Bismillah,
Rebung merupakan tunas buluh (bambu). Tentu saja masih muda. Karena itu, rebung seumpama umbut. Bagi orang Melayu, rebung bisa dimasak menjadi sayur. Banyak yang menyukai sayur rebung karena sedap rasanya. Namun, Hamba tak pernah merasa sebab tak suka. Kata Emak pun, sayur rebung sedap. Rebung bisa dijadikan isi lumpia, sayur lodeh, gulai rebung, dan lema. Rebung pun sudah diolah menjadi tepung, keripik, cuka, dan asinan. Menurut kajian, rebung mengandung karbohidrat, protein, dan asam amino. Pantas saja rebung menjadi benda khas bagi bangsa Melayu. Beberapa kali Emak menyuguhkannya untuk Hamba. Namun, Hamba tak menyentuhnya. Nah, itu tadi, karena Hamba tak suka. Bukan karena menolak rezeki atau sombong.
Bagi orang Melayu, rebung bukan hanya bisa dijadikan sayuran. Dalam tamadun Melayu, rebung menjadi motif seni ukir. Motif seni ukir ini dinamakan pucuk rebung. Motif ini sering kita temukan pada jenis kain songket Melayu. Kendati demikian, motif pucuk rebung pun tidak jarang kita temukan pada ukiran kisi-kisi pada suatu bangunan. Selain pada kisi-kisi, motif ini pun ada kita temukan sebagai hiasan pada gerbang.
Setiap objek yang menarik dalam dunia Melayu selalu memiliki nilai keindahan. Nilai keindahan pucuk rebung terletak pada perlambangan filosofinya. Bagi bangsa Melayu, pucuk rebung melambangkan tekad hati yang kuat dalam menggapai tujuan. Kekuatan buluh mewakili kekuatan tekad bangsa Melayu dalam menjalani ragam kehidupan. Selain itu, motif ini pun melambangkan kerukunan hidup yang menguatkan makna persatuan dan kesatuan bagaikan rumpun bambu yang saling menopang ketika ditiup angin kencang. Nilai persebatian inilah yang semestinya mengakar kuar dalam jatidiri bangsa Melayu jika tak nak dihempas dan berkecai-berai.
Tentu saja rebung memiliki keunikan. Karena keunikan itulah, tunas buluh ini menjadi istimewa dalam tamadun Melayu. Rebung bukan cuma untuk keindahan hiasan atau ukiran. Jauh lebih penting daripada itu, filosofi rebung menjadi acuan jatidiri dalam ragam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ianya menjadi lambang dalam hal pembangunan jatidiri bangsa. Kata orang tua kita dalam peribahasa, rebung tidak jauh dari rumpun. Peribahasa ini sama dengan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini mengiaskan bahwa tabiat anak tidak jauh berbeda dari tabiat orang tua. Jatidiri seorang anak memiliki kesamaan dengan jatidiri orang tua, baik jasmaniah (fisik, raga) maupun rohaniah (psikis, jiwa). Dari sini juga kita paham bahwa ragam didikan orang tua akan mewarnai jatidiri keturunannya dalam hubungan vertikal dan horizontal.
Bangsa Melayu juga menjadikan rebung sebagai matlamat betapa pentingnya pendidikan anak usia dini. Rebung menjadi lambang kekuatan pendidikan jatidiri atau karakter bangsa. Bangsa Melayu paham betul bahwa buluh tidak bisa dilenturkan. Kalau dipaksa pun, buluh akan pecah dan patah. Karena itu, jika hendak melentur buluh, kita mesti memulainya dari rebung. Jika mau membangun dan membentuk jatidiri bangsa, kita seharusnya mulai sejak dini. Filosofi bangsa Melayu, jika melentur buluh biarlah dari rebungnya. Peribahasa inilah yang menjadi dasar betapa pentingnya membentuk jatidiri atau karakter bangsa sejak dini. Gurindam Duabelas, Pasal 7, Ayat 4 mengatakan, apabila anak tidak dilatih/ jika besar bapaknya letih.
Dalam hubungan sosial dengan karib punn, rebung dijadikan kiasan oleh bangsa Melayu. Bangsa Melayu mengagungkan persahabatan yang karib. Persahabatan karib itu tidak seperti air dan minyak. Persahabatan karib itu bagaikan air yang dicincang pun tak akan putus. Kata leluhur Melayu, persahabatan itu sebagai aur dengan rebung. Sangat karib dalam suka dan duka. Karib itu bukan gemuk membuang lemak, cerdik membuang kawan. Bukan juga menggunting dalam lipatan.
Begitulah rebung. Ia menjadi hiasan dan menjadi kiasan. ***
Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 21 Muharam 1445 / 08 Agustus 2023.
Baca: Bermasa