Perempuan Bulang Cahaya

Bang Long

Bismillah,

Bulang Cahaya merupakan novel Indonesia yang berlatar sejarah. Kehadiran novel yang diterbitkan pada 2007 ini telah menyemarakkan dinamika sastra di tanah air. Bahkan, novel berlatar sejarah mendapat perhatian khusus dari kritikus sastra seperti Maman S. Mahayana. Dalam catatan Maman S. Mahayana, pemanfaatan peristiwa sejarah sebagai latar cerita baru disentuh oleh Taufik Ikram Jamil dalam novel Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001), Nur Sutan Iskandar dalam novel Hulubalang Raja, Utuy Tatang Sontani dalam Tambera, Mangunwijaya dalam novel Burung-Burung Manyar, dan Pramoedya Ananta Toer dalam novel tetralogi Bumi Manusia. Penghadiran peristiwa berlatar sejarah oleh Rida K. Liamsi dalam Bulang Cahaya berarti telah membidik suatu peristiwa kebudayaan yang pernah terjadi di masa lampau. Collingwood dalam Rahamad mengatakan bahwa sebagai suatu dikatakan sejarah apabila tiga dari empat ciri sejarahnya sudah terpenuhi. Keempat ciri sejarah itu adalah (1) saintifik atau bermula dengan mengemukakan persoalan-persoalan, (2) tentang kemanusiaan atau mengemukakan perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada waktu-waktu tertentu di masa lalu, (3) rasional atau jawaban-jawaban yang diberikan kepada persoalan-persoalan yang ditimbulkan didasarkan pada bukti-bukti, dan (4) menjelaskan diri atau ia wujud untuk memberitahu manusia: Apakah manusia itu, dengan cara memberitahu apa-apa yang telah dilakukan oleh manusia.

Hakikat karya sastra bukan semata-mata imajinasi. Kelahiran karya sastra juga tidak terlepas dari pengamatan, riset, atau survei yang dilakukan oleh sastrawan. Bahkan lebih jauh, sastrawan bisa melakukan riset kepustakaan dan perenungan panjang serta perbandingan untuk melahirkan karya yang bermutu. Penghadiran karakterisasi tokoh, misalnya, bisa dilakukan dengan ketelitian yang mendalam apalagi jika karyanya berkaitan dengan latar belakang sejarah seperti Bulang Cahaya.

Hal yang menarik perhatian penulis dalam novel Bulang Cahaya adalah eksistensi tokoh perempuan. Penghadiran karakterisasi perempuan dalam sastra bukan hal baru. Sejak berabad-abad, perempuan selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi sastrawan. Sadar atau pun tidak, penghadiran tokoh perempuan dalam karya fiksi bermakna memberikan unsur ”keindahan” tersendiri. Bukan hanya itu, perempuan pun bisa menjadi tokoh sentral, baik dalam sastra Indonesia maupun mancanegara. Penulis novel ini, Ridak K. Liamsi menyadari akan pentingnya kehadiran tokoh perempuan dalam karyanya. Kehadiran tokoh perempuan bukan hanya sekedar dalam keindahan sensual dan duniawi. Dalam buku Kimia Kebahagiaan teori al-Ghazali, keindahan sensual dan duniawi merupakan keindahan terendah yang berkaitan dengan hedonisme dan materialisme (lihat Abdul Hadi W.M., 2004:41). Persoalan-persoalan yang ditelaah dalam feminisme, menurut Endraswara, berkaitan dengan beberapa hal, yaitu (1) kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra, (2) ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan, dan (3) memperhatikan faktor pembaca, khususnya bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra. Selanjutnya, Endraswara mengatakan salah satu sasaran penting analisis feminisme sastra berkaitan dengan mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria (2008:146). Penulis novel ini dalam epilognya menyatakan, ”Sungguh luar biasa seorang perempuan. Meskipun Tengku Buntat bukan setara Cleopatra. Bukan standing puteri Mumtaz Mahal, tapi tragedi cintanya mungkin dapat disamakan dengan tragedi cinta Helen dari Troya, sebuah legenda tentang cinta” (2007:319). Kalimat pertama dalam kutipan ini jelas sekali bahwa Rida mengakui kekagumannya kepada perempuan. Kedudukan perempuan menjadi sangat penting di mata pengarang pria ini. Kekaguman ini merupakan bukti profeminisme yang luar biasa. Diksi tragedi dalam kisah ini menjadi penanda bahasa bahwa kisah ini mengundang kepedihan bagi Tengku Buntat dan Raja Djaafar. Percintaan mereka kandas bukan karena ketidaksetujuan kedua orang tua. Ketidaksampaian cinta di kalangan kerajaan ini dikarenakan peristiwa politis antara Melayu-Bugis. Ini mengisyaratkan bahwa demi keutuhan suku-suku di tanah air, pengorbanan cinta pun bisa menjadi solusi. Secara sadar, Rida dalam novelnya ini mengetengahkan betapa besarnya peranan dan keberanian perempuan dalam peristiwa pengorbanan. Rida membuktikan bahwa perempuan sangat kuat. Menurut Hellwig, novel dan cerita yang ditulis perempuan tidak berdaya polanya. Malahan, lebih banyak penulis laki-laki yang menggambarkan tokoh perempuan secara lebih positif dan lebih memberdayakan” (2003:vi). Rida juga mengakui akan kebesaran perempuan melalui tokoh Raja Ikhsan dalam epilognya, ”…. Di setiap peristiwa besar, selalu di sana ada peranan perempuan” (2003:319).

Bulang Cahaya menolak anggapan subordinasi perempuan. Kedudukan dan peranan perempuan dalam novel ini sungguh hebat. Tokoh utamanya, Tengku Buntat, walaupun dihimpit berbagai kepedihan percintaannya dengan Raja Djaafar, tetap menjalaninya dengan penuh kesabaran. Kita tahu bahwa kesabaran memiliki kedudukan tinggi di mata Allah Taala. Namun, kekuasaan politik pun terbukti mengintervensi jalinan kasih sayang. Di sini kita memahami bahwa kekuasaan politik mampu membunuh sisi kasih sayang sebagai nilai moral kemanusiaan. Gambaran kekuatan Tengku Buntat terlukis dalam kutipan berikut: …. ”Tapi Buntat tidak terlalu suka yang main terkam. Dia lembut, perasa” (hlm. 35). Kondisi inilah yang menyeret posisi perempuan seperti Tengku Buntat ke arah marjinalisasi. Dalam kasus ini, kekuatan perempuan bukan terletak pada kemampuan fisik, tetapi lebih kepada kekuatan perasaan. Semakin kuat menanggung kepedihan, bermakna seorang perempuan seperti Tengku Buntat terkesan semakin kuat menjalani kehidupan.

Selain Tengku Buntat, tokoh perempuan lain yang mendapat perhatian Rida K. Liamsi, yaitu Raja Hamidah atau Engku Puteri. Raja Hamidah juga merupakan tokoh sejarah, selain sebagai permaisuri Sultan Mahmud dan adik Raja Djaafar. Dalam catatan sejarah Hasan Junus (2002), Raja Hamidah lahir pada 1774. Beliau merupakan anak perempuan pertama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga IV (1778-1874). Ibunya adalah dari Perak, puteri Daeng Kamboja. Ketika dilahirkan, ayahnya, Raja Haji masih berstatus Kelana Putera Jaya, iaitu jawatan bakal Yang Dipertuan Muda. Tugasnya menjaga ceruk rantau, dan memerangi musuh. Sebagai puteri seorang panglima, maka Raja Hamidah telah dibesarkan dalam tradisi istana, kebangsawanan, dan tradisi perang. Dalam novel ini, Rida K. Liamsi juga menegaskan bahwa Raja Hamidah merupakan perempuan penting dalam kepemimpinan sebagai pemegang Regalia Kerajaan. Karakter perempuan bertanggung jawab sangat melekat pada tokoh Raja Hamidah.

”Tapi Engku Puteri tetap menolak dan tidak setuju. Keputusan menetapkan jabatan Sultan itu, kerja besar, tak boleh melanggar adat-istiadat,” katanya sambil menggertapkan giginya. Engku Puteri merasa harus berjuang habis-habisan mempertahankan pendapatnya, karena dialah pemegang Sirih Besar, Regelia Kerajaan” (2007: 272).

Regalia dalam bahasa Latin plurale tantum yang memiliki arti hak istimewa dan karakteristik dari lambang penguasa. Sirih Besar merupakan simbolisasi dari Regalia Kerajaan yang dijabat Engku Puteri sebagai amanah. Amanah merupakan tanggung jawab besar dan itu tertanam di dalam sanubari perempuan di lingkungan pemerintahan. Selain itu, Engku Puteri juga sosok yang taat adat. Keputusan penetapan suatu jabatan sejatinya sesuai dengan kemampuan pejabatnya. Jika keputusan penetapan jabatan tidak sesuai dengan adatnya atau kemampuannya, di sinilah terjadi proses pelanggaran adat. Pelanggaran ini sangat berisiko terhadap jalannya kepemimpinan dan pemerintahan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih menemukan pejabat yang menjabat tidak sesuai dengan bidangnya. Inilah biang kehancuran. Karakter Engku Puteri ini mengandung pesan sangat menarik bagi pemangku jabatan atau pemimpin. Ini membuktikan bahwa perempuan juga memiliki ketegasan dan kekuatan luar biasa jika diberikan amanah kepadanya.

Ketika kita hendak mempelajari sejarah, jalan terbaik adalah melalui karya sastra berlatar sejarah. Karya sastra berlatar sejarah mematikan kekakuan dan kebosanan ketika kita membaca buku-buku sejarah. Bahasa sastra yang estetik akan membantu para pembaca untuk lebih betah memahami sejarah yang tertuang dalam karya sastra. Inilah bentuk transformasi teks yang tergambar di dalam novel Bulang Cahaya. Sebagai karya sastra, novel ini jelas sebagai dokumen sosial-budaya bangsa Melayu-Bugis yang pernah terjadi di masa lampau. Melalui novel ini, Rida K. Liamsi seakan menghidupkan kembali sejarah kerajaan dan kebudayaan serta sumpah setia Melayu-Bugis di masa lalu. Tentu saja karya ini menjadi suatu hal positif bagi generasi kini sebagai pembacanya. Richard Hoggart dalam Teeuw mengatakan, sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya, dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang sarat objek (2003:195). Novel ini telah menghidupkan kembali jejak-jejak bersejarah suatu imperium besar Melayu-Bugis ke masa kini. Jejak-jejak yang ditransformasi itu mencakup peristiwa, tokoh-tokoh besar sebagai pelaku kekuasaan, deretan latar, dan karakter-karakter agung pada beberapa tokoh yang patut diteladani. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 27 Ramadan 1444 / 18 April 2023

Baca: Wajah di Roti Panggang

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews