KRISIS kesusasteraan di republik antahberantah.
[Catatan: di dalam buku itu judul cerpen itu memang seluruhnya ditulis dengan huruf kecil, termasuk pada halaman (daftar) isi]
Entah kenapa, meski buku antologi cerpen Sebuah Rumah buat Hari Tua itu dinyatakannya meraih penghargaan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-1958, Maman S Mahayana (MSM) nampak kurang terkesan (ibid). Hanya cerpen “Krisis Kesusasteraan di Republik Antahberantah” itulah yang mendapat ulasan positif dari kritikus dan budayawan terkenal ini. Itu pun sekadar “… terasa menarik justru dari segi rekaman peristiwa yang terjadi saat itu yaitu saat kesusastraan Indonesia dianggap (oleh sebagian) sedang mengalami krisis.”
Berbeda dengan MSM, bagi Penulis cerpen-cerpen di dalam buku itu rata-rata – meminjam mantra Tempo – enak dibaca dan perlu. Namun kalau sekarang diminta menjelaskan bagaimana “enak-dibaca-dan-perlu”-nya dari masing-masing cerpen, Penulis terpaksa angkat tangan karena sudah tidak ingat lagi. Itu hanyalah kesan umum yang masih tertinggal dalam perasaan setelah – mungkin – lebih 20 tahun membacanya. Sekurang-kurangnya itulah sebabnya kenapa buku itu tetap tersimpan awet di dalam koleksi, meskipun tanpa identitas sama sekali. Untuk keperluan tulisan ini pun Penulis terpaksa membaca ulang cerpen itu, berkali-kali. Sekarang, kalau ada pembaca yang berminat pada buku kumpulan cerpen itu, nampaknya edisi terbitan-terbitan awalnya masih dapat diperoleh di beberapa lapak penjualan daring – terlepas apakah orisinal atau “dicetak kembali”. Edisi terbaru nampaknya tidak/belum ada.
Judul “krisis kesusasteraan di republik antahberantah” memang terhitung sangat menggoda bagi kalangan sastrawan. Kalau saja kata “antahberantah” diganti dengan sesuatu yang faktual orang akan mengira itu adalah sebuah esai atau kertas kerja dalam sebuah seminar penting. Membaca kembali cerpen ini, segera yang terbayang adalah, bagaimana setelah hampir 70 tahun sejak pertama kali dipublikasikan? Pepatah terkenal dari Perancis pun mengapung: l’histoire se repete.
Diceritakanlah ada sebuah negara bernama Republik Antahberantah. Dalam pemerintahannya ada salah satu lembaga yang disebut Kementerian Kesusasteraan, dengan menterinya bernama Mr. Gadjah, yang dulunya juga adalah seorang penyair sebelum kemudian masuk ke wilayah politik. Kementerian ini terbagi atas beberapa djawatan, mungkin sekarang semacam dirjen (direktorat jenderal). Yaitu Djawatan Sadjak, Djawatan Tjerpen, Djawatan Roman, Djawatan Kritik, Djawatan Esej, dan mungkin masih ada yang lainnya. Setiap djawatan terbagi lagi atas seksi-seksi, kalau sekarang mungkin direktorat. Seperti Djawatan Sadjak yang terbagi atas Seksi Soneta, Seksi Pantun, Seksi Sjair, Seksi Sabe (Sadjak Bebas), dll. Bagi seorang penulis berusia 17 tahun, rangkaian gagasan di atas sungguh sudah melampaui usianya. Dan patut pula kiranya kita apresiasi pemerintahan negara Republik Antahberantah itu karena telah menangkat marwah kesusastraan secara formal hingga ke tingkat kementerian. Barangkali negara kita tercinta ini layak mencontohnya.
Konflik mulai terjadi ketika terbit sebuah majalah sastra terbaru bernama Penghadapan. Di dalam majalah itulah tercantum sebuah tulisan dari penulis yang disebut bernama Bung Djatman, yang menuduh bahwa sedang terjadi krisis kesusastraan di Republik Antahberantah. Padahal sudah dijelaskan sebelumnya bahwa “…, dalam sedjarah perkembangan kesusasteraan di Republik Antahberantah, masa sekarang ini masa jang gemilang bukan main!”. Segera saja tulisan itu mendapat perhatian sang menteri Mr. Gadjah, yang dianggap dapat mengganggu stabilitas kementeriannya dan reputasi dirinya sendiri, hingga pikirannya pun bahkan sampai ke ujung kekhawatirannya akan kemungkinan mendapat hukuman demisioner (bakalan dicabut status menteri-nya; masa itu adalah masa kabinet parlementer). Maka segera dipanggilnya kepala-kepala jawatannya satu per satu untuk membahas masalah itu.
Mr. Gadjah digambarkan sebagai seseorang dengan kepribadian yang cukup baik. Ia masih berkenan membalas salam hormat yang disampaikan seorang pesuruh kantor yang menyambutnya, meskipun cukup dengan menganggukkan kepalanya seperempat ke bawah [anggukan penuh hanya diberikan untuk orang yang sederajat, anggukan setengah tak dijelaskan] (12). Pun demikian, sebagai salah seorang warga Republik Antahberantah juga, beliau digambarkan tak tabu menerima “amplop” (17).
Dia juga dijelaskan sebenarnya punya cukup perhatian pada penulis/pengarang baru/muda, meskipun “samasekali tidak merasakan keharuan sadjak2 terbaru”, serta banyak mencapat kecaman yang pedas dari mereka (9). Beliau pernah mempertanyakan kenapa Djawatan Roman tidak pernah menerbitkan roman-roman yang baru. Apakah para pengarang sekarang tidak ada yang menulis roman lagi. Pak Korda (AR menulisnya “pa Korda”) – yang juga mantan pengarang roman – sebagai kepala Djawatan Roman menjelaskan bahwa “tak ada naskah roman bernilai jang masuk. Semua berada dibawah nilai” (11). Karena itulah jawatannya hanya mencetak kembali roman-roman lama, termasuk yang ia tulis sendiri lebih seperempat abad yang lalu. Pada bagian ini Penulis jadi teringat Balai Pustaka. Apa kabar? Ringing the bell? Menariknya, dijelaskan pula bagaimana Pak Korda saat mencetak kembali roman-romannya itu [melalui Djawatan Roman yang dipimpinnya], ia “… mesti merobah segala perkataan ‘ja’ dengan ‘tidak’ dan demikian pula segala perkataan ‘tidak’ mesti dia ganti dengan ‘ja’”(11). Penulis jadi teringat Maxim Gorki.
Kepala Djawatan Tjerpen, Bung Santa, tidak setuju dengan tuduhan Bung Djatman itu. “Krisis kesusasteraan adalah suatu hal jang mustahi! Lihatlah betapa banjak jang mengalir tjerpen setiap harinya, tjerpen jang dihasilkan oleh para pengarang muda jang penuh harapan, dengan bakat besar”, begitu jawabnya saat ditanyai pendapatnya oleh Mr. Gadjah. Kepala Djawatan Sadjak pula, Dr. Siput (AR menulisnya “dr Siput”, dengan penjelasan bahwa kepala djawatan ini telah mendapatkan gelar doktor kehormatan dari negara tetangga, Republik Rakyat Seribusatu-malam; maka dengan ejaan sekarang gelar itu ditulis “Dr,”, kecuali yang AR maksudkan “dr” dalam tulisannya adalah untuk gelar dokter) bahkan menyangkal dengan keras. “Orang jang mengatakan ada krisis adalah orang jang tak pernah membatja madjalahsastera!”, teriaknya. Lalu Dr. Siput pun menjelaskan soal grafik di jawatannya yang selalu meningkat, bahkan dalam tahun-tahun terakhir justru dihasilkan sajak-sajak yang indah.
Mendengar jawaban dari kepala-kepala jawatannya itu, senang dan lega juga hati sang menteri. Namun kelegaannya kembali terusik saat beberapa hari kemudian terbit berita dalam sebuah suratkabar terkenal yang dari isi pemberitaanya tersirat seolah mendukung tuduhan Bung Djatman itu. Padahal wartawan suratkabar itu mewawancari langsung Mr. Gadjah dan sang menteri sudah menjawabnya dengan sebaik-baiknya. Memang, dalam koran itu dijelaskan bahwa semua jawatan dalam kementerian itu menolak tuduhan itu dengan bukti-bukti yang lengkap. Hanya Djawatan Roman saja yang tidak punya bukti untuk menolak adanya krisis dan malah mengarah-arah mengiyakan tuduhan Bung Djatman itu (17-18).
Dua hari setelah itu terbit pula tulisan protes atau kritik dari seorang pengarang muda yang telah menulis belasan roman namun Djawatan Roman tidak pernah mau menerbitkannya. “Kalau belakangan ini tidak ada roman terbit, bukanlah lantaran para pengarang tak menghasilkan lagi roman, bukan karena tak ada roman besar jang ditulis, tetapi lantaran Djawatan Roman enggan menerbitkannya’, tulisnya. “…. Djawatan Roman hanja mau menerbitkan buku2 tuan Korda sendiri, atau buku teman2 tuan Korda sadja.”
Memang, pada Djawatan Roman inilah Mr. Gadjah selalu menemui kesulitan. Saat ia pernah mempertanyakan kinerja jawatan ini sebelum kasus ini, Pak Korda selalu mengelak dengan mengatakan “…bahwa rakjat Republik Antahberantah sangat menjukai roman2 seperti roman2 karangannja jang mempunjai tenaga gaib begitu kuat buat memeras airmata setiap pembatjanja. Sedangkan karangan2 jang ditulis oleh para pengarang muda sekarang, keindahannja belum bisa dinikmati oleh rakjat terbanjak”. Karena itu Djawatan Roman menyimpannya dulu untuk nanti akan diterbitkan juga saat dinilai rakyat sudah siap (11).
Ketika Mr. Gadjah mempertanyakan soal protes pengarang muda itu, Pak Korda memberi penjelasan: “Bukan saja tidak mau menerbitkan buku2 para pengarang muda, tapi djustru karena saja merasa berkewadjiban untuk memberi batjaan jang baik kepada rakjat Republik Antahberantah jang tingkatbatjanya belum begitu tinggi …, karena buahtangan para pengarang muda itu sangat sukar dan terlalu berat untuk batjaan rakjat terbanjak …. Diseluruh negara, hanja beberapa orang sadja jang mau mentjoba menikmati karangan2 itu dan jang bisa menikmati tjuma para pengarangnja sendiri sadja!” (19).
* * *
Di samping alur cerita dan pesan yang dibawanya, juga ada detail-detail yang menarik untuk disimak di dalam cerpen ini, yang bernada satir, atau yang dapat dibandingkan dengan keadaan sekarang. Seperti: “Mereka (‘para penjair terbaru’; sas) tjuma menuliskan kata2 jang kemudian mereka sendiri sia2 untuk mengerti” (10). Atau saat berdiskusi dengan Dr. Siput: “Tapi tak ada sadjak besar jang lahir. Semua tjumalah merupakan sadjak2 ketjil jang berputar dalam lingkaran ketjil psikologisme perseorangan semata-mata, …” (16). Rasanya masih menggema hingga hari ini? Saat dikisahkan hal kekurangan kertas, Mr. Gadjah berpendirian biarlah itu menjadi urusan Menteri Impor saja (12). Rasanya masih sama dengan kondisi sekarang ya? Hal cerpen-cerpen terbaru Mr. Gadjah berpendapat: “tjerpen2 sekarang sukar dimengerti serta dinikmati. Bahasanja kabur, sukar ditangkap, tak gampang dirasakan. Mungkin sengadja dikabur-kaburkan oleh pengarangnja, agar lebih indah!” (13).
Bung Santa pula, kepala Djawatan Tjerpen, saat dimintai pendapatnya soal kenapa roman baru tidak ada yang terbit, memberikan analisanya dengan menjawab: “…. Dan saja kira sebabnja kurang roman ialah lantaran orang2 kini tak mempunjai lagi begitu banjak waktu untuk menulis bahkan untuk membatja roman. Tjerpen sudah tjukup.” (15). Ini menjadi menarik bila sekarang ingin dianalisa dan dikaitkan juga dengan kehadiran pentigraf (cerpen tiga paragraf; padahal cerpen sendiri sudah singkatan).
Yang tak kalah menarik adalah salah satu perdebatan Mr. Gadjah dengan Pak Korda. Saat Mr. Gadjah bertanya, “Tapi kan banjak hasil2 jang ditulis oleh para pengarang muda? (kenapa tidak diterbitkan; sas)”. Pak Korda menjawab: “Apa itu pengarang muda! Mereka tjuma banjak omong sadja, kerdjanja nol besar. Mereka hanja pintar berlagak, pura2 djadi seniman dengan memandjangkan rambutnja, dengan memakai badju jang kumal2, padahal hasil jang sungguh2 hasil tak ada mereka tundjukkan!” (14). Kalau AR masih hidup dan ingin menerbitkan kembali cerpen ini, dia mungkin terpaksa merevisinya, karena rerata seniman masa kini sudah berpenampilan netjis-netjis, rambut tertata, kumpul-kumpul di hotel restoran atau kafe, sekurang-kurangnya kedai kopi Atjeh. He he ….
* * *
Akhir cerpen ini terkesan dibuat menggantung. Dalam perdebatan dengan Pak Korda, kepala Djawatan Roman, Mr. Gadjah tersadar kalau Pak Korda juga adalah orang yang berasal dari partai yang sama dengan Bung Djatman. Partai yang selalu bertentangan dengan pemerintah.
Ringing the bell?