Dampak Lockdown, Pekerja Migran Hubei Hidup dalam Ketakutan Utang Meningkat

Penumpang mengantre untuk masuk ke dalam kereta di Stasiun Kereta Jiujiang, kota yang terletak di perbatasan Provinsi Jiangxi dan Hubei, yang merupakan episentrum penyebaran Covid-19, Rabu, 18 Maret 2020. (Foto: AFP)

LAMANRIAU.COM, HONG KONG  Terperangkap saat status lockdown (isolasi) dan tidak dapat kembali bekerja, Cao Xier adalah salah satu dari jutaan orang yang berjuang tanpa pendapatan dan utang yang semakin besar di daerah asal virus corona jenis baru (Covid-19) di Tiongkok.

Seperti kebanyakan pekerja migran pedesaan dari Provinsi Hubei, Tiongkok, Cao dan keluarganya kembali ke kota asal mereka untuk liburan Tahun Baru Imlek pada akhir Januari lalu. Namun, dia harus terjebak di kota asalnya itu dan tak bisa kembali ke tempat kerja setelah pemerintah melakukan langkah-langkah isolasi untuk mengendalikan virus.

“Kami belum pernah mengalami kepanikan seperti ini sebelumnya,” katanya dari Caodian, salah satu desa miskin di Hubei.

“Adik ipar saya mengatakan bahwa pejabat tidak membiarkan kami kembali (bekerja) pada awal April. Ia akan berusaha untuk keluar (dari desa), karena tidak memiliki pendapatan untuk memberi makan keluarga atau membayar pinjaman, itu sama mengerikannya dengan terinfeksi virus,” ujar Cao seperti dikutip South China Morning Post, Rabu (18/3/2020).

Virus corona yang telah menginfeksi lebih dari 80.000 orang dan menewaskan lebih dari 3.200 orang di Tiongkok, telah sangat mengganggu negara itu sejak akhir Januari lalu. Tiongkok terputus dengan seluruh dunia, yang membuat perekonomian mereka terjun bebas dalam dua bulan pertama tahun ini.

Meski toko-toko dan pabrik-pabrik di seluruh negeri telah mulai dibuka kembali, namun hampir 60 juta orang di lebih dari selusin kota di Hubei masih dalam status lockdown.

Harapan banyak orang, termasuk Cao, sempat terbuka ketika Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengunjungi Kota Wuhan, pusat wabah, pada pekan lalu. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa pekerja migran akan dapat kembali bekerja pada pabrik-pabrik yang ada di pantai timur Tiongkok dalam waktu dekat.

“Kami sangat marah dengan keputusan pihak berwenang,” kata pengemudi truk, Zhang Liang, 36 tahun, dari Kota Jingshan di Hubei. Dia kini terlilit utang setelah membeli truk untuk bisnisnya.

“Kami semua sehat, tetapi terjebak di rumah. Pemerintah telah menutup jalan tetapi tidak menawarkan dukungan atau kompensasi atas kerugian kami,” ujarnya.

Sementara, bagi Cao, yang bekerja berjam-jam sebagai pengemudi aplikasi transportasi di Dongguan, Provinsi Guangdong, 1.200 km dari Wuhan, tekanan finansial mulai muncul. Tanpa penghasilan, ia terpaksa menggunakan kartu kreditnya untuk membayar cicilan bulanan sebesar 3.000 yuan (US$ 428). Uang itu untuk membayar mobil yang dibelinya pada Oktober 2018.

Kisah serupa dialami saudara perempuan Cao, yang bersama suaminya juga tidak dapat kembali ke pekerjaan mereka di Dongguan. Pasangan itu, yang memiliki apartemen tiga kamar tidur di Suizhou dan membiayai dua anak perempuan dan tiga orang tua, harus meminjam 5.000 yuan (sekitar US$ 713) dari Cao untuk membayar hipotek bulan depan sekitar 6.000 yuan.

“Secara umum, semua anak muda di desa kami terlilit utang, baik untuk flat, kendaraan, atau cicilan sebuah telepon genggam,” kata Cao, yang berusia 30-an tahun.

Tidak seperti generasi pertama kaum migran yang berbondong-bondong ke kota untuk bekerja pada sekitar 1990-an, kalangan muda pedesaan sekarang tidak lagi bercita-cita untuk membangun rumah di desa atau kota kecil tempat mereka dilahirkan. Mereka meminjam uang untuk membeli properti di kota dan berharap dapat memberikan keluarga kesempatan hidup yang lebih baik.

Di seluruh Tiongkok, rasio utang keluarga terhadap produk domestik bruto, atau rasio leverage rumah tangga, terus meningkat dari 17,9% pada akhir 2008 menjadi 52,1% pada 2018 dan 55,8% tahun lalu.

Dekan BNU-HKBU United International College, Simon Zhao mengatakan, epidemi Covid-19 merupakan risiko yang sangat besar bagi pekerja migran, yang membeli properti dengan kredit.

“Oleh karena itu, melanjutkan pekerjaan menjadi sangat penting, karena sejumlah besar penduduk pedesaan meminjam uang untuk membeli rumah, bahkan ketika mereka benar-benar tidak mampu untuk membelinya,” kata Zhao.

Dikatakan, jika epidemi Covid-19 domestik dan global terus berdampak pada pasar kerja Tiongkok, maka akan ada risiko besar bagi pasar properti domestik.

Sebanyak 280 juta pekerja migran Tiongkok bekerja di pabrik-pabrik selama 11 bulan setiap tahun. Mereka biasanya mengambil cuti dua hingga tiga minggu di kampung halaman untuk ikut merayakan Tahun Baru Imlek.

Mereka hanya libur satu hari dalam sepekan dan kebanyakan lembur kerja selama dua hingga empat jam setiap hari selama musim panas. Langkah itu diambil untuk meningkatkan pendapatan.

Kini, dengan begitu banyak orang di Provinsi Hubei yang belum bisa kembali bekerja, orang-orang mulai menjadi stres.

“Dalam dua bulan terakhir, setiap kabupaten, setiap kota, dan setiap desa di Hubei telah sepi dan sunyi, dengan semua jalan diblokir dan dijaga pada siang dan malam,” kata Gao Minghui, 28 tahun, yang tinggal di daerah Nanzhang di provinsi tersebut.

“Kita semua hidup dalam ketakutan. Saya pasti akan menganggur ketika kembali ke Shenzhen, karena salon kecantikan tempat saya bekerja sudah tutup. Sementara, saya masih harus membayar sewa sebesar 3.800 yuan (US$ 542) setiap bulan untuk flat saya,” ujarnya.

Menurut Gao, warga di desanya juga semakin putus asa.

“Ada grup WeChat yang terdiri lebih dari 400 orang, semuanya dari desa saya. Setiap hari orang-orang muda mengatakan bahwa mereka ingin bekerja. Mereka juga mengatakan semua babi, bebek, dan ayam (di desa) sudah dimakan,” ujarnya.

“Kami sudah kehabisan uang dan bangkrut,” ujar Gao. (BSC)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *