“Krisis Kesusasteraan di Republik Antahberantah” (1)

krisis Kesusasteraan

KRISIS kesusasteraan di republik antahberantah.

Ada sebuah buku dalam koleksi perpustakaan Penulis. Sebuah buku kumpulan cerita pendek. Buku itu buku lama, dan sudah puluhan tahun pula jadi koleksi. Kertasnya sudah berwarna kecoklatan. Ukurannya kecil saja, sekira format A6. Sudah tidak lagi berkulit (namun sekarang sudah Penulis beri kertas cover polos saja), tidak lagi berhalaman judul, juga kolofon yang biasa tercantum pada bagian verso halaman judul. Hanya isi semata. Sehingga tak lagi dapat diketahui identitas buku seperti judulnya, penulisnya, penerbitnya, dll. Hurufnya pun kecil-kecil saja, mungkin ukuran font 9 dengan komputer sekarang (kalau istilah percetakan zaman dulu kalau tak salah punt), dengan spasi rapat.

Penulis pun sudah lupa dari mana buku ini diperoleh, tapi sepertinya dari koleksi orangtua (beliau punya koleksi yang lumayan, seperti buku-buku agama karena pernah di KanWil DepAg, buku kelautan karena pernah di AIRUD, majalah Kiblat dan Panji Masyarakat, dll.) . Di halaman “depan” buku itu terdapat cap berwarna biru, namun sudah sulit dibaca, kecuali baris terbawah yang terbaca “… TUNGKAL (DJAMBI)”. Itu sepertinya stempel toko penjual buku itu. Di dekatnya ada juga cap berwarna merah dengan tulisan “Rp. 15”; yang sepertinya menunjukkan harga jual buku itu. Di halaman-halaman selanjutnya terdapat dua buah tandatangan. Tepat pada halaman isi ada tandatangan dengan nama “Emjus Iljass Petty”, bertitimangsa 1960. Sepertinya menggunakan pena dengan tinta cairan berwarna biru; dulu biasanya populer tinta cair bermerk Hero. Tandatangan yang satu lagi juga menggunakan pena dengan tinta cairan, namun kali ini berwarna hijau. Tandatangan yang beda dari yang sebelumnya, serta tanpa nama dan titimangsa. Tandatangan ini tercantum di halaman di mana tercetak judul cerita pendek yang pertama kali ditampilkan di dalam buku itu, yaitu: “krisis kesusasteraan di republik antahberantah”.

Cerpen itulah yang akan coba kita bahas di dalam tulisan ini. Untuk tujuan itu tentu perlu juga diketahui hal-ikhwal mengenai buku itu. Tapi, bagaimana caranya? Lama tanpa identitas, akhirnya Penulis coba melacaknya lewat internet. Bertanya pada – siapa lagi – kalau bukan mbah Google. Ternyata tidak butuh waktu yang lama, identitas buku itu pun berhasil didapatkan. Memang si mbah laman maya ini tiada tandingan, asalkan kita paham kira-kira “mantra” apa (kata kunci) yang diperlukan untuk melacak atau memperoleh informasi yang kita inginkan.

Entah kenapa, lama – sebelum Penulis akhirnya menjelajahi Google dalam rangka tulisan ini – Penulis sangka buku itu adalah salah satu kumpulan cerpen Sitor Situmorang. Namun di Google ternyata dugaan itu salah. Ternyata karya Ajip Rosidi. Mulanya dengan informasi dari alam maya itu Penulis sangka pula buku itu adalah kumpulan cerpennya yang berjudul Mimpi Masa Silam, karena memuat cerpen yang akan kita bahas ini. Namun ternyata bukan, karena daftar isinya berbeda, pun ejaannya sudah menggunakan EYD [sedangkan buku yang di tangan Penulis masih menggunakan ejaan Soewandi].

Berbekal informasi tambahan bahwa cerpen itu ternyata ditulis oleh Ajip Rosidi itulah akhirnya didapatkan secara pasti kalau buku kumpulan cerpen ini ternyata berjudul Sebuah Rumah buat Hari Tua, yang juga merupakan judul salah satu cerpen di dalamnya [yang di dalam buku itu dituliskan “sebuah rumah buat haritua”. Diterbitkan oleh P.T. Pembangunan pada tahun 1957 [kalau menurut Maman S Mahayana dalam Akar Melayu hal. 108, buku itu diterbitkan oleh Gunung Agung pada 1955. Namun saya cenderung pada informasi awal, karena di buku itu memang terdapat tulisan “P.T. Pembangunan”, dan di bagian halaman akhir tertera tulisan “Djakarta, 1957”. Hanya saja masih agak meragukan apakah P.T. Pembangunan itu sebagai penerbit atau percetakan karena tidak ada keterangan apa pun di sana, dan juga bukan tercantum di halaman kolofon]. Yang mana pun, tetap logis dengan tandatangan bertitimangsa 1960 di atas. Setelah lama tanpa identitas, terimakasih mbah Google!

Mengutip Wikipedia, Ajip Rosidi (AR) lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Jawa Barat; dan wafat 29 Juli 2020 di Magelang, Jawa Tengah. Beliau adalah salah satu sastrawan dan budayawan ternama di Indonesia, serta beberapa profesi lainnya. Beliau juga salah satu pendiri dan ketua Yayasan Kebudayaan Rancage yang bertujuan membina dan mengembangkan kehidupan kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan, baik di tingkat daerah (utamanya Jawa Barat / Sunda) dan nasional. Penghargaan sastra Rancage adalah penghargaan tahunan yang telah diselenggarakan sejak tahun 1989 kepada orang-orang yang dianggap berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah.

AR adalah sastrawan yang terbilang sangat produktif. Ada ratusan karya yang telah beliau ciptakan (326 judul dalam 22 majalah) dan bukukan, dalam beberapa bidang dan genre. Buku-buku kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, novel, esai dan kritik, historiografi sastra, sosiologi dan kebudayaan, karya terjemahan, ensiklopedi, dan autobiografi. Beliau juga penulis yang sudah berkarya sejak usia relatif muda, yaitu 17 tahun saat menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Tahun-tahun Kematian. Banyak juga karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing seperti Perancis, Belanda, Inggris, Rusia, Jepang, Cina, dll. AR juga menerima sejumlah penghargaan, di antaranya Hadiah Sastra Nasional, Doctor Honoris Causa (Dr, HC), serta penghargaan dari Pemerintah Jepang pada 1999. Karya beliau yang terkenal di antaranya novel Anak Tanahair dan puisi “Jante Arkidam”. Cerpen “Krisis Kesusasteraan di Republik Antahberantah”, yang pertama kali dimuat dalam majalah Kisah No. 3 bulan Maret 1955, adalah peraih penghargaan ke-3 Hadiah Majalah Kisah tahun 1955 (saat itu usianya baru 17 tahun!).

(bersambung)

Baca : Gita Cinta dari Māori

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *