Kemerdekaan

Bang Long

Bismillah,
Ini bulan merdeka. Cahayanya merah-putih. Sepanjang jalan merona. Dari kampung hingga ke kota, bulan merdeka melambai-lambai penuh warna. Rakyat gembira. Beragam permainan rakyat digelar setelah paskibra bersimbah peluh di lapangan upacara. Kata Emak, pemuda di kampung kami menggelar lomba jong dan sampan layar. Di kampung lain, sibuk dengan lomba makan, tarik tambang, pacu kain sarung, pacu karung, dan setimbun lomba lainnya. Bahkan, ada sekolah tidak beretika karena mempertandingkan siswa lelakinya bermain sepak bola dengan pakaian perempuan. Apakah ini makna kemerdekaan?

Kemerdekaan itu bermakna keadaan terbebas dari belenggu penjajah, termasuk perundungan. Belenggu penjajah bukan cuma kolonial dari sejarah masa lalu. Belenggu penjajah bukan juga hanya dari penaklukan bangsa asing. Belenggu penjajah bisa saja dari sesama bangsa, sesama rakyat, penguasa, pengusaha, dan sebagainya. Terpasung dan terbelenggu adalah ketidakmerdekaan. Lemah semangat merupakan gejala belum merdeka. Merdeka bukan sekedar raga. Merdeka jiwa lebih utama. Yang jelas, kita merdeka akan mempermudah mencapai cita-cita. Kata Bung Hatta, kita boleh merdeka secara fisik, tetapi kita masih perlu usaha keras buat mewujudkan manusia bermental baja untuk meraih cita-cita bangsa.

”Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa membahagiakan dan memakmurkan rakyat,” tegas Bung Hatta.

Inti bulan merdeka adalah kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Tertawa, bermain-main, berlomba, dan sebagainya hanya permukaan kasar dari bukan merdeka merdeka. Kulitnya bopeng. Rapuh jika jiwa bulan merdeka itu disentuh oleh para penjajah, penjilat, atau pengkhianat. Ia akan pecah seperti pengkhianatan cinta. Karena itu perlu perjuangan. Perjuangan pula bukan hanya melawan penjajah asing.

”Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri,” Bung Hatta sudah mengingatkan bangsa ini.

Retorika penting. Retorika semata hanya melahirkan suasana genting. Boleh beretorika, tetapi perjuangan nyata itu sangat penting. Pemimpin bangsa mesti bangun dengan kesadaran. Kesadaran membangun dan mewujudkan kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Kesadaran bangsa ini perlu sila ketiga Pancasila. Aksi nyata, aksi nyata, aksi nyata, baru resa retorika.
”Kita harus bersatu karena hanya dengan persatuan kita bisa mencapai kemerdekaan dan kemajuan,” tegas Ki Hajar Dewantara.

Di bawah bulan merdeka, renungan suci sehening-heningnya. Mata paskibra basah. Semoga para pemuda itu dan kita ingat akan kematian. Kematian itu adalah kematian para pejuang yang tergantung demi bulan merdeka di tiang merah-putih. Bagi bangsa pejuang, kematian merupakan kerelaan untuk kemerdekaan. Bangsa pejuang merelakan kematiannya demi menggapai kemerdekaan sejati, bukan kemerdekaan mainan atau candaan.

”Aku rela mati asalkan tanah airku merdeka,” tekad Pattimura menggema.
”Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut di bawah penindasan,” seru Pangeran Diponegoro sambil menghunus keris berkuda.
”Pertahankan tanah air ini dengan darahmu, air matamu, dan nyawamu,” pekik Teuku Umar.
”Saya tidak takut mati asalkan tanah air ini bisa merdeka dari penjajah,” I Gusti Ngurah Rai mengaum geram.
Begitulah gambaran perjuangan melawan penjajah asing.
”Perjuangan adalah harga yang harus dibayar untuk meraih kemerdekaan dan kami siap membayarnya,” sergah Ki Hajar Dewantara.
”Perjuangan tidak pernah sia-sia. Kemerdekaan tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh,” kata Tan Malaka pula.
Bulan merdeka masih bercahaya.
”Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka,” suara Bung Tomo menggema.

Jenazah itu telah bertimbun-timbun di bawah cahaya bulan merdeka. Bukan hanya harta benda, nyata pun melayang penuh harga. Meskipun harta benda dan nyawa lenyap, semua itu hanya sementara. Bukan yang tinggal tulang-tulang diliputi debu, tetapi yang tinggal adalah semangat baja yang tak bisa diruntuhkan oleh sesiapa pun. Kepercayaan atau keyakinan akan kemerdekaan tidak bisa ditakuti dengan kehilangan harta benda dan nyawa.
”Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan satu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapa pun juga,” tekad Jenderal Soedirman menggema dari tandunya. ”Karena kewajiban kamulah untuk tetap pada pendirian semua, mempertahankan, dan mengorbankan jiwa untuk kedaulatan negara dan bangsa kita seluruhnya,” tegasnya lagi.

Para pahlawan itu telah benar-benar merdeka. Mereka telah tiada. Mereka mewariskan semangat baja, perjuangan, dan api persatuan. Terus menggema dan meraung dalam ruang kebenaran. Namun, perjuangan itu belum selesai. Mari kita mencoba melanjutkan perjuangan mereka dengan kemampuan yang kita punya. Kata Chairil Anwar dalam puisinya Karawang-Bekasi.
….
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
….
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Sabtu, 2 Safar 1445 / 19 Agustus 2023.

Baca: Rebung

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews