Cerpen Muhammad Zahidun: Got

INILAH kampungku. Kampung kecil yang terletak di pinggir pasar dengan keramaian angkutan kota. Kampung yang di ujungnya dibatasai oleh sungai yang sering meluap. Halaman-halaman yang tak terawat dengan parit yang kecil. Air akan semakin sulit mengalir karena begitu banyak rumput dan batu. Belum lagi sampahsampah plastik yang berbaris membuat air jadi mampet. Sampah yang diberikan oleh anak-anak kecil, yang tak satu orangtua melarang mereka membuang sampah sembarangan. Lebih memprihatinkan lagi jika melihat ke bawah titi panjang di perumahan. Yang sampahnya bagaikan tamu kehormatan berdampingan dengan kayukayu kecil. Jika hujan turun dengan lebat, airnya akan meluap dan masuk sampai teras rumah. Dan setelah hujan reda, maka yang tersisa hanya pemandangan kotor dan bau tak sedap.

Tak terasa rumahku sudah ada di depan mata. Rumahku sendiri berjarak kurang lebih seratus meter dari simpang. Rumahku tak begitu besar. Begitu juga halamannya, dan begitu pula paritnya. Kecil dan sempit.

Kini saatnya memanjakan diri dengan makan dan nonton TV. Cukup lama kegiatan ini kulakukan. Hingga jam empat, dan pada saat itu pulalah hujan turun. Hujan ini begitu lebat. Dan kini saatnya beriap-siap. Bersiap pada air yang masuk ke teras, dan menyisakan kotoran ketika reda. Bersiap menahan bau yang akan tercium nantinya.

Hujan ini benar-benar lebat, dan baru berhenti jam enam sore. Dan benar saja, kini di teras rumahku sudah banyak sekali kotoran. Kotoran ini semakin diperparah, dengan mengudaranya bau tak sedap. Ini adalah hal yang biasa di kampungku. Sangking biasanya, tak ada yang membuatnya berubah.

Bau ini akan terus tercium lebih kurang satu jam. Itu kalau disiang hari. Tapi kalau sudah sore begini, biasanya akan hilang setelah berjam-jam.

“ Ali……. Ali……..,” panggil seorang ibu dengan nada ketakutan. Suaranya memecahkan keheningan sore itu.

Lantas aku mendatanginya dan menanyakan apa yang terjadi. “Kenapa Ali, Bu?”

“Nampak Ali nggak? Belum pulang-pulang dia. Budi yang terakhir sama Ali ditanya kemana abangnya, jawabnya nggak tahu,” katanya dengan wajah yang begitu cemas.

“Nggak, Bu,” kataku.

“Oh, ya udah. Makasih ya Angga.”

Dengan tergesa-gesa dan air mata yang bercucuran ia berlari dan meminta tolong pada para warga untuk mencari Ali. Aku juga ikut membantu. Setengah jam kami mencari, tapi tak ada tanda-tanda dari Ali.

“Oh ya, ayam-ayamnya belum dikandangin,” kataku.

Kemudian aku berlari menuju rumah. Untung saja ayam-ayamnya sedang berkumpul. Dengan cepat aku menggiring mereka semua ke kandang. Azan maghrib sudah dikumandangkan. Pencarian Ali dihentikan. Aku segera membrsihkan diri.

Kira-kira, jam tujuh malam, pencarian Ali dilakukan lagi. Kulihat beberapa orang ada yang membawa alat-alat dapur. Panci, sendok, wajan, dan sebagainya yang dapat menghasilkan bunyi. Sedangkan aku dan teman-teman hanya bermodalkan suara keras dna tepukan tangan. Malam minggu ini pasti akan sangat ramai. Tapi bukan ramai karena pasangan yang sedang kasmaran. Tapi karena jeritan kami.

Pencarian kami yang diiringi bau tak sedap dilakukan di berbagai penjuru kampung.aku dan teman-teman memulai pencarian di belakang rumah Ali. Kami tak menemukan apapun disana. Kemudian melanjutkan ke setiap halaman belakang rumah warga. Kamu juga tak menemukan apa-apa. Setelah selesai menjelajahi rumah warga, kami mencari di sekitar perumahan. Jalan-jalan perumahan kami telusuri tanpa ada yang terlewatkan. Tapi, sekali lagi, Ali tak juga ditemukan. Namun saat akan melanjutkan pencarian ke tempat lain, langkahku sempat terhenti ketika akan meninggalkan perumahan. Ada sesuatu hal yang membuatku berpikiran aneh tentang keberadaan Ali.

Kami cari di sela-sela pohon. Yang kami temukan hanya binatang malam yang sedang menunggu mangsa di sana. Sudah seluruh penjuru kampung kami telusuri. Tapi Ali tidak juga ditemukan. Lelah sekali kami mencari tapi tidak juga membuahkan hasil. Kudengar Bu Parmi dan suaminya pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kehilangan Ali. Syukurlah mereka tak pergi ke dukun. Kampungku ini walau kecil, sudah tak percaya lagi pada yang namanya dukun.

Malam semakin larut. Banyak warga yang sudah menghentikan pencarian. Malam minggu ini benar-benar ramai. Ramai akan suara jeritan warga. Semua warga sudah pulang. Pencarian Ali sudah dihentikan. Mungkin akan disambung besok pagi.

Namun masih ada bapak-bapak yang begadang dan ronda malam ini. Aku dan temanteman juga memutuskan untuk pulang. Kelelahan ini menggiring kami ke kediaman masing-masing.

Saat akan menuju ke rumah, langkahku kembali terhenti. Langkahku dihentikan oleh sesuatu yang kurasakan tadi saat akan meninggalkan perumahan. Sesuatu yang kurasakan ini, seolah-olah memberi tanda, tentang keberadaan dan keadaan Ali saat ini.

Yang kurasakan saat berjalan adalah bau. Tapi bukan bau yang ditimbulkan oleh hujan tadi. Kali ini bau berbeda, agak lebih busuk. Bau bangkai tepatnya, dan sepertinya hanya aku yang mencium bau itu. Entah karena penciumanku yang tajam, atau para warga yang sedang pilek, tak ada satupun yang mengeluhkan tentang bau bangkai ini.

Bau bangkai ini, jika dihubungkan dengan kehilangan Ali, sangat berkaitan. Kemungkinan saat ini Ali sudah tiada. Dan seseorang membuang jasadnya di satu tempat di kampungku ini. Tapi siapa orang yang sangat tidak bermoral, yang melakukan kejahatan pada anak berusia enam tahun itu?

Kalau ditelusuri, keluarga Bu parmi memang punya musuh di kampung ini. Yaitu Bu Tia. Permusuhan mereka dimulai karena Pak Amir, ayah Ali, pernah memotong pohon jambu yang ditanamnya. Katanya daun-daun yang berguguran masuk ke pekarangannya. Potongan kayunya lantas mengenai lima pot bunga kesayangannya. Sampai saat ini ia masih menyimpan dendam pada Pak Amir

Tapi musuh Pak Amir, tidak hanya satu. Ada satu lagi yang juga tidak senang dengan kelakuan Pak Amir. Yaitu Pak Joko, yang tidak lain adalah ayahku. Permasalahan mereka terjadi karena perebutan tanah yang terjadi dua tahun yang lalu.

Sampai di rumah, aku semakin pusing. Ayahku, sebagai salah satu yang kucurigai melakukan perbuatan ini, menunjukan wajah ketakutan. Ketakutan akan sesuatu yang dapat membuat keluarga ini berantakan. Aku tak berani bertanya padanya. Apalagi menanyakan hubungan ketakutannya dengan masalah Ali.

Kecurigaanku beriringan ketakutan memuncak. Ketika kulihat di dapur, hanya ada dua pisau di sana. Ini semakin membuatku takut. “Kutanya nggak ya? Nanti Ayah marah pula. Bilang sama Ibu ajalah. Ah, marah juga nanti. Jadi bilang sama siapa. Tulis di kertas terus dibakar, kurang kerjaan kali. Ah, pusing pun, mudah-mudahan besok udah ada jawabannya,” kataku.

***

Pagi ini tetap seperti biasa. Aku kesiangan lagi. Jam enam aku baru bangun tidur. Kubuka jendela kamarku. Tapi saat kubuka jendela, wajahku seakan tertampar, hidungku seakan ditekan, aku mencium bau bangkai yang begitu dahsyatnya. Kututup kembali jendelaku. Tapi ternyata bau masih tercium juga. Kali ini baunya datang dari ruang tamu. Jendelanya dibuka lebar-lebar. Sekarang aku makin yakin, seperti keyakinan orang kampung yang akan terusik dengan bau ini. Bau yang tak biasanya ini. Pembunuhan.

Ada kegaduhan di luar sana. Terdengar suara tangisan histeris seorang wanita yang menanyakan keberadaan anaknya. Aku bermaksud menuju tempat itu. Tapi saat akan keluar, lagi, kulihat raut wajah ketakutan dari ayahku. Aku semakin pusing.

Benarkah ayahku yang melakukan semua ini. Tapi kenapa ia tak mau bercerita pada kami. Takut kalau kami sedih. Tapi aku akan lebih sedih jika tahu di akhirnya. Kutinggalkan kepenatan rumah. Aku menuju keluar. Ternyata Bu Parmi sedang bertanya dengan tangisan yang begitu derasnya pada Bu Tia tentang keberadaan anaknya. Ia merasa bahwa Bu Tia telah melakukan sesuatu pada anaknya.

Tapi Bu Tia menolak. Ia punya alibi yang cukup kuat. Tapi Bu Parmi tak percaya. Aku sendiri dan kebanyakan warga percaya dengan yang dikatakan Bu Tia. Perdebatan itu cukup lama. Namun perdebatan tidak membuat warga berhenti mencari Ali.aku ikut mencari dengan kepenatan. Di kepalaku saat ini ada sejuta pertanyaan untuk ayahku. Sejuta misteri tentang ketakutan ayahku. Ditambah lagi dengan bau bangkai yang membuat pencarian terhambat. Aku pusing, sungguh sangat pusing. Benarkah ayahku pembunuh? Kenapa keadaan ini terjadi padaku? Kenapa keluargaku menjadi penyebab keadaan yang kacau ini? Pertanyaan ini terus berputar di kepalaku.

Biarlah, semoga waktu nanti yang menjawabnya. Tapi tetap saja aku pusing. Kenapa ayahku tak bercerita sedikit saja tentang masalahnya? Aku akan tetap menerimanya sebagai ayhaku, walau kenyataannya dia yang melakukan semua ini. Aku mencari Ali dengan kegilaan. Gila akan pertanyaan dan sejuta misteri tentang ayahku.

Pencarian pagi ini diliputi ketakutan. Ada yang aneh pada semak-semak di samping rumah warga. Pohon-pohonnya tertidur. Seperti tertimpa suatu benda di atasnya. Penasaran, kami pun menuju tempat itu. Sulit sekali mencapai tempat itu. Pikiranku diselimuti ketakutan. Begitu juga orang-orang yang ada di sana. Terlihat dari raut wajah mereka. Ketakutan akan sesuatu hal yang dapat membuat semua orang menangis. Terutama keluarga Ali. Bu Parmi sepertinya akan semakin histeris jika tahu hal ini.

Hampir sampai kami ke tempat itu. Bau semakin kuat tercium. Ketakutan semakin memuncak. Tiba-tiba terlihat warna putih di sana, dan kami mendekatinya. Ternyata itu adalah karung. Karung itu berisi sesuatu di dalamnya, dan diikat tali di ujungnya.

“Apa sih itu? Jangan-jangan, isinya……” pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Aku semakin takut. Takut kalau semua ini adalah bagian dari pekerjaan ayahku.

Karung itu kemudian dibuka. Tapi ikatannya sangat sulit dilepaskan. Hal ini makin membuatku berpikiran yang aneh-aneh. Berganti orang lagi, tidak juga bisa dibuka. Kulihat Rudi berlari keluar dari tempat itu. Ternyata ia pulang untuk mengambil pisau. Kemudian ia memotong ikatan itu. Setelah dibuka, wajahnya tampak tak beraturan. Antara marah, sedih, bau, tak jelas. Kemudian ia menunjukkan isi karung itu pada kami. Ternyata isinya hanya sampah yang bukan main busuknya.

Pencarian Ali dihentikan jam dua belas siang. Bau ini masih tercium saja. Angin pun seakan tak bersahabat. Hembusannya begitu kencang hari itu. Begitu kencangnya hingga membuat debu-debu beterbangan dan membuat bau ini begitu tercium.

Di rumah bukan ketenangan yang kutemukan setelah lelah mencari. Tapi, lagi, raut takut ayahku yang kudapati. Haruskah kutanya padanya apa sebabnya? Tapi aku takut kalau pertanyaanku bisa membuat sakit hatinya. Pusing. Cuma itu yang ada di kepalaku.

***

Istirahat yang berlangsung selama dua jam, dibayar dengan kembali mencari Ali lagi. Kabar dari polisi sampai saat ini masih belum ada. Begitu juga keadaan ayahku yang semakin membuatku pusing. Sampai jam lima sore pencarian masih dilakukan. Aku sendiri dan teman-teman beristirahat sejenak. Tapi bau ini, sedikitpun tak pernah beristirahat. Ia terus saja mengelilingi dan menyelimuti kami dengan ketakutan. Kejadian ini adalah sejarah terkelam bagi kampung ini.

Sudah jam enam, aku memutuskan untuk pulang sebentar. Aku yang terburuburu untuk pulang karena harus mengandangkan ayam, tiba-tiba dikejutkan dengan hilangnya pisau yang kubawa. Kucari terus, ternyata jatuh di parit.

“Bau kali di sini,” kataku.

Tak mau ambil pusing, aku langsung menuju ke rumah. Sampai di rumah, aku tak melihat Ayah. Kata Ibu, ayahku pergi. Aku semakin takut. Aku semakin pusing. Sepertinya kejadian di kampung ini punya hubungan erat dengan keluargaku.

Kemudian aku menuju ke kandang. Kulihat di sana sudah satu ayam masuk di sana, tinggal lima lagi. Kutunggu lama sekali, hanya tiga ayam yang datang. Lama sekali ayam yang lain kembali. Kuputuskan untuk mencarinya.

Pencarianku diiringi oleh bau yang aneh ini. Diiringi oleh kepergian ayahku dengan sejuta misterinya. Kucari ke rumah warga, ke belakang rumah, tak ada. Lalu aku ke ladang di belakang rumahku. Ternyata ada satu ayam di sana. Kugiring ia ke kandang dan akhirnya masuk. Tapi ada yang kurang, tinggal satu ayam lagi, kutanyakan pada ibuku tentang ayam yang satu ini.

“Mak, ayam yang putih mana? Kok nggak ada?” kataku.

“Carilah, nggak tahu Mamak,” sahut ibuku.

Sambil mencari aku kembali ke tempat berkumpulnya orang-orang yang mencari Ali. Aku yang menghadap ke utara, tiba-tiba melihat tiga orang yang salah satu dari mereka tidak asing bagiku. Ada dua orang tua di sana, dan satu anak kecil yang wajahnya kukenal.

“Eh, itu kan Ali,” kataku.

“Eh, iya. Bu Parmi, itu Ali, Bu,” kata Rudi sambil berlari menuju ke rumah Bu Parmi.

Bu Parmi pun keluar lalu berlari menuju anaknya dan menciuminya dengan begitu senangnya.

“Dari mana aja nak? Kok nggak bilang Mamak?” kata Bu Parmi.

“Dia kan Mamak bawa ke rumah. Dia kan mau masuk SD, jadi Mamak ajak untuk belanja,” kata perempuan tua yang bersama Ali yang ternyata adalah neneknya.

“Mamak kok nggak bilang dulu sama aku?” tanya Bu Parmi dengan wajah yang ditekuk.

“Kan udah bilang sama Budi. Mamak mau ke sana, cuman udah sore kali. Apalagi bapakmu mau pulang. Mana kayaknya hujan mau turun lagi,” jelas nenek Ali.

“Kok nggak telepon aku?”

“Telepon dari mana, orang nggak ada telepon di rumah.”

“Ya, udahlah,” kata Bu Parmi dengan nada lelah.

“Udah, nanti lain kali, Mamak bilang dulu.”

“Ya, jangan bilang sama Budi, mana tahu-tahu dia,” kata Bu Parmi sambil mengajak mereka ke rumahnya.

Jika Ali sudah ditemukan, lantas bau bangkai apa ini? Kenapa bau ini masih ada? Jangan-jangan masih ada pembunuhan lain di sini. Dan tersangkanya masih berkeliaran di kampung ini. Dan tentang ayahku, masih belum jelas ketakutannya dan kepergiannya. Atau ia sedang merencanakan sesuatu. Aku benar-benar pusing.

Sebenarnya ada apa dengan ayahku. Keluargaku sepertinya memang punya hubungan erat dengan kejadian di kampung ini. Tapi para warga seakan tak perduli lagi dengan bau ini. Aku yang masih penasaran, terus saja mencari asal bau ini. Sambil mencari satu ayamku lagi, kuputarputar kepalaku untuk menemukan asal bau ini. Tapi sulit sekali menemukan asal bau ini sesulit menemukan ayam yang sakit satu ini.

“Jangan-jangan………….?”

Langsung aku ambil senter. Lalu berlari menyusuri jalan ini diiringi oleh pintu-pintu rumah yang tertutup dan lampu-lampu yang menyala. Langkah kakiku diikuti oleh suara azan Maghrib yang saling sahut-menyahut beserta bau yang berkeliaran. Aku menuju ke tempat itu, tempat di mana pisauku jatuh.. sambil menutup hidung dan menyalakan senter, dan mengarahkannya tepat di bawah titi panjang itu, tempat gelap penuh sampah. Aku menemukan jawabannya. ***

*) Cerpen ini dikutip dari laman Balai Bahasa Sulawesi Selatan

Baca: Cerpen Putri Annisa Melia Sari: Tembong

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews