Max Havelaar & Indonesia Terkini

krisis Kesusasteraan

MAX Havelaar (MH), dengan anak judul atau Lelang kopi Maskapai Dagang Belanda, adalah judul sebuah novel satiris karya Multatuli, yang terbit pertama kali tahun 1860 dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Indonesia novel ini pertama kalinya terbit tahun 1972 dengan penerjemah HB Jassin (Max Havelaar, ISBN 979-428-586-2, 2005 : V).

Multatuli adalah sebuah namapena dari Eduard Douwes Dekker (EDD), seorang mantan pegawai pemerintahan kolonial Belanda di Hindia Belanda (nama Indonesia masa itu), dengan jabatan terakhir sebagai seorang asisten residen. Multatuli sendiri (dari bahasa Latin multa tuli) bermakna “aku telah banyak menderita” (MH: XV). Lahir 02 Maret 1820 di Amsterdam Belanda, meninggal 19 Februari 1887 di Ingelheim am Rheim Jerman. Tahun 1838 EDD ikut bekerja sebagai kelasi di kapal ayahnya yang berlayar ke Hindia Belanda, dan kemudian tinggal di Batavia. Berkat bantuan relasi ayahnya, EDD tak lama kemudian berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai ambtenaar (amtenar, pegawai negeri). Tapi rupanya pekerjaan itu tidak bersesuaian dengan jiwanya, sehingga ia justru mengalami banyak konflik dan penderitaan, sampai mengundurkan diri tahun 1856 dan pulang ke Eropa tahun berikutnya. EDD punya seorang cucu-kemenakan (yang kadang disalahtafsirkan sebagai dirinya sendiri) yang bernama Ernest Douwes Dekker. Dia adalah seorang pahlawan nasional yang di negara kita lebih dikenal dengan nama Danudirja Setiabudi.

Max Havelaar adalah novel pertama EDD, sekaligus sebagai sebuah semi-autobiografi, dan juga pertanggungjawaban. Novel ini seperti ditulis oleh tiga orang (aku-narator), yaitu: Batavus Droogstoppel, Ernest Stern, dan Max Havelaar sendiri. Suatu hari tanpa disangka-sangka Droogstoppel yang seorang makelar kopi di Amsterdam bertemu dengan teman kecilnya semasa sekolah, Max Havelaar, yang belakangan digelarinya sebagai Sjaalman. Tetapi Droogstoppel merasa tidak nyaman dengan pertemuan itu karena ia mengganggap mereka sekarang sudah berada di level yang berbeda. Saat itu Sjaalman memang sedang berada dalam keadaan sosial-ekonomi yang terpuruk. Pada kondisi seperti itu Max/Sjaalman berpikir hanya tulisan-tulisannyalah yang mampu menyelamatkan kehidupannya. Karena itu Max kemudian menitipkan sekarung manuskrip/naskah tulisannya dengan berbagai judul itu pada Droogstoppel dengan harapan temannya itu bersedia membantunya untuk menerbitkan beberapa di antaranya.

Droogstoppel (yang bermakna “si kersang hati”), seorang makelar kopi yang sukses, yang tinggal di Lauriergracht No. 37 (rangkaian identitas ini selalu diulang-ulang), pada mulanya amat skeptis dengan tumpukan naskah Max yang menurutnya sangat mengganggu itu. Kalau ditilik dari daftar yang disusun dari halaman 30 hingga 37 buku itu ada lebih dari seratus judul atau topik naskah yang disusun Max, dari berbagai bidang keilmuwan. Melihat luasnya bidang pengetahuan – atau sekurang-kurangnya minat – Max, maka tak pelak Max/Multatuli/EDD juga semodel dengan Jose Rizal sang bapak bangsa Filipina; yaitu seorang polymath. Tetapi Droogstoppel tak terkesan sama sekali dengan tumpukan manuskrip itu, sampai dia menemukan naskah novel yang memiliki latar kisah berkenaan dengan kopi.

Berkat naskah itulah pandangan Droogstoppel terhadap Max sedikit berubah, sehubungan dengan pengetahuan Max hal perkopian di tempat asal kopi, yaitu Hindia Belanda. Ia pun bersetuju untuk menerbitkan naskah itu, namun dengan terlebih dahulu melakukan penyuntingan yang dianggapnya perlu. [Baca juga pandangannya kemudian soal Max Havelaar dalam MH: 83-84]. Droogstoppel lalu menugaskan Stern, karyawan magang yang adalah anak dari Ludwig Stern, pelanggan besar kopinya di Jerman, untuk menyusun naskah itu kembali, tetapi rupanya Stern yang masih muda itu punya jalan pikiran sendiri sehingga ia pun memasukkan beberapa gagasannya ke dalam naskah, yang sebenarnya tak disukai Droogstoppel (karena baginya sastra adalah serangkaian kebohongan semata), tapi dia tak bisa banyak melakukan apa-apa mengingat bisnisnya dengan Ludwig. Diceritakan jejak Max sebagai aku-narator ketiga hanya tampak pada bagian-bagian akhir roman.

Menurut Dr. Gerard Termorshutzen yang memberikan Kata Pendahuluan, roman ini “mengandung gugatan yang tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa penduduk bumiputera di wilayah yang bernama Hindia Belanda waktu itu, berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi pengarang di Lebak, di mana ia bekerja sebagai asisten residen bulan-bulan yang pertama tahun 1856.” (MH: VIII). Ini adalah produk era Romantik (di Eropa) abad ke-18 & 19, ketika Zaman Pencerahan yang dilandaskan pada kepercayaan terhadap rasio dan pengetahuan, serta pandangan etis romantik tentang “noble savage” semakin berpengaruh. Yang dipercaya berhasil memberikan sumbangan yang tidak dapat diabaikan terhadap humanisasi rezim-rezim kolonial yang ada pada masa-masa itu (di antaranya di awal abad ke-20 diperkenalkannya politik etis di Hindia Belanda).

Namun, sesungguhnya apa yang disampaikan oleh EDD lewat MH itu bukanlah semata-mata persoalan kolonialisme berikut segala perangkat kolonialnya serta hubungannya dengan kaum pribumi – sebagaimana yang sering dipahami[kan] oleh “kaum Indonesianis” yang selalu melulu menganggap kolonial adalah penjajah dan kaum bumiputera adalah terjajah dan teraniaya – melainkan kita dapat juga menyimaknya dari sudut pandang yang lebih fokus di mana EDD sesungguhnya juga mengkritik para penguasa pribumi! Bagaimana perlakuan mereka pada rakyatnya, pada kawulanya, pada hambanya.

Begitu kerja hari pertama di Lebak sebagai asisten residen, Max memaparkan bagaimana setelah ia mempelajari laporan-laporan asisten residen sebelumnya menemukan kejanggalan-kejanggalan yang sudah coba diperbaiki namun mengalami kegagalan (MH: XI). [Dalam versi realitas EDD mempelajari arsip-arsip yang ditinggalkan oleh CEP Carolus, asisten residen sebelumnya. Dari itu EDD berhasil membentuk suatu gambaran mengenai kesewenang-wenangan terhadap penduduk Lebak, yang dilakukan oleh bupati dan kepala-kepala rendahan, terutama Demang Parangkujang, Raden Wira Kusuma, yang menantu bupati. Di antara perlakuan kesewenangan itu adalah pengerahan tenaga penduduk untuk tujuan tertentu – yang umumnya lebih bersifat pribadi – tanpa memberikan upah atau semacam itu, serta “penghilangan” kepada penduduk/orang yang melakukan pengaduan hal kesewenangan itu].

“Kaum Indonesianis” biasanya beralasan bahwa hal semacam itu adalah biasa (sekurang-kurangnya dalam konteks masa itu), sebagai bentuk pengabdian penduduk atau kawula pada penguasanya. Bukan semata hukum “ketatanegaraan” yang berlaku di situ, namun juga [yang lebih menonjol] adalah hubungan atau relasi magis antara penduduk dan penguasa, yang tidak dapat dipahami oleh pemerintah kolonial [atau orang di luar lingkungan itu]. Namun hal semacam itulah sebetulnya bentuk feodalisme, yang dengan “tanpa rasa bersalah” dibela oleh “kaum Indonesianis” itu. Yang pada kenyataannya hingga masa kini pun masih dapat kita saksikan dalam hubungan relasi kekuasaan, seperti halnya oligarki, praktek dinasti, perilaku KKN; meskipun dibalut dalam istilah demokrasi.

Max/Multatuli/EDD pun ternyata bernasib sama dengan pendahulunya. Dia mencoba memperbaiki dengan pemahamannya, tetapi malah dia yang “terlempar”. Padahal yang memilihnya untuk menjadi asisten residen itu adalah Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist sendiri yang pada mulanya sempat menaruh harapan sebagaimana yang kemudian ditulisnya dalam memori: “(…) (ia) memperoleh simpati saya karena kecintaannya kepada orang bumiputera. Ketika terbuka lowongan di Lebak dan saya tahu bahwa nasib penduduk di sana amat buruk, saya berpikir bahwa di sana ia akan merupakan orang yang tepat dan meskipun Dewan Hindia tidak mengusulkannya, saya angkat dia jadi asisten residen.” (MH: X-XI). Tetapi ia kemudian “berbalik arah”, bahkan seperti tidak mengenal EDD, begitu EDD mengangkat kasus di Lebak itu. Kenapa terjadi demikian?

Keadaan seperti yang dialami oleh Max/EDD itu sebenarnya cukup sering terjadi dalam pemerintahan kolonial Belanda. Para pejabat Belanda itu pada umumnya selalu “berhati-hati” berhadapan dengan penguasa lokal, terutama bila hal itu menyangkut konflik “internal”. Keadaan ini terjadi karena pada kebanyakan wilayah di Indonesia pada masa itu pemerintahan kolonial bersifat dualistis, yaitu suatu sistem di mana alat pemerintahan kolonial menyesuaikan diri kepada dan terutama bertumpu pada tradisi-tradisi pemerintahan bumiputera. Pada prinsipnya penduduk tidak diperintah langsung [oleh kolonial], tapi dengan perantaraan kepala-kepalanya sendiri. Dengan kata lain hubungan pemerintahan kolonial dengan [sebagian besar?] pemerintahan pribumi pada masa itu lebih ke bentuk federasi, atau vassal-vassal, atau negara bagian, di mana pemerintahan pribumi juga memiliki jaringan kekuasaan antar sesama mereka. Namun dalam retorika-retorika, dalam pelajaran-pelajaran, dalam produk-produk kebudayaan, selalu ditonjolkan bahwa pemerintahan kolonial Hindia Belanda menjajah dan menganiaya rakyat Indonesia secara mutlak. Hal yang barangkali perlu kita pertimbangkan lagi.

Lihatlah apa yang telah ditulis EDD dalam MH berikut ini: “Menurut pengertian umum hampir di seluruh Asia, rakyat dengan segala miliknya adalah kepunyaan raja. Demikian pula di Pulau Jawa. Keturunan atau keluarga raja-raja dahulu mempergunakan kebodohan penduduk yang tidak mengerti bahwa Tumenggung, Adipati atau Pangeran sekarang ini adalah pegawai yang digaji, yang telah menjual hak-haknya sendiri dan hak-hak rakyat untuk penghasilan tertentu, […]. Ada bupati-bupati yang tidak begitu sewenang-wenang dan hanya meminta dari rakyat biasa apa yang sungguh-sungguh diperlukannya untuk memelihara gengsinya. Yang lain bertindak lebih jauh lagi, ….” (MH: 65).

Bagi “kaum Indonesianis”, mungkin sekali akan berpendapat bahwa sanggahan-sanggahan semacam ini adalah pembenaran dari pihak kolonial belaka, pemutarbalikan fakta, penghindaran dari tanggungjawab. Tapi coba kita tilik informasi baru yang belum lama ini beredar perihal pembuatan jalan “tol” (lebuh raya) pertama di Indonesia, yaitu jalan Anyer-Panarukan sebagai contoh. De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) Anyer-Panarukan ini terbentang sepanjang sekitar 1.000 km di Pulau Jawa. Diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan selesai hanya dalam masa satu tahun saja (1808). Informasi yang selama ini beredar adalah jalan ini dibangun oleh penduduk (pribumi) dengan tenaga kerja paksa (rodi), tanpa dibayar, bahkan tanpa jatah makan. Arsip, dokumen, laporan, saksi, nampaknya membenarkan klaim itu adalah suatu fakta. Persoalannya, kenapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana bisa terjadi? Selama ini yang muncul ke permukaan adalah kesalahan si penjajah kolonial Belanda.

Laporan Kompas.com tanggal 08 Februari 2021 menunjukkan kalau sebenarnya Belanda tidak sekejam itu, bahwa sebenarnya ada sejumlah anggaran yang telah dipersiapkan, termasuk untuk upah pekerja dan mandor. Sementara itu dalam HistoriA tanggal 22 Mei 2015 (“Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan”, Hendri D Isnaeni) disebutkan bahwa menurut Djoko Marihandono, sejarawan UI, pembuatan jalan itu dilakukan atas dasar kerja upah karena Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldijk menyiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum (sekurang-kurangnya, menurut laporan itu, untuk ruas jalan Cisarua-Bogor-Cianjur sebesar 30.000 ringgit). Pekerja sudah dialokasikan untuk menerima upah bervariasi, antara 1-10 ringgit perak/org/bln, tergantung berat-ringannya pekerjaan; ditambah beras dan garam. “Sistem pembayarannya, pemerintah (kolonial Belanda; sas) memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberikan kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati ke para pekerja, tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan [….]”.

Dalam versi EDD ada kesejajaran yang disampaikan (dalam konteks tanam paksa), berupa uraian: “Untuk pekerjaan apa yang dilakukan oleh penduduk di kebun-kebun itu, harus dibayar apa yang disebut upah tanam, tapi uang itu biasanya tidak sampai ke tangan mereka.” (MH: XVI).

Membaca paparan ini lantas saya teringat pada kartun Panji Koming-nya Dwi Koen di Kompas, sepertinya duapuluhan tahun yang lalu. Ada satu episode Dwi Koen menggambarkan bagaimana nilai suatu proyek terkikis oleh upeti (atau korupsi) para pejabat. Dari satu tandan pisang ujung-ujungnya hanya tinggal sesisir saja lagi.

Dalam kedudukan sebagai pejabar negara/pemerintah, menarik sekali bagaimana pandangan Max/Multatuli/EDD perihal sumpah jabatan, yang dapat kita bandingkan dengan situasi kita terkini. Dalam MH: 98-100 ditulis bagaimana bunyi sumpah yang harus dibacakan oleh Max: “[…], orang tidak boleh pernah menjanjikan atau memberikan sesuatu kepada seseorang, tidak akan menjanjikan atau memberikan sesuatu, bahwa ia akan setia dalam segala keadaan […], bahwa ia dengan cermat akan mematuhi, dan menyuruh patuhi undang-undang dan peraturan-peraturan […]. Semoga Tuhan Mahakuasa membantu saya.” Lihatlah, ternyata setelah lebih satu setengah abad berlalu, bunyinya masih sama; namun apa dampaknya bagi [pejabat] kita dan negara? Tapi lihatlah pula bagaimana pandangan satir EDD tentang sumpah jabatan ini.

EDD adalah seorang yang memiliki banyak pengetahuan dan idealisme yang tinggi, yang justru seringkali membuatnya mengalami konflik dalam tugas dan kehidupan nyata. Menurut Dr. Gerard Termorshutzen: “Di dalam Ideen […] (EDD; sas) mengeritik banyak keadaan-keadaan buruk, dengan kesadaran bahwa ia mempunyai panggilan yang profetis terhadap sesama manusia yang teraniaya. Ia tiba pada keyakinan bahwa tiap kekuasaan, apakah itu kekuasaan agama, adat istiadat ataupun politik, seringkali berdasarkan kepentingan diri, bela diri dan kemunafikan.” (MH: XV-XVI)

Tanggal 02 Maret lalu adalah peringatan 201 tahun hari lahir Eduard Douwes Dekker, yang mana tulisan ini dipersembahkan. ***

Baca : Kumulipo, Syair Mitologi dari Hawaii

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *