CERPEN: Lukisan di Negeri yang Temaram

Ilustrasi

Oleh: A. Mundzir. AR

“KENAPA kau membunuh jenderal Kekoshima!!?”

“Saya disuruh pak,” ucapku pelan dengan mulut berkumur darah.

“Siapa yang menyuruhmu, ha? Akan kubunuh kau bersama orang yang menyuruhmu!”

“Saya disuruh…..” Ah, siapa juga yang menyuruhku, toh aku melakukannya atas kemauanku sendiri.

Pak Karsono mengangkat senjatanya geram ketika aku diam tak bisa menjawab. Tak heran ia sangat marah, lantaran ubun-ubun jenderalnya kupatuk dengan seonggok batu berukuran segenggamanku. Badanku bergetar meluapkan ketakutan.

“Duaar!!” satu peluruh melenceng tepat di depan telingaku, menyambar lantai kayu hingga peluruhnya bisa kulihat menancap sempurna.

“Jawab bocah!!” ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, menirukan kerasnya bunyi senapan tadi. Sedang aku tetap bisu tak mau menjawab. Aku tau mereka akan menjadikan tawanan wanitanya sebagai Jugun ianfu, ayahku pernah memberitahuku. Dan aku benar-benar melihatnya sendiri, ketika ayah di tembak mati oleh tentara Jepang. Mula-mula ia dipaksa jongkok, lantas tanpa sekecap pun kata, ia ditembak di bagian kepala hingga darahnya mengalir deras. Kepalanya tertuntung di tanah halaman rumahku, Ia disangka telah memata-matai Jepang. Belum selesai, tentara busuk itu melempar ludah ke mayat ayah yang sudah tak sanggup bergerak. Ibu memelukku erat, sesekali air matanya mengenai rambutku. Angin menghembus pelan di waktu yang petang, menerpa pohon-pohon kelapa. Namun seakan tak puas, mereka membalik badan, memandang ibu yang sedang menekapku, aku dipaksa lepas dari pelukannya, ibu ditarik kedalam mobil mereka. Aku masih mendengar teriakan pilunya ketika mobil itu hilang di persimpangan. Di situ aku sendiri. Hanya menatap mayat ayah yang enggan membalas panggilanku.

Burung camar berkicauan, terbang mengepakkan sayap seakan tengah menghiburku yang kacau-balau. Angin masih sibuk mengusik pepohonan, menghingkap debu-debu yang tak sempat ibu sapu.

Hingga beberapa tahun aku diasuh kakek dan nenek. Mereka telaten menjagaku dan tak jarang pula memberiku nasehat,

“Alea, kamu sebagai seorang wanita harus betul-betul menjaga harga dirimu, apalagi menjadi budak Jepang, jangan sampai. Embah tak mau melihatmu bernasib seperti ibumu.”

Nenek sering mengatakan itu, dan aku akan menyimak dengan raut muka kalang-kabut, karena tak mengerti apa yang ia maksud. Banyak kabar beterbangan antara mulut ke mulut. Tentang ibuku yang katanya sudah meninggal lantaran kelelahan dipaksa memuaskan hasrat bejat para tentara. Entah harus kupercaya atau tidak, yang pasti aku selalu berharap ibuku kembali dan menemaniku bermain.

***

Ia mencorat-coret ke atas ke bawah atau pun ke samping, aku memperhatikan tangannya yang lihai memainkan kuas menyambar cat yang aneka warna. Ayah terbiasa menemaniku dengan melukis sambil terkadang mengajariku, meskipun aku hanya bisa menumpahkan cat-catnya. Ayah bekerja sebagai asisten para tentara sebagai pengangkut barang-barang mereka, dan sangat jarang pulang, kini ia menyempatkan waktunya untuk menemuiku dan bermain denganku. Banyak lukisan yang ia pajang di rumah, ia melukis sebagai pengganti kerasnya di medan perang dan kenistaan yang setiap hari menimpa -katanya. Itu pula barang kali yang membuat lukisannya penuh dengan suasana kebahagian. Siapapun yang melihatnya seakan dibawa masuk ke dalam, lantas akan melepas penat atau pun kemalangan yang menimpanya.

Mentari terlihat terbelah di ufuk timur, semburat di antara embun yang masih bergelantungan di dedaunan, mengungkap baunya yang segar. Suara yang tak asing membangunkanku, ayah dengan senyuman lembutnya menyambut pagiku, ia sudah berpakaian rapi dan siap untuk meninggalkanku lagi. Suara truk M715 bergemuruh di luar menunggu kedatangan ayah, ibu pun sudah siap dengan bekal yang ditentengnya untuk ayah santap. Aku hanya bisa diam mengumbar senyum dan membiarkannya mengecup keningku. Ia meyakinkanku akan pulang Bersama boneka beruang -katanya. Tetap dengan senyumnya yang ramah, lantas ibu juga membalasnya dengan senyuman yang hangat pula. Ia beranjak melambaikan tangan ke arahku. Hingga akhirnya hilang di persimpangan.

***

Badrul melompat-lompat di persawahan, berusaha menangkap capung yang terbang tak tentu arah. Aku pun mengikuti apa yang dia lakukan; melompat-lompat, menciptakan gemercik air hingga jatuh di sawah yang baru saja di pajak dan hendak ditanami padi. Badrul membantuku berdiri dan duduk di tepi sawah. Dia adalah satu-satunya teman laki-lakiku, atau lebih tepatnya satu-satunya teman yang kupunya, dia sedikit lebih tua dariku, kami selalu bermain di setiap harinya, entah menangkap capung, bermain jual-jualan atau apapun yang membuat kami Bahagia. Ia juga senasib denganku, ayahnya adalah seorang tentara yang jarang sekali pulang, bahkan mungkin lebih jarang jika dibandingkan dengan ayahku.

Awan putih mengapung di langit yang kelabu. Berjalan kompak mengikuti arahan angin. Matahari pun masih melekat di langit-langitnya. Hari yang tenang, meskipun aku tahu tanah yang sedang kupijak ini masih dalam jarahan penjajah. Banyak orang yang bercucuran darah dimana-mana, menangis tersedu-sedu atas tewasnya orang yang mereka sayang.

Badrul membangunkanku yang merebah di rumput pinggir sawah. Ia berdiri sambil menenteng bungkus plastik berisikan capung-capung, barangkali ia bosan menungguku terlelap. Kemudian aku bangun dan tak sadar bahwa bajuku sudah terlanjur kering diterpa matahari yang tak lagi berselimut awan. Kami pulang Ketika mentari hampir menghilang di tepi barat, langit semburat keorenan. Aku berlari-lari mengejar Badrul yang menenteng capung beserta jaring di tangan kanannya diiringi gelak tawa. Hingga akhirnya kami mendapati beberapa tentara Jepang berbincang-bincang di luar mobil mereka.

Terlihat juga pak Karsono, ia adalah salah satu tentara yang berkhianat dan bergabung dengan para penjajah. Terlihat ia Tengah berbaur akrab dengan mereka. Merokok, menciptakan asap tebal yang mengepul lalu menipis kemudian hilang. Kami mengintip di balik Semak, Badrul sedikit menyingkapnya untuk melihat, dan aku melihatnya dengan pikiran Meletus-letus, lantaran merekalah yang merebut hak orang lain untuk berbahagia, dengan mudahnya mengambil nyawa orang yang tak bersalah, merebut apa yang seharusnya tak mereka rebut. Dengan emosi yang memuncak tak sanggup lagi kubendung, tanganku melayangkan batu yang tak sengaja kuambil. Batu itu melesat menyambar mobil para militer itu, hingga menciptakan bunyi yang cukup keras.

Sontak dengan reflek cepat mereka membidik kearah kami dengan senapan yang memang sudah melekat di punggung mereka, mata senapan itu mengarah tepat padaku. Sebelum akhirnya Badrul keluar, ia memberanikan diri menunjukkan dirinya dengan mengangkat kedua tangannya di udara. Lantas para tentara itu menghampiri Badrul dengan senapan yang masih membidik.

“Kabur Al. sembunyi di rumah nenek Masripa, di sana kamu aman, biarkan aku di sini menahan mereka. Nanti aku akan menyusulmu di belakang.” Badrul membisik kepadaku yang masih sembunyi di rerumputan belakangnya. Namun aku bukan pengecut yang akan mengorbankan temanku. Apalagi itu salahku karena melempar batu tadi.

“Hey bocah, kamu yang melempar batu itu, hah?” salah satu dari mereka bertanya yang sepertinya ia adalah komandan dari sekolompok tentara itu,

“Hehe iya pak, maaf. Tadi saya mau lempar burung pemakan daging, eh malah kena mobil bapak. Maaf ya pak,” jawab Badrul dengan ekspresi tenang seakan bergurau.

Lantas meringkus ke dua tangan Badrul dan membuatnya melutut, kemudian satu tamparan mendarat di pipinya,

“Kau bercanda? Mau main-main!?” tentara itu Kembali mengumbar mukanya yang merah merona dan otaknya berkelekar.

Hingga akhirnya amarahku tak bisa kutahan lagi, Ketika mereka berdondong menyerang Badrul, memukul, menendang hingga ia berlumuran darah dan lebam di mana-mana, tanganku menyambar batu yang ukurannya segenggman tanganku, kulempar ke arah mereka dan tepat mengenai ubun-ubun jenderal itu, sontak yang lain menjadi panik menggendong pemimpinnya itu masuk ke dalam mobil mereka, darah tak henti-hentinya mengalir dari ubun-ubunnya. Aku pun tak tertinggal mereka bawa, tanganku ditarik paksa hingga kedalam mobil. Sedang Badrul ia tinggal terkapar sendiri, aku tak tau apa yang akan terjadi padanya. Dan pak Karsono menyekap mulutku hingga tak bisa memberontak.

***

Tempat yang sangat enggan aku singgahi. Kini aku di dalamnya; salah satu markas tentara Jepang. Bendera putih dengan matahari merah yang bersinar di tengahnya berkibar di malam yang petang, aku dituntun menuju ruangan yang megah, sedang mulutku tetap mereka tutup kain, dan aku benar-benar tak bisa meronta. Banyak lukisan terpampang menghiasi dindingnya, mataku terpaku akan lukisan yang menempel tepat di depanku, lukisan yang indah, terlihat satu keluarga Bahagia saling membalas senyum satu sama lain di bawah pohon yang rindang. Terlihat juga dua kuda yang sedang memakan rumput dan yang lainnya tengah tiduran di belakangnya, lukisan yang tak asing bagiku. Seakan aku berbaur menjadi salah satu dari meraka, angin sejuk menganggukkan pohon hingga membuat daunnya berguguran, burung-burung berkicau mendukungnya. Ia benar-benar berhasil merayuku, mataku dibuat membinar memandangnya. Hingga tak lama berlalu, bunyi pintu yang terbuka membuatku harus berpaling. Pak Karsono keluar dari dalamnya, terlihat ia berjalan dengan tegas menenteng senapan di punggungnya. Tatapannya fokus ke arahku yang sedang duduk di kursi serta kedua tanganku di ikat tali-temali menjadi satu. ***

——————–
A. Mundzir. AR adalah alumnus Al-Huda II Gaptim, bertempat di antara Tamidung dan Poteran. Tinggal di Asrama JQL, Guluk-guluk, Sumenep. Serta Pustakawan Lubangsa. *

Baca: Membeli Gosip di Rumah Bu Ratih

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews