Cerpen W.S. Rendra: Ia Masih Kecil

KELUARGA Kapten Basir sedang duduk di kamar tamu, beromong-omong setelah makan malam mereka. Nizar, anak yang baru berumur 10 tahun itu, tidak ada perhatian terhadap omongan orang-orang lainnya. Ia duduk di atas permadani di atas lantai, sambil membalik-balik majalah yang penuh dengan gambar-gambar rumah, perabot, dan makanan-makanan di atas piring.

Saat itu pintu diketuk orang dan kakaknya perempuan, Ismi, pergi membukakan pintu. Pintu terbuka dan tiba-tiba Ismi mengeluarkan suara riang dari mulutnya. Di pintu berdiri Mantri, tunangannya.

Nyonya dan Kapten Basir melihat juga pada Mantri dan mereka juga tertawa kepadanya.
“Masuk saja, Mantri,” kata Kapten.
“Selamat malam,” kata Mantri sambil masuk. Ia memakai jaket yang bagus. Mukanya bersih dan rambutnya dipotong pendek-pendek.

Kapten Basir dan Nyonya membalas mengucapkan selamat malam bersama. Ismi menarik lengan Mantri dan membuatnya duduk di salah satu kursi.

Nizar melihat saja kepada Mantri dengan pandangan dingin. Mantri tersenyum kepadanya, tetapi ia tak membalas tersenyum.

“Lihat gambar-gambar, Nizar?” tanya Mantri sambil membelai kepalanya.

Ia mengelakkan tangan Mantri dan tidak menjawab sepatah pun. Mantri tertawa karenanya. Namun, ia tidak suka pada tertawa itu, juga ia tidak suka pada Mantri. Itu sudah lama. Kapten dan Nyonya beromong-omong sebentar dengan Mantri, lalu akhirnya mereka mengajak Nizar masuk.

“Nizar, katakan selamat malam pada mereka, lalu kita masuk bersama Papa,” kata ibunya.
“Saya tidak mau masuk,” kata Nizar.
“Belum ngantuk?” tanya ibunya kesal.
“Belum.”
“Nah,” kata bapaknya dengan tekanan, “kalau belum ngantuk, kau, toh, juga masih harus belajar. Ayo, masuk sarna Papa.”

Akhirnya, dengan gerakan berat, Nizar mengikuti bapaknya dan ibunya ke dalam. Semua berkata selamat malam. Nizar tidak.

Sampai di dalam, Kapten Basir pergi ke ruang kerjanya.
Nizar duduk di meja makan yang telah kosong itu. Ibunya mengambil batu tulis untuk ia dan ikut pula duduk bersamanya.

Ibunya berkata, “Saya akan membuat hitungan untuk kau.” Lalu, ia menulis soal hitungan di atas batu tulis itu. Sambil menunggu soal dari ibunya, Nizar melipat kedua lengannya di meja dan meletakkan dagunya ke atasnya.
Ia bertanya, “Mama … ?”
“Ya?”
“Apa Ismi baik-baik saja, ya?”
“Bukankah memang begitu? Saya sendiri melihatnya ia tak kurang suatu apa.”

Nizar jadi tak omong lagi. Ia memperenak letak duduknya. Setelah ibunya selesai menulis soalnya, ia mengerjakan soal itu lambat-lambat. Ibunya melihat ia bekerja sambil menyongket. Ia anak pandai. Dua soal telah diselesaikan seenaknya.

“Mama,” katanya tiba-tiba.
“Ya?”
“Mengapa saya tak bisa tinggal di luar?”
“Kau harus belajar.”
“Belajar di luar bisa juga, kan?”
“Ah, banyak gangguan.”
“Tapi, aku bisa kerjakan hitungan juga di luar.”
“Di dalam lebih tenteram, kan?”

Nizar tak menyahut. Ia menghadapi hitungan-hitungan itu dengan mudah. Sebentar ia garuk-garuk kaki, sebentar ia menulis, lalu lima soal lagi selesai. Ia membaca soal yang berikut, lalu garuk-garuk kaki lagi dan menggigit anak batu tulis di antara giginya. Tiba-tiba ia bersuara, “Mengapa Papa tidak duduk bersama mereka?”

“Papa mau baca di ruang kerjanya.”
“Mengapa Mama juga tidak?”
“Mama mau menemani kau.”
“Kita bisa duduk di luar, kan?”
“Mama katakan tadi, di sini lebih tenteram.”

Kembali si bocah diam. Kembali si bocah mengerjakan hitungan. Sebentar garuk-garuk kaki, sebentar menulis. Akhirnya, ia menguap dan hitungan selesai.

“Selesai, Mama,” katanya. Ibunya memeriksanya. Ia tersenyum karena tidak ada yang salah.
“Saya buatkan sepuluh lagi,” kata ibunya.

Ibunya membuat soal lagi. Ia duduk malas-malas lagi. Sambil membuat soal, ibunya bertanya, “Enak naik kuda tadi?”

Tiba-tiba Nizar duduk tegak dan matanya bersinar. Ia menyahut, “Saya memacunya berputar lapangan. Ia berwarna cokelat, bukan, Mama?”
“Ya, cokelat.”
“Tapi, Edi bilang merah. Saya bilang, jambu bisa merah, tapi kuda tak ada yang merah.”
“Maksud Edi hendak bilang cokelat juga.”
“Ya, memang cokelat.”
“Kau berlomba dengan Edi?”
“Ya, tiga kali terus-menerus.”
“Menang?”
“Ya, si Cokelat itu berlari seperti angin, bukan, Mama?”
“Ya, seperti angin.”
“Mama pernah lihat saya naik kuda?”
“Ya.”
“Seperti apa, Mama?”
“Seperti jenderal! Nah, ini kerjakan lagi.”

Segera si bocah tersenyum mendengar kata ‘jenderal’.
Ia kerjakan hitungan itu lebih cepat. Antara lama lagi, ia bersuara pula, “Aku senang jadi jenderal,” katanya.
“Kerjakan hitungan itu baik-baik,” kata ibunya tak peduli.
“Ismi kelak jadi apa, Mama?” tanya si bocah lagi.
“Jadi guru.”
“Mantri jadi apa?”
“Sebentar lagi jadi dokter.”
“Saya tidak suka dokter. Kelak ia mencabuti gigi Ismi, bukan, Mama?”
“Ah, tidak! Ia dokter telinga kelak.”
“Apa gunanya dokter telinga. Sedikit saja orang sakit telinga.”
“Mengapa tak kau pedulikan hitungan itu saja?” bentak ibunya.

Nizar tak memedulikan ia dan bersuara lagi. “Saya tak suka dokter telinga. Telinga orang tak pernah sakit. Seharusnya ia jadi jenderal …. Mama, Ismi baik-baik saja, bukan?”
“Tentu saja. Kau ini banyak omong. Kerjakan hitungan itu!”

Kembali Nizar mengerjakan hitungannya, sambil garuk-garuk kaki dan menulis seenaknya. Ibunya terus mengawasinya sambil menyongket, sampai tiba-tiba ia kehabisan benangnya. Ia berdiri akan mengambil benang ke kamarnya. Sebelumnya ia berkata dulu kepada Nizar, “Baik-baik kerjakan hitungan. Jangan salah. Saya mau ambil benang sebentar.”

Ia pergi mengambil benang dan Nizar masih terus membuat hitungan. Ia tak mengangkat mukanya pada ibunya. Sejurus kemudian ia seperti memikirkan yang lain dari hitungan itu. Ia menggigit bibirnya, lalu bangkit. Ia pergi ke pintu yang menuju kamar depan. Kemudian ia mengintip keluar dari lubang kunci.

Dari lubang kunci ia melihat Mantri duduk memeluk Ismi dan matanya yang terus-menerus menatap Ismi itu memanearkan eahaya yang aneh dan tidak bisa dimengerti, tetapi sangat dibencinya itu. Melihat itu ia tidak tahan lagi. Ia mengambil batu tulis dan anak batunya, lalu menyerbu ke kamar depan.

Mantri dan Ismi terkejut melihat ia datang. Tampak bahwa mereka sangat diganggu. Mantri menjauhkan dirinya dari Ismi. Ismi memandang dengan muram pada Nizar.
“Ismi,” kata Nizar pelan-pelan.
“Ada apa?” tanya Ismi dingin dan mengkal.
“Saya mau tanya hitungan ini.”
“Tanya sama Mama,” bentak Ismi.
“Mama ambil benang.”
“Ah, anak gila! Tanya sama Mama!”

Perkataan Ismi yang terakhir ini diiringi dengan tindakan mendorong Nizar ke kamar dalam. Sementara itu, ibu kembali dan memarahi Nizar atas perbuatannya.

“Tidak ingat kata saya, Nizar? Kau harus baik-baik membuat hitungan dan tidak mengganggu mereka.” Nizar terdiam, hampir menangis. Ia pergi duduk lagi, dan dengan separuh hati mengerjakan hitungannya. Ibunya mengawasinya saja.

Ketika ia menyelesaikan hitungannya, dan setelah hitungan itu diperiksa ibunya, ia ternyata membuat kesalahan dalam hitungan itu.
“Nah, salah dua. Kau akan kuberi sepuluh hitungan lagi.”
“Tidak mau,” kata Nizar sambil menelungkup di atas meja.
“Tidak. Sepuluh lagi,” kata ibunya bersikeras.
“Tidak mau,” Nizar berkeras kepala pula. Sekarang ibunya tahu, bahwa tak guna untuk mengikuti anaknya berkeras kepala.

Ia lalu berkata, “Marilah kita tidur saja, Nizar.” “Belum ngantuk!”
“Baik, kita berbaring-baring saja. Saya menemani kau. Ayo, kita bercerita nanti di ranjang.”

Nizar tak membantah ditarik ibunya ke kamar tidur.
Ia membuat sembahyang malam dengan pikiran tak terpusatkan, lalu dengan lesu membaringkan dirinya. Ibunya menyelimutinya.
“Belum ngantuk,” katanya.
“Kita berbaring-baring saja,” kata ibunya.
Lalu, ibunya ikut membaringkan diri bersamanya.

Badannya miring menghadap ke anaknya. Untuk sementara keduanya tidak mendapat bahan omongan. Namun, ibu itu mencoba memecah suasana itu.
“Saya kira kau memang cocok jadi jenderal, Nizar.”
“Ya, dan aku juga bisa nunggang kuda.”
“Kau akan jadi jenderal yang baik, ya?”
“Saya akan setinggi Papa dan gemuk juga. Saya akan selalu berdiri di muka. Orang-orang akan berkata, saya selalu berani dan selalu melindungi mereka. Dan, saya juga akan melindungi Ismi.”
“Mulai sekarang kau harus banyak makan supaya setinggi Papa.”
“Kalau Ismi ditawan raksasa atau perampok, saya akan menolong ia dan saya akan penggal kepala perampok itu.”
“Sekarang bukan lagi zaman raksasa atau perampok. Zaman itu cuma ada di buku. Kau sendiri belum pernah lihat raksasa, kan? Dan lagi, tak akan mungkin Ismi dirampok orang.”
“Entah. Saya merasa, mungkin Ismi akan dirampok orang. Kalau saya jenderal, saya harus melindungi Ismi dari segala bahaya.”
“Ya, tentu saja. Tapi, sekarang Ismi sangat berbahagia.”
“Mama, apa Ismi baik-baik saja, ya?”
“Tentu saja. Ada apa?”
“Saya kira ia sangat berubah.”
“Berubah bagaimana?”
“Seperti terpengaruh setan.”
“Terpengaruh setan?”
“Ia tidak mau menolong saya berhitung.”
“Oh, tentu saja sekarang tidak. Ia baru ada tamu.” Nizar merenung diam. Ia menguap dan membalikkan mukanya ke dinding. Ibunya membelai-belai rambutnya. Lama keduanya tak omong sepatah pun. Ibunya mengira ia telah tertidur. Mendadak ia bersuara lagi.
“Mama.”
“Ya? Eh, kau belum tidur?”
“Sungguh, Ismi baik-baik saja?”
“Kau aneh, ada apa?”
Ia diam sebentar, lalu berkata dengan suara dalam. “Mama, saya lihat mereka berdosa.”
“Berdosa?”
“Saya lihat mereka berpelukan.”

Ibunya tertawa dan tidak tahu bagaimana ia harus menerangkan hal itu. Nizar membalikkan dirinya dan berkata keras, “Saya tidak suka lihat cara Mantri pandang Ismi. Matanya aneh. Saya tidak suka itu.”
“Tapi, mereka tidak berdosa. Mengapa kau pikir mereka berdosa?”
“Pastor berkata itu dosa. Edi cinta Retno. Pastor tahu itu dan berkata Edi dosa.”
“Pastor berkata itu karena Edi anak kecil. Tapi, Ismi dan Mantri tidak dosa karena mereka sudah besar. Mereka mau jadi ayah dan ibu. Bukankah jadi ayah dan ibu tidak dosa? Bukankah Papa dan Mama tidak dosa? Kau pernah lihat Papa dan Mama berpelukan, tapi Papa dan Mama tidak dosa, kan?”

Nizar termenung. Ibu mencoba menerangkan lagi. “Anak keeil belum boleh kawin, sebab itu Edi tidak baik bercinta sekarang. Tapi, orang besar boleh kawin, jadi juga boleh bercinta. Santo Josef dan Santa Maria keduanya bercinta karena keduanya sudah besar.”

Nizar masih termenung. Lalu, ibunya bersuara lagi.
“Ibu sendiri tidak berpendapat bahwa anak kecil yang bercinta itu dosa, tapi tidak baik dan tidak ada gunanya, sebab belum boleh kawin, belum boleh jadi ayah dan ibu. Santo Josef ketika kecilnya banyak menolong dan melindungi Santa Maria, tapi mereka juga tidak bercinta, cuma bersahabat seperti saudara. Nizar dan Asni juga baik kalau bersahabat seperti saudara, tapi tak ada gunanya bercinta sekarang.”

Tiba-tiba Nizar membuka matanya lebar-lebar. “Kalau sudah besar boleh, Mama?” tanyanya.

Ibu itu sudah lama tahu, bahwa anaknya mencintai Asni, gadis kecil tetangganya. Ia membelai rambut kepala anaknya dengan mesra, lalu menjawab, “Ya, kalau sudah besar dan sudah jadi jenderal, boleh.”

Nizar berbalik ke dinding menyembunyikan mukanya. Ia tersenyum dengan bahagia dan puas sekali. Malam ini ia akan tidur dengan pikiran jernih dan mimpi yang teramat indah. ***

*) Cerpen ini pernah diterbitkan oleh Majalah KISAH, Juni 1956

Dr.H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. (7 November 1935 – 6 Agustus 2009) atau dikenal sebagai W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, pemeran dan sutradara teater berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, W.S. Rendra menulis puisi, skenario drama, cerpen dan esai sastra di berbagai media massa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak” ini, pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.

Baca : Di Pantai, Ada Luka Masa Lalu

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *