Imuno-Ilahiah Tahajud

Gunung

Konsumsi ikan bangkitkan kecerdasan
itulah barokah penduduk kepulauan
kekebalan buatan jangan dipaksakan
yang ilahiah patut direkomendasikan

Tambah vitamin konsumsi rambutan
perkuat kecerdasan santaplah ikan
bisnis kebal-buatan berlagak kesehatan
meneguk untung jangan rakyat dikorbankan

Makan sate jangan berlebihan
jumlah tusuk wajib diperhatikan
temuan ilmah menjadi pedoman
shalat tahajud ilahiah kekebalan

BELAKANGAN alias akhir-akhir ini begitu gegap gempitanya, hiruk-pekaknya (biasanya pikuk) ihwal pemberitaaan kegiatan suntik-menyuntik, jolok-menjolok dan colok-mencolok yang ramai tersiar teristimewa oleh para penggiat media sosial. Entah kenapa konon khabar upaya suntik, jolok dan colok terkesan sepihak. Maksudnya datangnya dari atas. Sementara yang dari bawah berupa pertanyaan terkait asas manfaat dan mudaratnya akibat tindakan tersebut belum terjawab.

Susah untuk menyangkal mengemukanya pendapat arus bawah yang seoalah-olah hanya asas manfaatnya dari tindakan tersebut yang menghiasi berbagai media masa arus utama (maenstream) berupa iklan-iklan bertaburan. Pada sisi yang lain pertanyaan arus bawah kepada lembaga (departemen) yang bewenang di ibu kota negara dari sejumlah informasi dan berita yang beredar, pertanyaan yang diajukan belum mendapat jawaban. Inilah ketimpangan yang juga banyak dipersoalkan arus bawah. Padahal ihwal transparansi informasi dan data, undang-undang tentang, “Keterbukaan Informasi Publik” (UU No.14/2008) dapat dirujuk oleh yang di bawah dan yang di atas. Silakan saling berdiskusi dan memperoleh informasi. Ini minimal menjaga pun menghindar baik dari arus bawah dan atas yang saling klaim berita dan informasi hoaks.

Walaupun Jengah Jenguk Cendekia (J2C) tidak mengulas-cermati ihwal keterbukaan pun mengulas berita penting selain tindakan tusuk, jolok dan colok, konsep-istilah Neo-Cortex (N-C) dan Metaverse juga menjadi tema utama diskusi. Keduanya (N-C dan Metaverse) walaupun sedikit perlu diulas-ringkas, agar tidak hilang kesinambungannya. Asbabnya keduanya masih berhubungan dengan ‘benda tak kasat mata’ yang ‘setali tiga uang’ dengan tindakan suntik-menyuntik tersebut.

Neo-Cortex sederhananya adalah cara perang tanpa penggunaan kekerasan. Cara perang Neo-Cortex (Neocortical Warfare) yang sudah banyak diulas merupakan cara tidak lazim dari definisi perang yang (secara) umum. Perang umumnya merupakan tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk kepada kehendak penyerang (bisa kita, mereka atau lainnya). Dalam bahasa populernya, N-C lebih sesuai dengan pendapat Sun Tzu (ahli strategi perang klasik pesohor negeri Tirai Bambu). Panglima perang yang unggul adalah seseorang yang dapat menundukkan musuhnya, tanpa menggunakan (melalui) pertempuran. Esensinya tiga konsep-istilah menyatu: perang tanpa kekerasan, pemimpin perang, dan suap (rasuah).

Sementara Metaverse (Meta Semesta) merupakan bagian dari jaringan internet yang dicipta dari realitas virtual bersama semirip mungkin dengan dunia nyata. Ringkasnya, Metaverse adalah ruang virtual yang dapat diciptakan dan dijelajahi dengan pengguna lain, tanpa bertemu di ruang yang sama. Lebih pada dunia maya yang bersinggungan dengan instrumentasi pandangan dan pikiran. 

Disebalik Neo-Cortex dan Metaverse, titik singgungnya berdiri tegak pada posisi daya tahan (kekebalan). Pesan esensi konstitusi negara (UUD 1945), ihwal tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemerintahan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karenanya kekebalan ilahiah merupakan sandaran strategis dari ancaman Neo-Cortex dan Metaverse.  Insya Allah pada ulasan J2C berikutnya keduanya akan diulas-kaji. Mohon sabar menunggu.

Sementara itu dalam J2C ini, referensi penting ihwal kekebalan ilahiah tersebut amat sangat penting dilakukan. Oleh karena kekebalan ilahiah dapat menjadi upaya alternatif di luar kegiatan suntik-menyuntik bersandar ‘kekebalan buatan’. Sebab, jika saja mau berupaya berpikir kritis dan cerdas sedikit, kata kuncinya adalah “bahwa kekebalan tidak hanya dapat diperoleh secara buatan saja” (vaksin di antaranya). Maksudnya, selain kekebalan buatan (produk biologi ciptaan manusia) juga ada ‘kekebalan ilahiah’.

Kekebalan Ilahiah (KI) inilah yang pada duapuluhan tahun lalu sudah diungkap oleh Prof. Moh. Sholeh. Hasil penelitiannya membuktikan jika terdapat hubungan antara Shalat Tahajud dengan sistem imun tubuh. Tahun 2000, Prof Sholeh berhasil mempertahankan disertasi doktornya di Fakultas Kedokteran, Jurusan Psikoneuroimunologi, Universitas Airlangga. Esensi studinya, “terdapat hubungan antara kanker, Shalat Tahajud dan sistem imun tubuh.

Dalam hubungannya dengan sistem ‘kekebalan ilahiah’ inilah pengalaman Prof. Sholeh yang pernah kena penyakit kanker kulit. Menurut Prof. Sholeh, dari sakit yang dideritanya, dokter tak sanggup mengobati (angkat tangan). Namun Tahajud menyelamatkannya.  Tahun 1982 sampai 1987, Prof. Sholeh dinyatakan sembuh sama sekali.

Dalam bukunya “Terapi Shalat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit” (2006), ihwal kekebalan tubuh ada dua hal penting dari hasil temuannya. Pertama, dalam tubuh manusia oleh Yang Mahakuasa sudah ada yang namanya sistem imun (daya tahan tubuh). Daya tahan tubuh, misalnya darah manusia kalau dilihat merah. Tetapi setelah dicampur dengan reagen dan dianalisis di laboratorium, nanti komponennya di dalam tubuh terdapat macam-macam. Di antaranya ada hemoglobin dan ada hormon kartisol.

Kedua, penemuan Prof. Sholeh menurut dosennya, banyak mematahkan teori ilmu kedokteran lama. Semisal, jantung koroner secara teori kedokteran lama, tidak bisa disembuhkan. Tetapi, melalui imunitas imunologi, penyakit ini dapat disembuhkan.

Dapat dicontohkan sederhana, jantung koroner penyebabnya adalah tersumbatnya arteri jantung karena kolesterol. Sudah diketahui umum jika kolesterol itu adalah lemak yang berwarna kuning yang berasal dari makanan yang dimakan, diolah oleh tubuh menjadi glikogen, kemudian diolah lagi menjadi glukosa. Selanjutnya glukosa diolah lagi menjadi kolesterol. Kalau orang tidak pernah gerak, maka kolesterol akan menyumbat pada organ yang tidak pernah digerakkan.

Menurut Prof. Sholeh kalau saja orang itu mau Shalat Tahajud berlama-lama, seperti Rasulullah SAW, dua rakaat saja semalam, nantinya akan ada metabolisme tubuh yang akan bercucuran keringat, bahkan di ruangan ber-ACsekalipun. Keluarnya keringat ini menyehatkan. Karena di dalam tubuh ada metabolisme kolesterol-kolesterol akan dibakar ATP/ADP, sehingga menjadi energi yang merangsang kelenjar keringat untuk berkeringat. Jadi, kalau tidak berkeringat tidak banyak membawa dampak fisik.

Realitas empirik kisah sendu nan inspiratif berbasis ilmiah-akademis sandaran studi Prof. Sholeh yang sudah banyak dipublikasi berbagai media termasuk sekilas pintas yang diulas dalam Jengah Jenguk ini (“Prof. Dr. Mohammad Sholeh: Tahajud Perkuat Sistem Imun Tubuh”, merujuk Republika.co.id, Selasa, 30 Desember 2008 23:08 WIB, dan dalam buku “Terapi Salat Tahajud”, 2006), memberikan referensi berharga terkait pentingnya memperoleh ‘kekebalan tubuh secara ilahiah’.

Berpedoman ulas hikmah Imuno-Ilahiah Tahajud (Kekebalan Ilahiah hikmah Shalat Tahajud) mempunyai hubungan signifikan-kausalitas (menentukan dan saling terkait) jika kekebalan tidak hanya berasal secara buatan melainkan juga ‘secara ke-ilahiah-an’ yang bersandar dari temuan ilmiah. Dalam bahasa kritis-cerdasnya bahwa kekebalan itu tidak hanya dapat diperoleh melalui sesuatu yang disebut dengan vaksin saja. Ditambah lagi dengan pertanyaan: “Apakah kekebalan buatan tersebut sudah bersandar uji ilmiah-akademis? Apakah keamanannya terjamin? Apakah materi yang dikandungnya benar-benar berasal dari bahan yang halal dan baik?

Kalau jawabannya ya. Tidak berlebihan jika dilanjutkan dengan pertanyaan: Landasan ilmiah-akademisnya dipublikasi pada jurnal apa, tanggal berapa, dan judulnya apa? Pertanyaan berjenjang ini dialtari oleh karena beragamnya ‘produk kekebalan buatan’ tersebut dari merek juga negara yang berbeda.

Ulas akhir J2C menjadi esensi tentu saja kekebalan buatan yang selalu bersandar pada logika rasional sekuler, materialistis dus dimotivasi bsinis, tidak elok menjadi mandatori (menjadi wajib seolah-olah terpaksa) melalui regulasi. Sementara Kekebalan Ilahiah yang dibuktikan secara ilmiah-akademis, terkesan (seolah-olah) diabai-pinggirkan.

Bersandar kedua kekebalan tersebut (buatan dan ilahiah) yang bijak dan arif adalah jika pihak berwenang memberikan pilihan. Biarkan rakyat (masyarakat) menentukan pilihannya: mau kekebalan buatan manusia (vaksin beserta obat-obatan kimia lainnya) atau Kekebalan Ilahiah (buatan dari yang mencipta manusia atau obat-obatan yang bersumber dari Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw).

Begitulah esensi dari mewujudkan kecerdasan bangsa. 

Setuju?! *** 

Baca : Psikoneuroimunologi Rasuah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *