Opini  

Kesalahan Besar: Mengaitkan Agama dengan Terorisme

agama

PRESIDEN Jokowi ddampingi Wakil Presiden Maruf Amin beserta Tokoh Lintas Agama, telah mengadakan konprensi pers yang intinya mengecam keras pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang menghina agama Islam dalam menyikapi pembunuhan oleh seorang Islam bernama Abdullah Abzorov kepada seorang guru Prancis bernama Samuel Pati, yang mengajarkan kebebasan berekspresi, dengan menunjukkan karikatur Nabi Muhamad SAW yang dia ambil dari Majalah Satir Charlie Hebdo.

Namun demikian, pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengecam keras pembunuhan yang terjadi di Paris itu maupun pembunuhan yang terjadi di Nice Prancis.

Dari Kronologi tersebut, sebetulnya ada tiga kata kunci, Pertama: ”Kebebasan berekspresi yang kebablasan karena dengan melecehkan keyakinan agama lain”

Kedua: “Tindakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah dbenarkan oleh agama manapun”. Ketiga: ”Menghina agama lain dan mengaitkan dengan terorisme”

Sebetulnya tragedi demi tragedi yang muncul akibat masalah seperti diatas, sudah sering terjadi. Namun kali ini, mendapat perhatian luas karena seorang Presiden dari negara maju bernama Immanuel Macron, menyikapi dengan emosional yang justru cenderung menghina agama lain.

Yang tentu perlu sikapi dengan serius adalah jika seorang Presiden dari sebuah negara maju, masih mempunyai pandangan yang keliru tentang Islam, maka pasti ada sesuatu yang salah, minimal komunikasi internasional yang selama ini menjadi domain dan menjadi tempat berhimpun negara-negara Islam OKI (Organisasi Kerjasama Islam yang ddirikan d i Rabat-Maroko 25 September 1969 dan beranggotakan 57 negara. Serta memiliki perwakilan resmi PBB) tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Negara yang berpenduduk muslim terbesar dunia? Apakah hanya cukup mengecam jika ada tragedi?

“Indonesia seharusnya bisa berperan besar menjadi komunikator yang baik, dengan negara-negara lain di dunia”.

Selain karena Islam yang dpahami adalah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, juga sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yakni Menjaga Toleransi Antar Agama dan Membangun Toleransi Antar Umat Beragama. Sehingga stigma Islam sebagai agama radikal bisa hilang dengan sendirinya.

Syahdan, ketika Sultan Muhamad Al Patih (Mehmet II) berhasil merebut konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453, penduduk yang beragama Kristen berlari ketakutan dan berkumpul di HagaSovia. Mereka membayangkan akan dbinasakan oleh Sultan yang merupakan turunan ketujuh Kesultanan Ottoman yang berusaha merebut Constantinopel. Namun apa yang terjadi, di depan masyarakat, Sultan berjanji melindungi mereka (saat itu Romawi Timur dan Romawi Barat juga dalam keadaan bermusuhan) serta tetap menjamin kebebasan mereka untuk memeluk agamanya.

Saya tidak tau persis lembaga apa yang seharusnya mengambil peran ini. Namun Pemerintah kita punya Kementerian Agama, Majeis Ulama Indonesia, belum lagi organisasi-organisasi Islam yang merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam mensyiarkan Islam yang Rahmatan lil Alamin itu.

Serta Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang punya group kerjasama bilateral atau Majelis Permusyaratan Rakyat Indonesia yang terus mensosialisasikan Nilai-Nilai Empat Pilar Kebangsaan.

Yang jelas: ”Saatnya masyarakat dunia diberikan pemahaman dan merubah persefsi mereka, bahwa mengaitkan agama dengan radikalisme maupun terorisme adalah kesalahan yang besar”. ***

Oleh : Ir HM Idris Laena MH
(Ketua Fraksi Golkar MPR RI)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *