LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Skandal dugaan korupsi potongan anggaran Ganti Uang (GU) di Pemerintah Kota Pekanbaru tidak berhenti pada sosok Risnandar Mahiwa. Dalam persidangan terbaru kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Penjabat Walikota Pekanbaru itu, muncul satu nama yakni Hj Yulianis, S.Sos, M.Si, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Ketua Umum DPD IMM Riau, Alpin Jarkasi Husein Harahap mengatakan, dalam keterangan secara eksplisit oleh Hakim Ketua dalam sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Yulianis dinyatakan masih meneruskan praktik potongan GU hingga masa awal pemerintahan Walikota Agung Nugroho.
“Bahkan setelah Risnandar ditangkap KPK, dan kursi walikota resmi berganti, pola yang sama tetap berlanjut. Pemotongan dana GU tanpa dasar hukum yang jelas, atas nama ‘setoran’ kepada atasan, atau sekadar kebiasaan lama yang tidak pernah dihentikan,” ujar Alpin, Rabu 21 Mei 2025.
Ia menilai korupsi GU tersebut bukanlah tindak kejahatan personal semata, melainkan bagian dari sistem birokrasi yang sudah terbiasa menyelewengkan kewenangan fiskal. Sebagai Kepala BPKAD, Yulianis memegang kendali atas pencairan dan alur GU.
“Ketika potongan terus dilakukan dengan persentase tetap berkisar 10 hingga 15 persen dari nilai pencairan, maka tindakan tersebut bukanlah insiden administratif, tapi bagian dari skema yang terorganisir,” lanjutnya.
Dalam perspektif hukum pidana, kata dia, praktik yang dilakukan Yulianis dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31/1999 junto UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyasar setiap pejabat yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangannya, dan mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Alpin Jarkasi Husein Harahap menilai, apabila tindakan pemotongan GU dilakukan secara sistematis dan dilakukan atas pengetahuan atau seizin atasan langsung (dalam hal ini Walikota definitif), maka perbuatan ini berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi secara kolektif atau delik korporatif birokrasi.
“Dalam hal ini, organisasi birokrasi itu sendiri—bukan sekadar individu—menjadi entitas pelaku kejahatan. Ini memungkinkan penegakan hukum tak hanya menyasar aktor individu, tetapi juga pola, struktur, dan sistem yang menopangnya,” kata Alpin.
DPD IMM Riau memandang bahwa keterlibatan Yulianis, bila benar dan terbukti, harus menjadi pintu masuk baru bagi KPK untuk memperluas cakupan penyidikan. “Kami mendesak agar KPK segera memeriksa Yulianis secara resmi dan mendalami kemungkinan keterlibatan pejabat lainnya yang turut mengambil keuntungan dari potongan GU, baik pada masa Risnandar maupun pada era Agung Nugroho,” sampainya.
Pola potongan GU adalah bentuk pembajakan fiskal yang paling membahayakan. Hal ini menyalahi prinsip dasar good governance dan menciptakan efek domino pada seluruh OPD yang merasa ketakutan, pembiaran, dan kompromi terhadap praktik ilegal.
“Lebih menyedihkan, uang tersebut bukan untuk rakyat, melainkan untuk mengisi kantong para penguasa bayangan di balik meja birokrasi,” katanya lagi.
Kasus ini membuktikan bahwa rotasi jabatan tidak serta-merta memutus rantai korupsi. Sebuah sistem yang busuk akan terus melahirkan kejahatan, selama pelakunya tak pernah benar-benar dibongkar. Keadilan tidak akan hadir jika hukum hanya menyentuh kulit luar, tapi gagal menguliti akar persoalan.
Direktur Pusat Bantuan Hukum IMM Riau, Yan Ardiansyah, SH. menyerukan dengan tegas agar KPK membongkar seluruh praktik pemotongan GU, periksa pejabat-pejabat yang diduga terlibat, termasuk Yulianis, dan bersihkan Pemko Pekanbaru dari budaya rente dan impunitas.
“Rakyat berhak atas pemerintahan yang bersih. Dan kami akan terus bersuara, sampai kebenaran tak lagi ditutup oleh berkas-berkas rahasia,” tutupnya. ***