Belajar Sabar

Jalaluddin As-Suyuti

MASIH terngiang di telinganya ceramah ustaz dari mesjid pada malam Ramadhan bahwa sabar merupakan kata yang amat mudah dan ringan diucapkan tapi amat berat dipraktekkan. Ya, ia setuju itu. Ia merasakan itu. Kian hari beban hidup kian terasa berat. Berbagai macam bentuk ujian, cobaan dan musibah datang silih berganti. Dadanya menjadi sesak. Pikirannya terasa kacau. Obatnya memang sabar.

Ketika kita mengucapkan marhaban ya Ramadhan. Sesungguhnya pada waktu itu kita telah mengucapkan, bahwa aku lapangkan dadaku menyambutmu Ramadhan. Lapang dada dalam berbagai hal. Tak ada yang boleh risau, tak ada yang terasa sempit. Semua yang terlihat dan terasa mesti disikapi dengan hati berbunga, dengan lapang dada.

Namun ia belum bisa. Sungguh terasa berat.

“Wahai orang beriman, minta tolonglah dengan kesabaran dan mendirikan shalat.” Ia bertanya, apakah hamba sudah beriman? Kalau iya, kinilah saatnya menerapkan mempraktekkan ayat Alquran itu. Ya, aku mesti terus bersabar karena sabar itu konon dahulunya merupakan nama pohon yang buahnya amat pahit tapi amat banyak khasiatnya. Aku harus sabar, katanya. Aku mesti mendirikan shalat dengan khusyu’. Shalat wajib, tarawih, rawatib, dan shalat lainnya mesti dilakukan secara itqan (sungguh-sungguh).

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ia tersenyum. Sedikit? Ya, cobaan yang menimpanya ternyata sedikit saja dalam pandangan Ilahi. Mungkin bila dibandingkan dengan nikmat yang Ia anugerahkan tentu sangat kecil. Ya, kecil saja. Kemudian, coba bandingkan dengan orang lain yang jauh lebih berat, seperti ada yang kehilangan rumah karena ludes dilalap api, kehilangan anak tercinta dalam sekejap mata, kehilangan kendaraan yang membuat kaki mereka seperti patah, dan banyak lagi.

Ia pun tercenung. Jangan-jangan dirinya yang memang kecil sehingga cobaan itu terasa besar.

Lagi-lagi, Allah menyebutkan kabar gembira bagi orang yang bersabar. Aku harus bersabar, katanya. Bersabar! Tekadnya. Ya, belajar bersabar.

Ternyata dalam istilah agama, sabar punya tingkatan. Al-shabir, al-Mushabir dan al-Shabuur. Istilah Al-shabir merupakan orang yang sabar atas kezaliman orang lain kepadanya, dan ia tidak membalasnya walaupun saat itu ia mampu membalasnya, namun di hatinya masih ada rasa dongkol. Kedua, al-Mushabir yaitu orang yang sabar bila dizalimi atau dianiaya orang lain, dan dia tidak mebalasnya serta tidak menyimpan rasa dongkol dan sakit hati sedikitpun. Ketiga, al-Shabuur, ini merupakan asma al-husna. Yaitu orang yang selalu sabar menerima perlakuan tidak adil dan zalim, serta membalas perlakuan yang tidak nyaman itu dengan kebaikan. Atau itu yang diistilahkan dengan ‘air tuba dibalasnya dengan air susu’.

Selain itu, bentuk derita yang mucul kepada manusia terbagi tiga, yaitu musibah, bala dan fitnah. Apakah derita berat yang dialaminya dalam bentuk musibah, fitnah atau bala (ujian)? Kalau musibah tentu karena ada kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya. Kalau bala atau ujian, tentulah akan menaikkan kualitas dirinya di hadapan Ilahi dan alam semesta.

Terngiang di pikirannya kata mutiara bahwa semakin tinggi dan menjulang pohon di rimba, maka semakin kuat angin mengguncangnya. Semakin besar perahu dilayarkan di lautan, maka semakin kuat pula ombak dan gelombang menghempasnya.

Hmm, semoga ini ujian, katanya penuh harap.

“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”

Ya, sebesar dan sebesar apapun derita yang menimpa mesti kuucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, ucapnya lirih. Ya, menurut sebagian ulama, kenapa dipakai huruf “inna” yang ditempel dhamir “Na” (kami), karena yang menerima musibah bukan ia saja tapi banyak orang lain. Jadi, musibah, bala dan fitnah ternyata bukan hanya menimpanya dirinya sendiri tapi juga menghimpit orang lain juga. Jika begitu, kenapa selalu dirundung resah dan gelisah? Kenapa seolah terpenjara dalam benua resah? Bukankah tidak kita saja yang terluka, berdarah dan kecewa? Katanya menghibur gundah.

Segala sesuatu datang dari-Nya, milik-Nya dan suatu saat akan kembali kepada-Nya. Persoalannya, semua itu hanya menunggu waktu. Cepat atau lambat semua akan kembali. Semua akan pulang ke tempat asalnya.

“Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Menjadi orang sabar. Ya, ia mesti menjadi orang sabar karena orang yang sabar akan mendapat ampunan, anugerah yang banyak serta akan memperoleh rahmat Ilahi. Itu janji Allah. Dia tidak akan pernah mengingkari janji. Sungguh tidak!

Daku haru belajar sabar seumur hidup. Harus, katanya penuh semangat. Dan tidak ada yang dapat menganugerahkan kesabaran itu kecuali Dia yang telah menimpakan berbagai bentuk musibah, bala dan fitnah kepada manusia. Maka bermohonlah kepada-Nya.

Ya Allah, tolong daku, bantu daku, dan lindungi orang-orang yang kucintai dan segala yang yang kusayangi dari segala makhluk yang ingin berbuat zalim kepada kami. Kami makhluk lemah tak berdaya. Hanya dalam lindungan-Mu, kami mendapatkan keselamatan. Anugerahkan kami kesabaran dalam kehidupan ini. Jangan beri kami musibah, fitnah dan ujian yang kami tidak sanggup menghadapinya. Rabbana afrigh ‘alaina shabran wa tsabbit aqdamana wanshurna ‘ala al-qaum al-kafirin. Allahummaj ‘alni shabura waj’alni syakura, waj’alni fi ‘aini shaghira wa fi a’yuni al-nasi kabira. Amin.

Wallahu a’lam. ***

Baca: Ramadhan Berbunga

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *