Tongkat Membawa Rebah

Bang Long

Bismillah,

Tanah air kita kaya. Bukan kaya dengan air mata. Jangan pula sampai menjadi Tanah Air Mata. Tanah kita pun subur permai. Namun, jangan pula tersebab kaya dan subur permai itu, menjadi penyebab kita Malu Jadi Orang Indonesia (MaJOI). Ingatkah kita dengan lirik lagu: Orang bilang tanah kita tanah surga / tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Kekayaan melimpah. Kesuburan dan keindahan yang sempurna. Dari lirik lagu itu, ada diksi tongkat kayu atau (tongkat) batu sebagai metafora dari kekuatan. Kekayaan, kesuburan, dan keindahan menjadi kekuatan tanah air kita di mata dunia.

Tongkat memang simbol kekuatan (power). Tongkat pun menjadi lambang penopang, pegangan, atau penyokong suatu benda. Ketika dipegang orang renta, tongkat menjadi penopang untuk berdiri dan bergerak. Tatkala untuk kediaman, tongkat memberikan kekuatan kedudukan rumah. Ketika dipegang oleh TNI, Kepolisian, atau Kejaksaan, tongkat menjadi simbol jabatan kesatuan dan kewilayahan suatu korp. Pun menjadi lambang kekuatan, kekuasaan, dan kharismatik.

Alkisah, di negeri antah berantah, bangunan berdiri dengan megah. Mulai dari pagar, dinding, atap, lantai, dan sebagainya dibangun dengan mewah juga. Di beberapa sudut dan sisi bangunan, terpasang ukiran lebah bergantung, kelok pakis, rebung, dan itik pulang petang dengan warna kuning dan coklat. Bangunan itu menjulang. Mewah dan megah itu adalah kesan kekayaan. Tentu saja rumah itu dibangun dengan kekayaan yang luar biasa. Tongkatnya adalah orang-orang besar dan terhormat yang ditancapkan dibagian bawah. Coba bayangkan, rumah itu duduk di atas kepala orang-orang besar dan terhormat itu.

Tubuh mereka sebagai tongkat. Kepala mereka sebagai tempat. Mereka dengan begitu mudah menggerak-gerakkan dan menggeser-geserkan bangunan megah dan mewah itu. Ke mana pun mereka hendak membawa, mereka akan mudah membawanya. Bagaikan mobil pribadi, orang-orang besar dan terhormat itu akan mudah menyetirnya. Semua isi dalam rumah itu pun, mereka yang mengawasinya. Pengawasan mereka bagai tajamnya mata dan cakar elang. Rumah mewah dan megah itu berputar-putar di kepala orang-orang besar dan terhormat itu.

Rumah itu bukan rumah adat. Namun, seharusnya di rumah tersebutlah adat hidup dan tumbuh menggeliat. Jika adat tergencat, hati anak-anak Tun Fatimah tersayat. Pedihnya hingga ke pinggir hayat. Demi Yang Terhormat, jiwa anak-anak Tun Fatimah itu terpelanting di sudut dewan. Mereka tersuruk seperti tak berarti. Janji adat tak ditepati. Amanah dijalankan separuh jalan. Lalu, janji itu diberhentikan seketika tanpa peduli perasaan. Semestinya, di rumah mewah dan megah itu, adat diisi janji dilabuh. Semua persetujuan harus ditepati. Bukankah adat sepanjang, cupak sepanjang betung.

Rumah itu pun bukan rumah adab. Namun, seharusnya di rumah itulah orang-orang beradab. Bukan biadab. Tetapi, mengapa adab terkerat. Mereka biadab kepada jiwa anak-anak Tun Fatimah. Jiwa anak-anak tak bersalah itu tercabik. Padahal, anak-anak manis tersebut sedang elok dalam gerakan mencintai budaya sendiri. Entah apa yang dirasakan anak-anak Tun Fatimah ketika kecintaan mereka terputus di rumah mewah dan megah.

Kata Emak, pendidikan seseorang terkadang tidak mencerminkan adab. Karena itulah, adab terpelanting. Tongkat terdidik sekali pun bisa berlaku biadab. Tongkat lepas kendali. Tongkat terlupa dengan fungsinya sebagai penopang atau penyagang, tetapi sibuk dengan makna kekuasaan. Namun, kali ini mereka lalai. Mereka telah berperan sebagai tongkat membawa rebah.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Senin, 11 Safar 1445 / 28 Agustus 2023

Baca: Kemerdekaan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews