Cerpen Jasman Bandul: KETUPAT BAWANG

MALAM belum larut, mata lalat masih celik. Samat baru saja pulang dari tarawih, di Surau Aqsho, tak jauh dari rumahnya. Suara mengaji dari surau sudah mulai menggema, anak-anak melaksanakan tadarus. Suasana malam romadhan menjadi lebih hikmah dan syahdu. Lantunan ayat suci Alquran bergiliran dari surau satu dan surau lainnya yang ada di kampung Se Ketul itu.

“Mat, besok, pagi-pagi lagi engkau pergi ke rumah Mak Cik Gayah. Engkau panjat kelapa di depan rumahnya. Ambil pucuknya agak dua atau tiga telutuk. Emak hendak membuat ketupat hari raya”, suruh Ucu Tenah kepada Samat. “Engkaukan suka ketupat bawang buatan Emak. Macam tak cukup dua tiga buah”, sambil bergurau. “Selebihnya nanti untuk mak jual, entah-entah ada bagi yang mau membelinya”, sambungnya lagi.

“Insyaallah, Mak”. Jawab Samat sambil menyangkutkan baju kurung dan kopiahnya ke dinding kamar bagian luar. “Tapi, raya masih empat hari lagi, Mak, Nanti kesut pula ketupat yang Emak buat”. Lanjut Samat. “Takut tak sempat, Mat”, lalu berlalu masuk kamar, untuk beristirahat. Samat merasa ada yang agak aneh, tak seperti biasa. Namun, karena hendak menjaga hati emaknya, tentu ia tak hendak bertanya-tanya lagi tentang hal “Takut tak sempat” itu.

Emak Samat, akrab dipanggil Ucu Tenah, satu-satunya genarasi tua yang masih kuat, meski sudah berusia tujuh puluh tahun. Peramah dan baik hati. Sudah lebih setengah abad pula menikmati hari raya dikampung. Ia tinggal bersama samat, anak paling bungsu. adik beradik yang lain sudah berkeluarga, dan tinggal bersama keluarganya. Samatlah yang belum berkeluarga, dialah menjaga emaknya. Pekerjaan Ucu Tenah, selain menjaga rumah, ia juga punya keahlian membuat anyaman tikar pandan. Selain untuk pakai dirumah, ada juga yang memesan. Lumayan untuk menabung dan mengisi waktu kosong dimasa tua.

Ini berkat Samat anaknya, selalu meng-uplod foto-foto hasil kerja Emaknya. Banyak juga yang tertarik. Masalah kualitas, sudah teruji, kabarnya, sejak usia belasan tahun hingga sudah berkepala tujuh, Ucu Tenah sudah mendapat ilmu dari Nenek Samat. Apatah lagi menganyam ketupat, semua jenis ketupat ia buat. Tapi, ketupat bawang yang paling selalu.

“Cik Gayah, Assalamulaikum”. Berhenti sejenak. “Cik Gayah, siapa ada dirumah?”. Lanjutnya. Seketika ada jawaban dari dalam. “Walaikumsalam, ada apa pagi-pagi sudah ke rumah saya”, dengan logat melayunya. “Saya Cik, Samat, anak Ucu Tenah”. Jawab samat sopan. “Emak Suruh mintakkan Pucuk daun kelapa, agak dua tiga telutuk, untuk buat ketupat”, sambungnya. “Oh, ambiklah, hati-hati Samat, kelapa itu tinggi, yang lain belum berpucuk”, sambil membuka lawang tingkap rumah panggungnya.

“Cepat betul, raya masih empat hari lagi. Alamatkan kesut daunnya”. Timpal Cik Gayah. “Takut tak sempat, kata Emak”. Sambil menuju ke pohon kelapa berjarak sepuluh meter dari pintu depan, rumah Cik Gayah. “Ada kerengga juga”. Sambungnya. “Kerengga?”. Samat, sambil menggosok-gosok kepala.

“Tak sempat?”, Cik Gayah lalu menghilang dari muka tingkap, tanpak keningnya berkerut dahinya. Entah kemana gerangan. Hanya terdengar suara-suara kecil saja, lalu senyap.

Samatpun mulai memanjat kelapa paling tinggi itu. Sudahlah tinggi, berkerangga pula. Secara berangsur-asngur samat memanjatinya, sambil memperhatikan kerengga dibatang pohon kelapa itu. Samat memang sudah terbiasa dengan kerja memanjat kelapa, jadi kuranglah rasa gamangnya dengan ketinggian. Sebilah bangkung di pinggang sebagai alat pemotong telutuk kelapa nantinya.

Samat sudah tiba di ujung, berpijak pada pelepah daun kelapa. Lalu menyiapkan parang bangkung, bersiap-siap hendak menetak pangkal pucuk kelapa. Memang benar kata Cik Gayah, bertambun sarang kerengga di daun-daunnya. Tapi tidak di bagian pucuk. Raut senyum Samat mekar, sebab dapat pucuk kelapa yang lumayan cantik. Bagus sebagai bahan buat ketupat. Emaknya pasti bahagia menyambut idul fitri dengan hidangan ketupat bawang dan gulai ayam kampung. Cecah pula dengan kelapa parut yang di goreng, serondeng, campur udang kering dan lain-lain. Di cecah dengan sambal lengkong juga nikmat.

Bungsu Ucu Tenahpun mulai menetak pangkal pucuk kelapa dengan bangkungnya. Beberapa kali tetak, belum juga rubuhlah pucuk daunnya. Samat terus menetak pangkalnya. Berpeluh-peluh. Akhir rubuh juga. Kedebuk!

“Samat!”. Cik Gayah berteriak kencang, sebab mendengar bunyi yang begitu kuat dari luar rumahnya dan berlari tergesa-gesa menuju ke pintu rumah depan. Betapa terkejutnya dia. “Sangka Mak Cik, Engkau yang terjatuh, Samat. Berdebar jantung Makcik”, jelas Mak Cik Gayah, seraya menyusut dada, di dahinya berkeringat dingin.

“Apalah Cik Gayah, mengejutkan darah saja. Telutuk pucuk kelapa ini lumayan besar dan berat, tentu berdebuk bunyinya jika jatuh ke tanah”, seru Samat dari ketinggian.

Anak Ucu Tenah itupun bersiap hendak turun, bangkung disarungkannya lagi, dan turun dengan perlahan-lahan. Sebelum turun, ia gugurkan beberapa buah kelapa yang sudah tua, yang masih muda beberapa bijik untuk buka puasa, dan beberapa biji yang kemantan, elok dibuat serondeng. Terlalu tua, kesang rasanya.

Samat sejenak melupakan “Tak sempat” yang diucapkan maknya. Dalam maknanya. Serba tak dapat ditebak dasarnya. Sudah lama Samat bersama, barulah kini ada ucapan yang demikian.

Samat sudah tiba di tanah, sambil menyeka keringat dan beberapa ekor kerengga diwajahnya, tiba-tiba hanponnya berdering. Di layar hanpon tertera nama dan wajah kakaknya paling sulung, yang saat ini berdiam di Ibu Kota Kabupaten. “Kak Maryah” kontak namanya. Langsung saja diangkat. Di Loadspeakernya.

“Assalamulaikum Su”, Samat memang dipanggil Su oleh kakak-kakaknya. Sebap dia anak paling bungsu.

“Walaikumsalam Lung Yah”. Jawabnya.

“Mak, apa kabar Su?”, Lung nak berbual dengan Mak kejap”, sambungnya. Sambil memasak pindang selangat Maryah menelpon adik bungsunya. “Su lagi di rumah Cik Gayah, ambil pucuk daun kelapa”, terang Samat.

“Untuk apa Pucuk daun kelapa tu Su?”, tanya Maryah, anak sulung Ucu Tenah heran. Tangannya tetap lihai mengaduk pindang selangat kesuakaan suaminya. “Mak nak buat ketupat raya, kawatir tak sempat katanya”.

“Tak sempat, mengapa pula. Raya masih empat hari lagi. Tak biasa Emak macam itu”. Yah menimpal. Dahinya berkerut. Seketika Maryah berhenti memasak lalu beranjak ke rumah depan, duduk di kursi tamu dengan masih tetap menelpon Samat.

“Itu juga yang buat Su heran, Lung. Tapi Su tak sampai hati hendak bertanya. Jadi Su ikut sajalah kehendak Emak. Takut dia tersinggung”. Jelas adik bungsunya itu.

“Mak sehat kan Su, tak ada Emak sesak, batuk-batuk, atau dia melepak?”, tanya Kak Lung panjang lebar, dengan raut yang risau, tangan kanannya memegang dahi.

“Tak ada Kak Lung, biasa saja, hanya beberapa hari ini, Emak selalu menung di muka pintu dapur, saat Su balik dari kerja”, jelas Samat kepada Kak Lungnya.

“Tak boleh jadi ini Su” kata Maryah, dengan suara agak cemas. “Kak Lung usah risau, Emak tak ada apa-apa”, Samat berusaha menenangkan Kak Lungnya.

“Besok pagi Kak Lung balik. Kirim salam dengan Emak ye, Assalamualaikum”, lalu menutup percakapan lewat seluler itu.

****

Magrib tiba, Azan berkomandang dari mesjid lingkungan tempat tinggal Maryah di kota. Maryah tak tenang duduk, ia lalu lalang kesana kemari. Sesekali ia membuka pintu rumah, semacam ada yang ditunggunya. Tak sabar nampaknya. Makanan berbuka yang ia buatpun tak selera ia jamah. Hanya anak saja yang bersemangat. Segelas air putih saja yang iya minum. Kerisauan Maryah terhadap kondisi Emaknya sangat membuat hatinya tak menentu. Jikalau dapat sesegera mungkin pulang kampung, menemui Emak. “Bang, Esok adik balik kampung”, kata Maryah kepada suaminya begitu saja suaminya sampai ditangga rumahnya, baru pulang dari sholat magrib berjamaah di Masjid. “Biarlah abang masuk rumah dahulu”. Sambut suaminya.

“Mengapa balik kampung, kitakan beraya di sini”.

“Mak tak sehat, Yah risau” katanya.

“Musim seperti ini, ditambah kondisi tempat kita ini sedang gawat oleh Corona, sebaiknya tunda dulu balik kampungnya”, jelas suaminya dengan tenang. “Kasihan Emak, jika kita balik, menambah sakit emak”. Sambungnya lagi.

“Tak perduli, Yah tetap nak balik”, keliatan matanya berlinang”. Kalau abang tak ikut, Yah balik dengan anak-anak saja”, paksanya.

“Bukan abang tak mahu balik, kondisi yang tak mengizinkan. Abang belum lagi libur bekerja, dan kita……”. “kalau urusan itu abang jangan pikirkan, yang penting, abang izinkan Yah balik kampung, itu saja jadilah”. Sambung Maryah.

“Tak boleh begitu Yah, mana tanggung jawab abang sebagai laki, apa nanti kata Mak, kalau Mar balik kampong sendiri saja”, jelas suami Maryah. “kita harus tahan, banyak-banyak berdoa semoga Mak senantiasa sehat”, lanjut lelaki berkaca mata itu, sambil duduk dikursi tamu.

“Yah minta maaf bang, Yah tak dapat ikut cakap abang untuk sekali ini saja, hati Yah sudah betul-betul risau”, seraya menyapu air matanya yang mengalir ke pipi. Wajah Maryah memerah.

Di rumah Cu Tenah diwaktu bersamaan “Mak, ini daun kelapa yang mak mintakan, dah Mat ambik. Cik Gayah kirim salam, jaga kesehatan, katanya”. Seraya meletakkan daun kelapa di sudut pintu dapur tempat biasa Mak menganyam tikar pandan.

“Oh, iyalah Mat, letakkan saja di situ, sekejap lagi Mak kerjekan, mak lagi berkemas di kamar”, jawab Ucu Tenah, lembut.

Samatpun bergegas ke kamarnya, mengambil handuk hendak ke perigi. Setelah tadi berkeringat memanjat pohon kelapa, terasa gerah badannya. Saat iya keluar dari kamar, berpapasan dengan Emaknya, di tatapnya wajah Emaknya dengan tampa berkedip. Beceracau rasa risau dibenaknya, tentang perkataan emaknya bebarapa hari ini. “Tak Sempat” itu menimbulkan banyak tanda tanya. Hendak ditanyakan kepada Mak, lagi-lagi, sungkan dilakukan. Sebab Emak takkan mahu menjelaskan.

“Mat nak mandi, Mak”, kata Samat kepada Emak.

“Iyalah”, jawab Emaknya sekenanya saja. “Petang ini kita berbuka ketupat bawang, ya Mat”. Sambil menuju pintu dapur belakang.

“Apapun masakan Emak, semua buat selera, Mak” Samat memuji emaknya dengan senyum dan berlalu ke perigi untuk mandi.

Azan magrib dari surau kampung menggema. Waktu berbukapun tiba. Ucu Tenah sudah mempersiapkan menu berbuka. Menu utama Ketupat Bawang dengan sambal lengkong. Satu Jap kecil air kopi dan air putih. Kurma Sukari yang dibeli Samat siang tadipun ada. Gembira sangat Ucu Tenah dapat berbuka puasa pada magrib ini. “Sedap ketupat bawang Mak”, Samat memulai percakapan. Memuji ketupat buatan Emaknya.

“Besok sudah malam duapulutujuh, Engkau tak ikut menegak lampu colok di simpang empat dengan kawan-kawan?”, tanya Ucu Tenah kepada Samat. “Mat nak Istirahat, Mak”. Jawabnya singkat.

“Lung Yah nak balik kampong besok Mak”, sebut Samat ke Emaknya yang sedang menikmati ketupat bawang buatanya seraya menampilkan senyuman termanisnya. “Ha, mengapa pulak Lung balik, musim kurang baik macam ini”, jawab Emak Samat tenang. “Cakapkan kepada Lung kamu, tak payahlah balik lagi”, lanjutnya.

Maryah tiba pukul 10 pagi, namun di rumah Ucu Tenah sudah ramai orang berkumpul. Beberapa kursi tersusun rapi dibawah tenda dihalaman rumah. Terpacak bendera berkain putih berlafalkan syahadat. “Mak……..”, teriak maryah disertai dengan pekik tangis. Saat maryah naik rumah dengan buru-buru, iya lihat Emaknya menangis sengugukan sambil membelai tangan Samat yang sudah menjadi jenazah. “Su……” tangis Maryah semakin kuat. Ia memeluk emak dan jenazah adiknya seraya meronta.

Di pemakaman Samat, Bungsu yang telah menjaga Emaknya, Maryah dan saudara yang lain bersimbah air mata. Tapi tidak kepada Ucu Tenah, Emaknya. Tegar sekali. Barangkali emaknya sangat tahu, anak bungsunya itu pergi dengan tenang dan Husnul Khotimah.

“Allah menyanyangi anak Soleh seperti engkau, Samat”, perkataan terakhir dari mulut Ucu Tenah, terdengar tegar. setelah itu merekapun kembali ke rumah. ***

———————-
Jasman (Jasman Bandul), lahir di Bandul, (Riau) 10 Juni 1984, Beberapa puisi pernah terbit Media Riau Pos, Radar Madura 2020. Sajaknya dan Cerpennya termaktub dalam beberapa antologi puisi Penyair Kopi Dunia (Aceh), Antologi Puisi Gempa Aceh (2017). Antologi Puisi Melukah Bulan di Musim Kemarau (2015), dan Kumpulan Cerpen Lorong (2015). Antologi Puisi, Menderas Sampai Siak, Matahari Sastra Riau, dan Mufakat Air (2017). Antologi Puisi Efitaf Padang Panjang (2018), antologi Puisi Negeri Poci 2019, antolgi Puisi Jazirah 2019. Dan antologi Hari Puisi Dunia “Berbisik pada Dunia” 2020. Antologi puisi Jazirah 2020. *

Baca: Cerpen Jasman Bandul: Lailatul Qadar tak Turun di Kampung Kami

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews