Bismillah,
MALAM dingin pekat tak ada rembulan. Hitam merayap dari celah-celah tingkap. Tak seperti biasa, malam ini terasa agak lain. Rasa mencekam menusuk-nusuk suasana hati. Nyeri dan ngeri. Ada gelisah yang luar biasa bermain di dinding-dinding rasa. Suara-suara alam menggema. Hewan malam meraung. Suara gagak serak mengiba di dahan mangga ibarat ingin mengabarkan duka. Suara geseran dahan bersanggit seperti sayatan sembilu mengukir luka. Suara-suara malam itu melahirkan kegaduhan. Angin malam menyentak dengan kasar. Malam dingin terus merayap lintasan gamang.
Di baruh jembatan sungai tanah tumpah darah itu, Tuah Jebat dan sahabatnya sedang menikmati keindahan malam. Warna-warni lampu di jembatan kebanggaan negeri sungguh memesongkan. Pemilik gerai kecil itu menyuguhkan makanan dan beberapa cangkir kopi pesanan Tuah Jebat dan sahabatnya. Belum terlalu malam juga. Isya baru berlalu sekitar sejam. Sehabis salat di Masjid Agung itu, Tuah Jebat langsung saja mangkal di gerai yang biasa menjadi tempat mereka berbincang-bincang.
Di sekelilingnya, banyak gerai lain. Namun, tekak mereka sudah merasa serasi dengan hidangan di gerai itu. Apatahlagi kopi yang dibancuh dengan tangan halus Salmiah, anak Pak Jaafar dan Puan Rahimah pemilik gerai. Bertambah selesa pulalah para bujang duduk berlama-lama di gerai. Beragam hal menjadi topik perbincangan. Di kedai itu, mereka bicara politik tentang pilkada. Kadang melompat tentang persoalan kesejahteraan rakyat. Payung negeri yang bakal memimpin pucuk pemerintahan pun mereka bincangkan. Muncul beragam pertanyaan di benak mereka. Negeri ini menginginkan bertuah serai ada rumpunnya.
”Kesejahteraan apa yang kita peroleh sebagai rakyat dari perkebunan kelapa sawit yang meranapkan tanah kita?” Tuah Jebat mulai bicara.
”Perut bumi kita ditebuk. Lalu, kita rakyat ni dapat apa? Lekir melanjutkan. ”Negeri yang subur makmur ini menjadi neraka bagi rakyat, tetapi menjadi surga bagi segelintir orang,” beberapa sahabatnya yang lain pun mempertanyakan hal serupa.
Taman-taman penuh tanaman di sekitarnya sedang berbunga. Beragam tumbuhan tumbuh menghijau. Sedap mencuci mata. Warga tanah kelahiran Tuah Jebat ini pun suka bertegur sapa. Sopan dan santun jika berkata-kata. Mereka sudah mendarah daging dengan tunjuk ajar bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi bahasa. Begitulah negeri yang dialiri oleh sungai. Dia mengalir selembut air sebelum datang amuk membara. Kelembutan air bisa menghancurkan kekuatan apapun.
Sekonyong-konyong, suara menderu seperti suara hujan bergemuruh dari arah Timur sungai.
”Hujan memang seperti itu. Hujan datang mengabarkan kegembiraan,” Ruslan tiba-tiba menirukan bunyi suara hujan disertai gerak tangannya menyambar secangkir kopi. Dia menghirupnya. ”Seperti bunyi aku menghirup kopi ini,” sambil tertawa geli. Tuah Jebat dan beberapa sahabatnya hanya senyum.
”Seumur hidupku belum pernah aku mendengar deru hujan sedahsyat ini,” Kasturi menimpali sambil mengarahkan telinganya ke sumber bunyi gemuruh itu.
Muka Tuah Jebat agak lain. Dia berpikir lain.
”Tunggu dulu. Apa mungkin itu gemuruh hujan? Suaranya mencekam. Jangan-jangan… itu …,” dugaan Tuah Jebat dipotong pekik-pekau warga dari sekotah penjuru. Pekik minta tolong, suara tangis menggugu, suara istighfar, suara berdoa, dan pekik-pekau tak tentu arah menyatu dalam kegaduhan yang luar biasa. Gemuruh malam dingin melentingkan cemas yang kejam.
”Air bah menerjang negeri kita dari arah Timur,” seorang warga yang ikut berlari memekau dalam dingin malam hingga terdengar ke merata tempat. Semua warga negeri berdiri, berlari, dan menyelamatkan diri. Tuah Jebat, sahabatnya, dan sebagian besar warga menuju masjid yang lokasinya agak berbukit, tidak jauh dari gerai Pak Jaafar. Mereka menyaksikan air bah mengular bagai naga raksasa menganak sungai. Air bah itu terus menderu. Lalu, banjir itu menyelusuri suak-suak, meranapkan perkebunan sawit para konglomerat. Air bah bagaikan juluran lidah api terus menyesak mengepung perkebunan sawit dan menghanyutkannya entah ke mana.
Air bergelombang itu ibarat amarah. Suara dengus menyeramkan bersahutan dalam gulungan gelombang. Bunyi pelepah dan batang kelapa sawit patah bagai suara menjerit tersiksa. Pabrik-pabrik pun punah-ranah. Setelah melahap semua perkebunan sawit konglomerasi, air bergelombang melaju ke kawasan kota. Air itu memanjat gedung-gedung, mal, hotel, bar, kantor, dan bangunan-bangunan yang selama ini dinilai ikut menyengsarakan warga. Setelah sampai ke puncak, air bah itu meruntuhkannya hingga bersepai tak bersisa laksana ditelan naga raksasa. Air bergelombang terus bergemuruh menyusuri perkebunan sawit ke merata negeri, gedung, dan bangunan yang menyengsarakan warga di kota-kota. Tuah Jebat tak habis pikir, mengapa air bah tidak meluap ke rumah-rumah warga dan tidak meranapkannya. Air itu hanya melanyak perkebunan sawit bermodal besar. Juga meranapkan bangunan-bangunan yang menyengsarakan rakyat. Tuah Jebat dan sahabat menyusuri peristiwa air bah hingga ke sekotah tempat. Dari pulau-pulau, sungai-sungai, lautan, selat, danau-danau, tasik, kebun, sawah, daerah kumuh, petani, dan nelayan, mata Tuah Jebat dan sahabatnya membelalak. Semua rakyat di lokasi itu menumpahkan air mata. Sudah 7 hari 7 malam sebagian besar rakyat negeri ini meraung dalam tangisan. Mereka menangis tak berhenti. Air mata mereka mengambau. Siapa pun belum mampu menghentikannya. Tanah tumpah darah ini sudah menjadi tanah tumpah air mata. Tanah yang menampung kesengsaraan rakyat tak terhingga. Terkatung macam biduk patah kemudi.
”Kami sumbangkan mata air dari air mata kami untuk tanah tumpah darah kita,” tulisan itu terpampang di kain rentang pada setiap sisi desa dan kota. ”Di sinilah, kami berdiri. Ini negeri kami tempat kami berpijak. Kami akan terus bernyanyi tentang kesedihan sambil mencurahkan air mata,” sambung tulisan di kain rentang yang lain. Kain rentang bertuliskan rasa kecewa dan gemuruh di dada terpasang di perkebunan sawit, perkebunan karet, pinggiran sungai, gedung menjulang, juga di mal-mal, jalan raya, dan perkantoran. Ketika angin menerpa, kain rentang melambai-lambai sembari bergemuruh seperti suara gaduh.
Sudah sepekan Tuah Jebat dan sahabatnya mengelilingi negeri. Sudah sepekan juga air mata bah mengambau. Semakin hari, air mata rakyat negeri ini semakin menggila. Riak sudah menjadi gelombang air mata. Tuah Jebat dan sahabat terus berupaya menghentikan air mata yang terus mengalir dari mata rakyat.
”Saya bermohon kepada kita semua agar tidak lagi bersedih dan menangis. Kasihan negeri subur makmur ini akan hancur-lebur. Ini demi kesetiaan kita kepada negeri,” Tuah Jebat memekikkan suaranya sambil menghiba kepada rakyat.
”Hei, Tuah. Jangan kau uji kesetiaan kami dengan kesetiaanmu kepada negeri. Kesetiaan bukan sekadar penghambaan sebagai Tuah. Ke mana semangat Jebat yang ada pada dirimu. Amok pun merupakan bukti kesetiaan pada negeri,” suara rakyat menggema keluar dari celah-celah gelombang air mata. Tuah Jebat terhenyak. ”Sudah sekian lama, kami menyimpan perih ini. Sekarang, kami tak sanggup lagi memeram perih. Perih ini pecah dan menjadi bukti kesetiaan kami. Lupakah kepada Jebat yang ada pada hakikat dirimu?”
”Tapi, tanah tumpah darah ini akan punah jika kita larut dalam airmata. Bukankah Tuhan mengajarkan kita agar janganlah bersedih? Saya juga paham bahwa kesedihan ini adalah bentuk lain dari kesetiaan sebab Tuah ada dalam diri saya. Saya paham juga paham kalau gemuruh amok Jebat bersebati dalam diri. Namun, negeri ini tidak bisa dibangun dengan air mata. Hanya kebahagiaan bisa mengangkat marwah negeri kita,” Tuah Jebat terus mencoba memberikan pengertian.
”Jangan kau kira kami bahagia dengan perkebunan sawit seluas mata memandang. Kau pun salah kira kalau mengatakan kami bahagia dengan etalase gedung-gedung megah dan mal-mal. Semuanya milik siapa? Kami dapat kebahagiaan apa? Bahagiakah kami hanya dengan memandang kemegahan yang bukan milik kami? Justru sudah bertimbun kami menyimpan perih, menyembunyikan derita, menahan nestapa, bahkan menguburkan dukalara di perkebunan besar dan gedung-gedung megah itu. Perih itu seumpama bom waktu. Sekarang sudah meledak dan mengalirkan gelombang air mata. Air mata ini sudah merebak ke mana-mana,” suara misteri yang mewakili rakyat itu mematahkan Tuah Jebat.
Suara misteri itu terus meraung seiring gelombang air mata. Gelombang air mata masih terus mengganas. Mengalir dari laut. Mencurah dari bukit-bukit dan gunung. Mengambau dari suak dan sungai. Menyimbah dari luasnya udara. Ke mana arah pandangan, di situ hanya ada air mata yang meraung membentuk gelombang kehidupan. Tuah Jebat dan kawan-kawan terus mencoba memberikan pandangan agar rakyat negeri ini berhenti menangis.
”Negeri ini tak sebatas pandang. Udara pun luas. Banyak kemungkinan lain yang bisa kita lakukan untuk tanah air ini. Tentunya bukan dengan menangis,” suara Tuah Jebat kembali menggema dari corong penguat suara agar rakyat negeri mengerti dan menghentikan tangisannya. ”Air mata kami tidak lagi jatuh ke perut, tetapi telah kami muntahkan.”
”Kami hanya bisa menangis. Menangis inilah bentuk perjuangan untuk menyelamatkan tanah air ini. Biar kami tenggelamkan keserakahan, kemunafikan, kemaksiatan dengan air mata kami,” suara rakyat meraung lagi dari celah-celah gelombang air mata itu. Gelombang air mata terus meluas hingga ke ibukota negeri. Semakin perih derita rakyat negeri, air mata semakin mencurah. Tidak ada kuasa manusia yang mampu menahan curahan air mata rakyat. Gelombang air mata itu bagai pasukan pahlawan yang melanyak punca ketidakadilan dan pengkhianat negeri. Tak ada lagi penguasa yang mampu mengerahkan kezalimannya. Semuanya dihempas air mata.
Dari gedung bertingkat yang belum sempat hancur, tiba-tiba muncul Utimaraja, Mendeliar, Si Kitol, dan Nainacethu. Mereka cemas, tapi merasa aman di atas gedung mewah dan megah. Dari cara berpakaian, mereka memang berkelas. Kekuasaan yang diberikan oleh pemimpin negeri menjadikan mereka berkuasa di bidang perdagangan, perhubungan, perminyakan, pertambangan, dan bidang strategis lainnya. Beberapa waktu lalu, mereka menunjukkan kukunya di Rempang dan Sembulang sehingga mengundang curahan air mata dari pulau keramat dan sekitarnya. Sampai saat ini, air mata dari pulau-pulau bersejarah tak berhenti menggelora.
”Rakyat mesti mendukung pemerintah. Apa yang dilakukan pemerintah hanya untuk kesejahteraan rakyat. Ini semua demi pembangunan. Kita ingin negeri ini maju dan sejahtera. Negeri sejahtera, rakyat ikut sejahtera,” Utimaraja bersuara melawan gemuruh gelombang.
”Betul. Semua yang kita lakukan demi rakyat. Demi kesejahteraan dan keadilan,” Nainacethu menambahkan.
”Kita ingin maju karena itu kita perlu investasi. Investasi ini bisa menggerakkan perekonomian dan memberikan lapangan kerja,” Utimaraja, tangan kanan payung negeri itu meyakinkan rakyat.
”Hentikan tangisan ini. Pembangunan kita bisa gagal. Investasi pun bakal gagal. Mari kita bekerjasama membangun negeri ini untuk masa depan,” Mendeliar memberikan sokongan kepada sejawatnya.
”Melalui investasi ini, kita semua akan sejahtera. Air mata ini akan merobohkan cita-cita kita,” Si Kitol menimpali.
Mereka memang sudah satu suara.
”Kami hanya bisa menyumbangkan air mata. Kesejahteraan dan keadilan sudah terpelanting. Kedamaian pun kalian coba rebut dari kampung kami. Kami yang hidup dalam damai, tiba-tiba kalian tikung dengan beragam program yang menghempas keadilan. Biarlah, biarlah kami terus menumpahkan air mata,” suara rakyat dari celah gelombang air mata itu menggema tanpa henti. Air mata itu terus memanjat gedung. Mereka benar-benar sudah terkepung.
Semua orang pontang-panting ingin menyelamatkan diri. Pemilik keserakahan, kemunafikan, pengkhianatan, kemaksiatan, dan kezaliman menyingkir mencari tempat yang aman. Bah air mata sudah mengambau ke mana-mana. Tidak ada lagi tempat aman bagi mereka. Bah air mata sudah menjadi tsunami yang menggulung seluruh negeri. Mereka mati langkah seperti raja dalam permainan catur yang diskak mati oleh para bidak. Ingin melarikan diri dengan kapal terbang, semua landasannya sudah dipenuhi gelombang air mata. Hendak melarikan diri dengan kapal, hempasan gelombang air mata sudah mengganas.
Tuah Jebat dan sahabatnya pun tidak bisa berbuat lebih banyak. Negeri ini sudah menjadi lautan air mata. Para pemegang keserakahan, pengkhianatan, kemunafikan, kemaksiatan, dan kezaliman itu sudah tak bisa ke mana-mana lagi. Mereka sudah terkepung oleh kedalaman bah air mata. Orang-orang itu pun ikut tenggelam dalam tangisan penyerahan diri.***
Alhamdulillah.
Bengkalis-Pekanbaru-Bengkalis, Senin, 14 Safar 1446 H / 19 Agustus 2024
# Cerpen ini saya alih wahanakan dari puisi berjudul Tanah Air Mata karya Sutardji Calzoum Bachri. Berikut puisi tersebut.
Tanah Air Mata
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
Sutardji Calzoum Bachri, (Horison, 1998:14)
——————————-
Musa Ismail, lahir di Pulau Buru Karimun, Kepulauan Riau, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen “Sebuah Kesaksian” (2002), esai sastra-budaya “Membela Marwah Melayu” (2007), novel “Tangisan Batang Pudu” (2008), kumpulan cerpen “Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut” (2009), kumpulan cerpen “Hikayat Kampung Asap” (2010), novel “Lautan Rindu” (2010), kumpulan cerpen “Surga yang Terkunci” (2015), dan novel Demi Masa (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemangku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi “Setanggi Junjungan” (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI “Menderas sampai ke Siak” (2017), “Mufakat Air” (2017), Jejak Air Mata: Dari Sitture ke Kuala Langsa (Jakarta, 2017), Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi (Jakarta, 2017), Dara dan Azab (Malaysia, 2017), Kunanti di Kampar Kiri (Pekanbaru, 2018), Jazirah (Tanjungpinang, 2018). Kumpulan puisi perdananya bertajuk Tak Malu Kita Jadi Melayu (TareBooks, 2019). Pada 2019 juga, terbit bukunya berjudul Guru Hebat (Tarebooks). Pada 2020, terbit buku esainya yang berjudul Perjalanan Kelekatu ke Republik Jangkrik (Tarebooks, 2020) dan novel Sumbang (dotplus, 2020). Dia masih terus belajar menulis. *