik memiliki faedah yang tidak sedikit bagi kesehatan tubuh, terutama untuk kaum perempuan. Kita bisa mengecek dari berbagai sumber penelitian tentang kandungan sirih dan sebagainya yang tergabung dalam bakik.

Makan bakik ada yang menyebutnya makan sirih sudah menjadi suatu kebiasaan. Bahkan, daun sirih, bagi bangsa Melayu, sudah menjadi budaya yang mendarah daging. Sirih menjadi inti dalam budaya makan sirih. Tanpa sirih, maka budaya makan sirih tidak ada. Karena itu, jangan heran jika sirih menjadi tanaman khas masyarakat Melayu (Kepulauan Riau). Hamba ingat betul ketika Emak dan Nenek menanam sirih yang dililitkan pada batang pinang. Emak dan Nenek pun sengaja membuat panggar sebagai tempat sirih menjalar.

Dalam adat tepak sirih pun, sirih menjadi benda sentral untuk suatu simbol penghormatan. Jurnal Administrasi Publik dan Kebijakan (JAPK), Volume 3, Nomor 1 2023 menjelaskan bahwa simbol tepak sirih secara sosiologis tidak bisa dipisahkan dengan etnik Melayu. Simbol tepak sirih ini bukan saja sebagai simbol Melayu, tetapi lebih dari itu tepak sirih adalah sebagai kelengkapan adat (Juni 2023). Karena khasnya sirih, maka ada pula tari sirih dan sirih junjung. Sirih bukan sekedar tradisi, tetapi juga menjadi adat junjungan Melayu (nusantara).

Secara umum, tepak sirih merupakan lambang penghormatan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Bagi orang Melayu, sikap menghormati orang lain sudah menjadi keharusan. Penghormatan mestilah diberikan kepada sesiapa pun selama tidak bertentangan dengan marwah Melayu. Karena sebagai simbol penghormatan, tidak salah jika tepak sirih disuguhkan kepada seseorang sebagai sikap dasar bangsa Melayu yang bermarwah, halus budi, dan beradab. Sifat sirih yang merambat pun melambangkan interaksi sosial bangsa Melayu yang harmonis hidup berdampingan. Keberadaannya memperelok penampilan. Sirih pun menyimbolkan kehidupan yang sejuk dan nyaman.

Dalam keluarga ini, hidup kita seikat bagai sirih, serumpun bagai serai, Emak mengingatkan sambil mengupas pinang dengan kacip. Adik-beradik dalam keluarga mestilah seiya-sekata. Bangsa Melayu itu seumpama adik-beradik yang tak putus bila di cencang.

Kalau berpikir, seputih bersih bagai kapur sirih.

Sering orang mengatakan bahwa bangsa Melayu berpecah-belah. Persatuannya kurang kuat. Tepak sirih sebagai simbol budaya Melayu semestinya membantah perkataan tersebut. Ragam peralatan tepak sirih menyatu dalam tepak molek sebagai simbol persatuan yang saling menguatkan. Bangsa Melayu seharusnya sepakat dan kuat dalam persatuan Melayu dari beragam segi kehidupan.
Sekebat bagai sirih, suara Nenek menggema di balik pintu dapur.

Tepak sirih sudah disuguhkan. Itulah tanda penghormatan dan marwah Melayu. Sirih pun sudah dicicipi atau dimakan. Itu juga sebagai tanda penghormatan dan marwah Melayu. Jika ada yang tak berkenan, begitulah adat kehidupan. Adat diisi, janji dilabuh. Adat diisi, lembaga dituang. Asalkan tidak menjadi alat teluk timbunan kapal.

Dalam adat Melayu tradisional, tepak sirih senantiasa ada di rumah. Tepak ini senantiasa disuguhkan kepada tamu yang datang. Namun, tradisi itu telah hilang. Tepak sirih hanya dikhususkan untuk acara tertentu. Selain sebagai lambang penghormatan, tepak sirih juga lambang kesantunan Melayu. Al Azhar mengatakan, dalam budaya Melayu, kesantunan berkaitan dengan persoalan aib/malu, adab, dan adat. Kesantunan sebagai suatu pertaruhan hidup Melayu sejati. Raja Ali Haji dalam Bustan al Katibin yang dikutip Al Azhar menjelaskan bahwa adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian baharulah pada kelakuan. Dalam hal kesantunan Melayu, Tenas Efendi mengatakan,

Berbuah kayu rindang daunnya
Bertuah Melayu terbilang santunnya

Elok kayu karena daunnya
Elok Melayu karena santunnya

Hamba hanya bisa berharap, sirih pulang ke gagang. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Rabu, 03 Rabiul Akhir 1445 / 18 Oktober 2023.

Baca:  Bang Long

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews